Tafsir Al-Kahfi 60: Kecongkakan Nabi Musa A.S.

Tafsir Al-Kahfi 60: Kecongkakan Nabi Musa A.S. Ilustrasi. foto: gomuslim

Oleh: Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag*

60. Wa-idz qaala muusaa lifataahu laa abrahu hattaa ablugha majma’a albahrayni aw amdhiya huqubaan

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty

Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada pembantunya, “Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua laut; atau aku akan berjalan (terus sampai) bertahun-tahun.”

TAFSIR AKTUAL

Dua tokoh utama pada surah al-kahf ini telah kita bahas, yakni tujuh pemuda goa (ashab al-kahf), representasi kawula pemuda yang gigih mempertahankan keimanannya di tengah-tengah tirani raja zalim. Kedua, konglomerat kafir bersama saudaranya yang beriman, representasi bidang ekonomi.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia

Mulai ayat ini, kita akan membahas tokoh nomor tiga, yaitu Musa A.S. dan Khadlir A.S., representasi dunia pendidkan yang kaya dengan panduan moral dan etika menuntut ilmu. Seperti hukuman, Musa A.S. yang congkak, lalu ditegur Tuhan agar mencari guru spiritual dengan susah payah, hingga butuh ditemani asisten demi memburu sang guru.

Al-kisah, Musa A.S. telah dianugerahi banyak kelebihan dan kebajikan yang tidak dimiliki oleh siapa pun sejawatnya. Musa dipilih Allah SWT sebagai nabi langsung via Kalam-Nya, sehingga berjuluk “kalimullah”. Dianugerahi kitab suci al-Taurah sebagai buku panduan membimbing umat menuju hidup berstandar Tuhan.

Lalu dibekali mukjizat yang amat menakjubkan berupa tongkat sakti dan tangan bercahaya, sehingga membuat Fir’aun dan semua aparatnya tak berkutik dan berakhir tragis ditelan laut merah. Musa A.S. menjadi orang nomor satu di seantero Mesir, dielu-elukan dan dipuja karena membebaskan mereka dari penindasan yang menyakitkan.

Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana

Ya, tapi itu sudah berlalu dan Tuhan tidak menghendaki adanya romantisme historis yang berkepanjangan. Tugas utama belum berakhir, yakni terus berdakwah dan memberi bimbingan keimanan. Segera Tuhan memberi perintah, agar Musa A.S. memberi kuliah umum pada masyarakat Mesir di era baru yang baru saja dimulai.

Ceramah Musa A.S. begitu komprehensif dan memukau, sehingga seorang lelaki dari Bani Israel tak kuasa menahan kekagumannya, sehingga berdiri dan bertanya: ”.. tausiah tuan begitu menakjubkan wahI nabi Allah, semoga engkau diberkahi. Kiranya adakah di muka bumi ini orang lain yang lebih pinter dibanding tuan..?”.

Nabi Musa A.S. terkooptasi dengan sanjungan terhadap kebesaran dirinya hingga langsung menjawab dengan congkak: ”tidak ada, sayalah yang paling pinter”.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok

Mendengar jawaban itu, Tuhan langsung murka dan marah besar, kemudian memerintah Jibril A.S.: ”Wahai Jibril, kamu segera turun menemui Musa dan tegurlah. Bahwa sesungguhnya Allah SWT punya hamba yang lebih pandai dari padanya dan kini sedang bertempat di majma’al-bahrain”.

Teguran itu begitu menghujam ke lubuk hati Musa dan menumbuhkan kesadaran mendalam. Musa A.S. mengajak santrinya yang bernama Yusa’ ibn Nun untuk menemani mencari keberadaan sang maha guru yang diisyaratkan Tuhan. Tempat itu samar, tapi berindikasi, yaitu pertemuan dua air laut. Ya, cuma tepatnya di mana?

Dan di hadapan santrinya itu, Musa A.S. berikrar tidak akan berhenti mencari guru tersebut hingga berhasil. Tidak peduli di mana majma’ al-bahrain itu dan membutuhkan berapa waktu. “La abrah hatta ablugh majma’ al-bahrain aw amdliya huquba”.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata

Sesungguhnya siapa Musa yang dikisahkan pada ayat ini, di mana majma’ al-bahrain dan “huquba” itu berapa tahun?

Jumhur mufassirin sepakat bahwa Musa pada ayat ini adalah Musa ibn Imran yang hidup semasa dengan raja Fir’aun, Mesir. Dalil utamanya adalah “fatahu”. Makna asli kata “fata” adalah pemuda, tapi dipakai penyebutan untuk ajudan, santri, dan sejenisnya yang bernama Yusya’ ibn Nun yang hidupnya pada kurun itu.

Penyebutan pelayan, ajudan, santri dengan “fata” pada ayat ini adalah pelajaran berakhlaq bagi umat beriman agar menghormati bawahannya. Panggilan adalah cerminan kepribadian seseorang. Meskipun pelayan, tapi janganlah dipanggil status pelayannya. Panggillah martabat kemanusiaannya, mas, mbak, dll.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman

Yang buruk adalah tradisi pada tata sebagian birokrasi kita, termasuk di kalangan militer. Umum sekali si atasan memanggil bawahannya dengan jangkar, namanya, Dul, Mat, Kin Solikin.., padahal si bawahan itu sudah dewasa, sudah punya istri dan anak, sudah dipanggil bapak pada lingkungannya, bahkan lebih tua usianya, hanya saja kalah pangkat.

Contohlah Rasululllah Muhammad SAW, meskipun para sahabat itu muridnya dan benar-benar muridnya bahkan banyak yang lebih muda, tapi dipanggil dengan “sahabat”, teman, kawan. Begitu tradisi etik para nabi, dari dulu hingga akhir selalu menghormati kemanusiaan. Rasulullah SAW pernah melarang memanggil budaknya dengan “budak”, ini budakku, tapi ucapkan ini “fata“ku, temanku.

Tentang majma’ al-bahrain sendiri terdapat silang pendapat dalam kitab-kitab tafsir. Misalnya: bibir pantai daerah Siria, Syam, Azerbaijan Rusia, di antara Laut Urdun dan Qulzum dsb. Sedangkan makna “huqub” adalah satu qurun waktu, kebanyakan ulama’ menyebut 80 tahun. Sebuah ideom untuk membahasakan waktu yang sangat panjang.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Memetik Hikmah dari Kepemimpinan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman

Walhasil, ayat ini mengajarkan betapa semangat membara dari diri Musa A.S. dalam menuntut ilmu. Berat macam apapun akan ditempuh tanpa kenal menyerah. Tidak mengenal batas waktu, karena ilmu itu tanpa batas.

Ini mengajari kita. Bahwa semangat belajar inilah yang rendah di kalangan orang yang sudah merasa gede, sudah merasa kiai, merasa sudah ustadz. Malas membaca dan malas menambah ilmu. Lebih suka memberi pengajian dari pada mengaji. Contohlah Musa A.S. yang nabi, yang utusan Allah, tapi sangat semangat menuntut ilmu.

*Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag adalah Mufassir, Pengasuh Rubrik HARIAN BANGSA, dan Pengasuh Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an (MQ), Tebuireng, Jombang.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Keputusan Bijak untuk Sengketa Peternak Kambing Vs Petani

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO