Oleh: Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag*
61. falammaa balaghaa majma’a baynihimaa nasiyaa huutahumaa faittakhadza sabiilahu fii albahri sarabaan
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
Maka ketika mereka sampai ke pertemuan dua laut itu, mereka lupa ikannya, lalu (ikan) itu melompat mengambil jalannya ke laut itu.
62. falammaa jaawazaa qaala lifataahu aatinaa ghadaa-anaa laqad laqiinaa min safarinaa haadzaa nashabaan
Maka ketika mereka telah melewati (tempat itu), Musa berkata kepada pembantunya, “Bawalah kemari makanan kita; sungguh kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini.”
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
63. qaala ara-ayta idz awaynaa ilaa alshshakhrati fa-innii nasiitu alhuuta wamaa ansaaniihu illaa alsysyaythaanu an adzkurahu waittakhadza sabiilahu fii albahri ‘ajabaan
Dia (pembantunya) menjawab, “Tahukah engkau ketika kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak ada yang membuat aku lupa untuk mengingatnya kecuali setan, dan (ikan) itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali.”
64. qaala dzaalika maa kunnaa nabghi fairtaddaa ‘alaa aatsaarihimaa qashashaan
Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana
Dia (Musa) berkata, “Itulah (tempat) yang kita cari.” Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula.
TAFSIR AKTUAL
Begitu tinggi semangat nabi Musa A.S. memburu guru spiritual yang ditunjuk Tuhan, hingga ikhlas menempuh perjalanan jauh dan berpayah-payah, padahal dia sudah meraih pangkat manusia yang paling tinggi. Yakni menjadi nabi utusan Tuhan.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok
Untuk itu, tidak pantas disebut pewaris para nabi, ”waratsah al-anbiya’” jika merasa cukup ilmu, merasa laku, merasa dibutuhkan umat, lalu malas membaca, malas belajar, malas menambah ilmu.
Lalu ayat ini bertutur tentang keadaan Musa A.S. dan santrinya di perjalanan yang kebablasan. Mestinya sudah nyampai di lokasi tujuan, yakni majma’ al-bahrain, tapi tak disadari.
Tepat di lokasi itu, keduanya istirahat sejenak dan asisten melihat keajaiban yang tidak dilihat oleh Musa. Ikan yang sudah dimasak menjadi lauk-pauk sebagai bekal perjalanan tiba-tiba hidup kembali, bergerak-gerak dan melompat menuju perairan, lantas berjalan laju, menyelinap di celah-celah bebatuan dan menghilang. “wa ittakhadza sabilah fi al-bahr saraba”.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata
Sang santri tersebut hanya bisa diam dan tidak mengabarkan kejadian aneh itu kepada gurunya, nabi Musa A.S. yang nampak kepayahan dan mengantuk. Begitu nabi Musa A.S. bangun dan merasa bugar kembali, spontan mengajak santrinya segera melanjutkan perjalanan. Guru ajaib, indikasinya juga ajaib.
Perjalanan yang tidak dimengerti ke mana arah dan tujuan. Meskipun tidak membawa ponsel android, tapi feeling-nya terus-menerus terhubung dengan situs Tuhan. Lalu terus melangkah dengan harapan bisa ketemu sang guru spiritual yang didambakan.
Tuhan menghentikan langkah mereka dengan memberi mereka rasa payah yang amat berat. Lalu ambil tempat istirahat untuk makan siang. “ .. atina ghada’ana laqad laqina min safarina hadza nashaba”. Cak, bawa kemari makanannya, kita benar-benar lapar dan lelah.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman
Yusa’ ibn Nun segera membuka bungkusan dan mengeluarkan makanan yang ia bawa untuk disajikan kepada Musa A.S. Begitu dilihat ikan yang menjadi lauk tidak ada, baru dia ingat kejadian ajaib sebelumnya. Lalu memberitahukan kepada nabi Musa A.S., bahwa ikannya melompat ke air saat sedang beristirahat di bebatuan baru lalu. Wa ittakhdza sabilah fi al-bahr ‘ajaba”.
Mendengar keterangan sang asisten, Musa A.S. terkejut sekaligus bergembira, lalu berteriak: “Nah itu yang kita cari..”, “dzalik ma kunna nabghi”. Mereka segera kembali menapak tilas menuju tempat yang barusan disinggahi, di mana ikan melompat di situ. “fa irtadda ‘ala atsarihima qasasa”.
Musa A.S. mengerti, bahwa perjalanan memburu guru spiritual tidak mudah. Meski lokasinya ditunjuk, tapi tidak dijelaskan persisnya. Inilah cara Tuhan memberi tahu orang pinter, tidak perlu dijelaskan secara detail, cukup secara umum saja.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Memetik Hikmah dari Kepemimpinan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman
Orang cerdas tidak suka mengeluh dan tidak menuntut penjelasan rinci. Berbeda dengan orang bodoh dan malas. Maunya jelas, ringan, dan tidak susah-susah. Orang cerdas menggunakan kecerdasannya seoptimal mungkin demi menacapai harapan. Orang cerdas yakin sekali akan bisa menemukan jalan, entah bagaimana caranya. Semua yang ada dimanfaatkan dan dijadikan piranti untuk sukses. Tidak sama dengan orang bodoh, semua dijadikan alasan untuk gagal.
Musa dan Yusa’ sejatinya sudah sampai di Majma’ al-Bahrain yang dituju, tetapi tidak dimengerti. Sesungguhnya Musa A.S. sudah mengerti indikator terkait keberadaan Khadlir secara persis, tetapi Tuhan tidak memperlihatkan kepadanya, melainkan kepada santrinya.
Meski si santri hanya tertegun dan tidak memberi tahu peristiwa ajaib, tapi akhirnya terungkap juga. Di sini pentingnya didampingi seorang “fata”, asisten, teman, santri, atau pembantu dalam mengurus hal penting. Di samping membantu secara tenaga, dia juga bisa sebagai perantara menemukan sesuatu yang dituju. Itulah pembantu yang bermanfaat.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Keputusan Bijak untuk Sengketa Peternak Kambing Vs Petani
Tuhan sengaja melenakan dan menutup mata Musa hingga tidak menyaksikan peristiwa lompatnya ikan, juga membungkam mulut Yusa’ hingga tidak segera memberitahu kepada Musa. Dia hanya tertegun kagum dan tidak memandang hal ajaib tersebut sebagai penting diberitahukan, sehingga Musa terus melanjutkan perjalanan.
Begitulah cara Tuhan mendidik hamba-Nya yang terkasih, tidak cukup sekali tempuh, lalu berhasil. Masih ada tambahan materi uji kesabaran, masih ada sesuatu yang meleset dan kelewatan. Tapi Musa tidak kecewa dan terus berusaha. Ini menunjukkan betapa Musa A.S. sungguh teladan bagi pemburu ilmu. Ya Allah, beri kami bimbingan-Mu demi lebih semangat menuntut ilmu.
Pemeloncoan Tuhan tersebut juga bisa dibaca sebagai “hukuman” atas diri Musa yang sebelumnya congkak, karena merasa paling pinter sendiri di dunia dan itu diucapkan di hadapan publik. Itu tidak pantas dilakukan oleh manusia sekelas Musa, maka hukumannya harus ditambah. Yakni berupa kebablasan, sehingga harus balik lagi. Makin tinggi derajat seseorang, makin berat ujiannya.
Benar, setelah pemeloncoan dirasa cukup, akhirnya Tuhan kasihan dan menyudahi perjalanan Musa. Sudah tiba waktunya Musa bertemu dengan guru spiritual yang didambakan dengan perantara acara makan siang (ghda’).
Jadi, ghada’ itu makan siang, karena menurut ayat ini dilakukan setelah perjalanan siang dan payah, “Laqad laqina min safarina hadza nashaba”. Sedangkan sarapan atau makan pagi itu “futhur”, yakni makan pertama hari itu dan biasanya pagi hari. Berbuka puasa juga disebut ifthar, futhur, karena merupakan makan pertama hari itu, meskipun dilakukan saat maghrib.
Napak tilas itu titi tur teliti, maka tercapai. Makanya, napak tilas itu harus persis dan benar-benar sesuai rute dan polanya, sehingga bisa mengambil pelajaran dari lelaku tersebut. Bukan sekadar seremonial dan hura-hura. “fa irtadda ‘ala atsarihima qasasa”.
Tidak ada keterangan Musa memarahi asistennya yang tidak memberi tahu, karena Musa memang tidak memberi tahu akan terjadinya hal itu sebelumnya. Musa sengaja tidak memberi tahu karena kuatir Yusa’ tidak bisa memahami peristiwa aneh tersebut. Maka memilih didiamkan saja dan membiarkan semuanya berjalan menurut kehendak Tuhan.
Dan ternyata Tuhan mengatur dengan cara-Nya sendiri. Itulah ketawadluan nabi Musa A.S. mampu menyimpan hal yang ajaib dan rahasia. Musa sadar, bahwa ini bukan konsumsi publik dan andai diberitahukan, maka belum tentu persoalan menjadi lebih baik.
Ini pelajaran bagi tuan-tuan yang punya kelebihan dan karamah, hendaknya disimpan saja dan ditutupi, cukup Allah SWT saja yang mengerti. Jangan gampang-gampang pamer, itu sum’ah dan riya’. Sesuatu yang terbuka, mudah sekali menguap dan sirna. Sesuatu yang dipamerkan, rawan sekali disambar orang.
Ayat studi di atas juga merupakan pendidikan bagi “al-fata”, asisten, santri, pembantu yang mendampingi bos dalam usaha menggapai sesuatu. Maka asisten harus tanggap terhadap apa saja yang dianggap penting. Ditunjuk sebagai pembantu itu untuk membantu, maka sebisa-bisanya ya harus membantu, jangan membisu dan diam. Sampaikan dengan benar setiap apa saja yang perlu.
Pelajaran tak kalah menarik adalah bekal, kelengkapan yang dibawa Musa dalam perjalanan panjang ini. Itu demi perjalanan menjadi nyaman dan tidak kelaparan. Untuk itu, meminta-minta karena kehabisan bekal di perjalan harusnya dihindari, meskipun agama menfasilitasi dengan adanya jatah zakat bagi Ibn al-sabil.
Memang nabi Musa A.S. tidak membawa ponsel untuk melacak lokasi guru spiritualnya secara tepat. Tapi hanya dengan indikator, Musa mampu menerjemah dengan kecerdasannya sendiri dan tepat. Tapi kita bukan nabi, maka memanfaatkan android untuk googling, shareloc menjadi piranti kemudahan. Itu ilmu Tuhan yang diberikan kepada umat manusia untuk kemudahan.
Tuhan itu menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki kesulitan. Maka memberi kemudahan adalah bagian dari ibadah, bagian dari sebaran rahmah. Tokoh agama, kiai, ustadz, penceramah yang dibutuhkan umat “wajib” punya ponsel agar umat terlayani dengan mudah. Itulah pribadi rahmatah li al-alamin. Andai waktu itu sudah ada teknologi android, google map, kami yakin Musa juga shareloc-shareloc-an dengan nabi Khadlir A.S.
*Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag adalah Mufassir, Pengasuh Rubrik Tafsir Alquran Aktual HARIAN BANGSA, dan Pengasuh Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an (MQ), Tebuireng, Jombang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News