Oleh: M Mas’ud Adnan --- KH Abdul Chalim adalah salah seorang ulama pendiri NU. Kiai Abdul Chalim juga sahabat karib KH Abdul Wahab Hasbullah sejak sama-sama belajar di Makkah.
Tapi nama ulama asal Leuwimunding Majalengka Jawa Barat itu nyaris tak pernah terdengar dalam perjalanan NU. Bagaimana sebenarnya peran Kiai Abdul Chalim dalam sejarah pendirian organisasi sosial keagamaan terbesar itu? Simak tulisan M Mas'ud Adnan, Komisaris Utama HARIAN BANGSA dan BANGSAONLINE.com yang dua kali nyekar ke makam ulama besar tersebut:
Baca Juga: Ribuan Warga Padati Mubarok Bersholawat, Paslon 2 Optimis Menang di Ngoro, Mojokerto
AHAD 8 Agustus 2021. Saya nyekar ke makam KH Abdul Chalim. Sendirian. Makamnya sangat sederhana. Anda bisa lihat di foto.
Di maqbarah itu ada tiga makam. Pertama, makam Kiai Abdul Chalim. Kedua, makam kecil, yaitu makam cucunya. Ketiga, makam menantunya.
Baca Juga: Mubarok Gembleng 6.472 Calon Saksi untuk Gus Barra-Rizal dan Khofifah-Emil di Mojokerto
Makam itu terletak di Leuwimunding, Kabupaten Majalengka, Provinsi Jawa Barat. Di lingkungan Pondok Pesantren Amanatul Ummah 02 yang kini sedang dirintis oleh putranya. Prof Dr KH Asep Saifuddin Chalim, MA, pengasuh Pondok Pesantren Amanatul Ummah Surabaya dan Pacet Mojokerto.
Sejak lama saya ingin sekali menulis tentang Kiai Abdul Chalim. Dulu pernah menulis di BANGSAONLINE.com. Tapi sedikit. Tak detail.
Kenapa saya ingin menulis Kiai Abdul Chalim? Selain tokoh besar, salah seorang ulama pendiri NU, juga namanya hampir tak terdengar. Padahal generasi muda, terutama generasi akan datang, perlu sekali referensi tentang tokoh-tokoh bangsa, terutama tokoh NU.
Baca Juga: Doa Bersama Kapolri dan Panglima TNI, Kiai Asep Duduk Satu Meja dengan Kapolda dan Pangdam V Jatim
Otomatis perlu ada dokumentasi. Narasi historis. Yang mencatat perjalanan, kiprah dan keteladanannya. Dengan demikian, generasi akan datang memiliki referensi.
Lebih-lebih para peneliti, penulis atau siapapun yang akan membuat karya ilmiah terkait perjalanan NU dan Indonesia ke depan.
Karena itu - sekali lagi - saya tertarik sekali untuk menulis kiai fenomenal dan penuh sejarah ini. Terutama untuk menutup kekosongan literasi. Tentang Kiai Abdul Chalim yang berjasa besar terhadap pendirian NU.
Baca Juga: Kampanye Akbar, Tak Banyak Pidato, Khofifah dan Gus Barra Sibuk Bagi Souvenir & Borong Kue Pengasong
(Penulis (M Mas'ud Adnan) saat nyekar di makam KH Abdul Chalim di Luewimunding, Kabupaten Majalengka, Provinsi Jawa Barat. Foto: BANGSAONLINE.com)
Ternyata banyak sekali kisah menajukbkan. Salah satunya, dawuh Kiai Abdul Chalim sangat mustajab.
Baca Juga: Lautan Manusia Padati Kampanye Akbar Paslon 02 Khofifah-Emil dan Gus Barra-Rizal di Mojokerto
Suatu ketika para ulama pendiri NU, termasuk KH Abdul Wahab Hasbullah rapat di kediaman KH Z Muttaqin. Kiai Wahab tiba-tiba bicara.
"Dari semua pendiri NU yang masih ada, hanya Kiai Abdul Chalim yang belum punya pesantren," kata Kiai Wahab Hasbullah.
Spontan Kiai Abdul Chalim menjawab. "Nanti anak saya yang akan punya pesantren besar," kata Kiai Abdul Chalim. Pernyataan Kiai Abdul Chalim itu diamini oleh Kiai Abdul Wahab Hasbullah.
Baca Juga: Kedatangan Kiai Asep dan Tim Mubarok di Pasar Bangsal Disambut Antusias Pedagang dan Warga
Ternyata ucapan Kiai Abdul Chalim itu terbukti. Salah satu putranya, Kiai Asep Saifuddin Chalim, kemudian mendirikan Pondok Pesantren Amanatul Ummah Surabaya dan Pacet Mojokerto. Kini memiliki 12.000 santri.
Bahkan Kiai Asep bukan hanya sukses sebagai pendiri pesantren dan ulama yang alim. Tapi juga sebagai akademisi, pendidik, dan motivator ulung. Selain itu juga sukses secara finansial, sebagai miliarder.
Namun yang paling khas - bahkan luar biasa - adalah kedermawanannya. Maka saya menjuluki Kiai Asep sebagai "kiai miliarder tapi dermawan". Karena banyak sekali orang kaya - maaf, termasuk kiai - tapi jarang yang dermawan. Kedermawanan - selain perlu watak sosial -juga butuh pengorbanan. Yaitu pengorbanan harta.
Baca Juga: Di Depan Pergunu Jatim, Kiai Asep Sebut Khofifah Cagub Paling Loman alias Dermawan
Nah, Kiai Asep inilah yang menjadi sumber utama tulisan saya tentang serial KH Abdul Chalim mulai hari ini.
Selain Kiai Asep saya juga menelusuri dokumen yang sangat minim. Selebihnya saya wawancara dengan sesepuh atau kiai di kampung saya di Kedung Sroko, Kelurahan Pacar Kembang, Kecamatan Tambaksari Surabaya. Kerena Kiai Abdul Chalim pernah tinggal di Kedung Sroko. Di belakang Fakultas Kedokteran Unair Surabaya. Tak jauh dari rumah saya. Sekitar 500 meter dari rumah saya.
Baca Juga: Kiai Asep Tebar Keberkahan, Borong Dagangan di Pasar Dinoyo sampai Warga Mantap Pilih Mubarok
(Prof Dr KH Asep Saifuddin Chalim, MA. foto: BANGSAONLINE.com)
Di Kedung Sroko, Kiai Abdul Chalim sempat mendirikan sekolah. Sampai sekarang sekolah itu masih ada. Memang, salah satu ciri khas Kiai Abdul Chalim mendirikan sekolah.
Saya sempat mewawancarai Abah Nur, kiai kampung Kedung Sroko, sebelum ia meninggal sekitar dua tahun lalu. Semasa hidup, Abah Nur aktif menjadi imam di sebuah masjid di gang III Kedung Sroko.
Abah Nur mengaku tahu betul siapa Kiai Abdul Chalim karena bertetangga. Rumahnya hanya berjarak gang.
Menurut Abah Nur, Kiai Abdul Chalim aktif berdakwah dari rumah ke rumah. Namun dakwah Kiai Abdul Chalim tak hitam putih. Kiai Abdul berjualan sarung yang ditawarkan ke rumah-rumah.
Nah, saat bertamu dan menawarkan sarung itulah Kiai Abdul Chalim menyampaikan dakwahnya. Biasanya cukup lama. Maklum dialogis. Sampai berjam-jam.
Menurut Abah Nur, sebenarnya jualan sarung itu, hanya media untuk dakwah. Karena sarung itu dijual dengan harga sangat murah.
Saya belum tahu kenapa Kiai Abdul Chalim tinggal di Kedung Sroko. Tak jauh dari rumah saya sekarang. Tapi yang pasti, kawasan rumah saya (Kedung Sroko) memang kental dengan NU.
Bahkan banyak tokoh besar NU pernah bermukim di kawasan ini. Antara lain KH Achmad Sjaichu (Ahmad Syaikhu). Kiai Achmad Sjaichu pernah tinggal di Kedung Tarukan Surabaya. Juga tak jauh dari rumah yang saya tempati sekarang. Jarak dari rumah saya sekitar 500 meter.
Kiai Achmad Sjaikhu asli Surabaya. Kelahiran Ampel dan mengawali aktif di NU sebagai Ketua Ranting NU Karang Menjangan Surabaya.
Kiai Achmad Sjaichu kemudian mendirikan Yayasan Al-Hamidiah di Kedung Tarukan sebelum akhirnya pindah ke Dopok Jawa Barat. Hingga sekarang Yayasan Al-Hamidyah di Kedung Tarukan masih eksis. Ada beberapa anak belajar ngaji tiap hari.
Kiai Achmad Sjaichu kemudian popular sebagai pendiri organisasi Ittihadul Muballighin. Sekaligus menjadi ketua umumnya.
Maka wajar jika Kiai Abdul Chalim pernah tinggal lama di Kedung Sroko Surabaya. Karena Kedung Sroko memang kawasan NU.
Yang pasti, saya tahu Kiai Abdul Chalim pernah tinggal di Kedung Sroko dari Kiai Asep . “Saya tahu banyak kawasan itu,” kata Kiai Asep kepada saya.
Namun Kiai Asep tak pernah tinggal di Kedung Sroko. “Kalau kakak saya iya,” katanya.
Kiai Asep sejak kecil justru tinggal di Sidoarjo. Di sebuah Pondok Pesantren di Buduran Sidoarjo. Karena itu Kiai Asep banyak berkiprah di Pondok Pesantren Al-Khozini. Kiai Asep bahkan hingga sekarang masih menjabat sebagai Rektor Institut Agama Islam Al-Khoziny Buduran Sidoarjo.
Yang menarik, awalnya Kiai Asep tak pernah mau menunjukkan ke publik bahwa abahnya pendiri NU. Alasannya sederhana. Kondisi ekonominya pas-pasan. Bahkan miskin. Takut diterwakan orang. Takut dianggap ngaku-ngaku. (M Mas’ud Adnan/Bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News