Tafsir Al-Kahfi 58-59: Tuhan Tak Pernah Dendam

Tafsir Al-Kahfi 58-59: Tuhan Tak Pernah Dendam Ilustrasi.

Oleh: Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag*

58. Warabbuka alghafuuru dzuu alrrahmati law yu-aakhidzuhum bimaa kasabuu la’ajjala lahumu al’adzaaba bal lahum maw’idun lan yajiduu min duunihi maw-ilaan

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty

Dan Tuhanmu Maha Pengampun, memiliki kasih sayang. Jika Dia hendak menyiksa mereka karena perbuatan mereka, tentu Dia akan menyegerakan siksa bagi mereka. Tetapi bagi mereka ada waktu tertentu (untuk mendapat siksa) yang mereka tidak akan menemukan tempat berlindung dari-Nya.

59. Watilka alquraa ahlaknaahum lammaa zhalamuu waja’alnaa limahlikihim maw’idaan

Dan (penduduk) negeri itu telah Kami binasakan ketika mereka berbuat zalim, dan telah Kami tetapkan waktu tertentu bagi kebinasaan mereka.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia

TAFSIR AKTUAL

Sungguh maha mulia Tuhan Allah SWT ini. Begitu panjang lebar membahas keburukan, kedurhakaan orang-orang kafir kepada-Nya, kepada Rasul-Nya, kepada kitab suci-Nya, kini menyatakan diri sebagai Tuhan yang maha al-Ghafur dan Dzu al-Rahmah. “wa Rabbuk al-ghafur dzu al-rahmah”.

Tidak hanya itu, Dia juga mengikrarkan diri tidak akan mensegerakan adzab di dunia ini kepada mereka yang berbuat durhaka. “Law yu’akhidzuhum bima kasabu la’ajjal lahum al-‘adzab”.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok

Sejatinya penangguhan ini adalah bentuk kasih sayang Tuhan. Tapi semuanya tergantung pada sikap mereka. Kalau mau sadar dan segera bertobat, maka bagus, diampuni dan dirahmati. Kalau tidak, maka siksa diakumulasikan di akhirat nanti. Tambah sengsara.

Potongan ayat ini “Wa Rabbuk al-Ghafur Dzu al-Rahmah”, yang menunjuk sifat Tuhan Maha Pengampun dan Perahmah sebagai dalil bahwa Tuhan tidak pernah tersinggung, meski dijahati, diingkari oleh hamba-Nya. Juga tidak pernah dendam meski dimusuhi dan dihina. Karena sifat melekat pada Dirinya adalah memberi, titik. Memberi ampunan dan memberi rahmah.

BACA JUGA: Tafsir Al-Kahfi 47-49: Berbaris Telanjang di Depan Tuhan

Jika Tuhan harus mengadzab hamba-Nya, itu lebih karena “keterpaksaan”, lebih pada konsistensi sifat keadilan yang harus ditegakkan. Adzab yang tanpa marah dan tanpa mendzalimi sedikit pun. Aslinya, Tuhan sangat enggan menyiksa hamba-Nya. Cuma mereka kebangetan. Seperti orang tua yang tidak tega menjewer telinga anak kesayangannya.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata

Ayat ini kontras dengan pernyataan Tuhan sendiri yang tidak mau mengampuni dosa syirik. “Inn Allah la yaghfir an yusyrak bih” (al-naisa’:48). Sehingga dibutuhkan penalaran lebih kompromis agar dua statement befungsi sesuai arahnya.

Al-Ghafur sudah jelas, yaitu maha mengampuni. Berarti sangat mengampuni, sifat mengampuni lebih depan ketimbang sifat menyiksa. Dzu al-rahma, pemilik rahmah. Ada empat makna rahmah: Pertama, ampunan (al-‘afw). Karena orang yang berbuat dosa yang mestinya disiksa kemudian diampuni, maka tidak jadi disiksa, maka itu rahmah, kasih sayang tersendiri.

BACA JUGA: Tafsir Al-Kahfi 50: Bertuhan Kepada Iblis dan Keluarganya

Kedua, petunjuk (al-huda). Orang yang tersesat, lalu diarahkan, dibimbing, maka jadinya lempang dan nikmat. Ketiga, pahala (al-tsawab). Siapa pun, kalau mengerjakan sesuatu perbuatan, kemudian mendapatkan reward, imbalan menyenangkan, tentu lega baginya. Itulah rahmah. Dan keempat, kenikmatan (al-nai’mah). Inilah yang dicari. Hidup, baik di dunia, apalagi di akhirat, maka yang dicari adalah kenikmatan.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman

Jadi, semua dosa pasti diampuni oleh Allah SWT, asal si hamba mau meminta ampunan sebelum mati. Batas akhir kucuran ampunan adalah kematian. Dosa syirik, jika ditobati sebelum mati, maka diampuni. Itu pasti. Umumnya para sahabat nabi dulu musyrik, tapi bertobat dan masuk islam, lalu menjadi mulia.

BACA JUGA: Tafsir Al-Kahfi 50: Kabinet Dalam Pemerintahan Iblis

Kalau sampai mati dan belum bertobat, seperti paman nabi, Abu Lahab, Abu Thalib, maka tidak bisa diampuni, -andai - meskipun dimintakan ampunan oleh Nabi Muhammad SAW sendiri dan semua orang beriman.

Sedangkan dosa selain musyrik, seperti berzina, minum khamr, tidak shalat, meskipun belum ditobati dan keburu mati, maka sangat mungkin diampuni atas dasar sifat Tuhan yang maha pengampun dan maha rahmah. Contohnya, dimintakan ampunan oleh anaknya, oleh keluarganya, oleh kawan-kawannya.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Memetik Hikmah dari Kepemimpinan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman

“... La’ajjal lahum al-adzab”. Tuhan, andai mau, maka Dia akan segera menyiksa hamba-Nya yang berbuat dosa. Tapi jika Tuhan mau, maka itu hak-Nya. Untuk itu ada juga dosa yang adzabnya disegerakan di dunia. Yang nyata itu ada dua:

Pertama, orang yang mendzalimi orang lain dan kedua, anak yang menyakiti hati orang tua. Sudahlah, tidak perlu dites, tidak perlu dicoba. Contoh sudah sangat banyak dan tidak terbantah. Semua orang yang hidupnya berlimpah anugerah, harta dan kebaikan pasti dia memuliakan orang tuanya. Itu lintas agama, tak peduli mukmin atau kafir. Ibu itu bagai “tuhan” kedua setelah Allah SWT. Hanya saja tidak boleh disembah.

*Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag adalah Mufassir, Pengasuh Rubrik HARIAN BANGSA, dan Pengasuh Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an (MQ), Tebuireng, Jombang.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Keputusan Bijak untuk Sengketa Peternak Kambing Vs Petani

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO