Pendaki Gunung, Rocky Gerung Sangat Biasa Hadapi Penderitaan, Kesulitan, dan Ancaman

Pendaki Gunung, Rocky Gerung Sangat Biasa Hadapi Penderitaan, Kesulitan, dan Ancaman Dahlan Iskan

Angka ajaib.

Inilah rumah di tebing itu: lebarnya 4 meter, panjangnya 9 meter. Tentu tidak ada dataran selebar 4 meter di tebing itu. Hanya 2 meter yang menempel di tanah. Yang 2 meter lagi ditopang tiang.

Berada di rumah ini serasa di Swiss. Bentuk rumahnya, cara menata di dalamnya, pilihan warna dan aksesorinya sangatlah Eropa.

Rocky sendiri yang merancang rumah itu. Ia ikut pula mengerjakan pasang batanya, pintu-jendelanya, dan gentengnya. Bahan-bahan itu ia beli dari rumah yang dibongkar. Dari kampung sebelah. “Saya bisa dapat genteng murah. Hanya Rp 2.000. Kalau baru kan Rp 11.000,” katanya.

Yang berbeda dengan rumah di Swiss adalah: rumah tebing ini tidak punya kamar. Ia tidak tidur di situ. Tidurnya di gasebo kayu terpisah. Harus menuruni tangga batu lagi. Lebih terjal. Itulah gasebo untuk membaca atau ngobrol. Pagar gasebo itu sekaligus tempat duduk tiga sisi. Yang bisa untuk 6 orang. Di atas plafon gasebo itulah Rocky tidur. Tangga ke plafon itu setengah tegak lurus. Mau tidur saja harus memanjat.

Saya memanjat tangga itu sambil memanjatkan doa. Saya longok rongga di plafon itu. Sempit. Seperti sarang burung: sekadar bisa menyelonjorkan badan. Sekadar ”toh posisi tidur kan tidak berdiri”. Inilah tenda dalam bentuk lain. Hanya orang yang biasa hidup di tenda bisa hidup di situ.

Memang ada hater yang bilang: rasain kalau rumah lu digusur, bakalan hidup di tenda. Sang hater mungkin mengira Rocky akan seperti di neraka kalau tergusur ke tenda. Padahal itulah surganya.

Siapa tamu Rocky sore itu? Ha… Saya kenal. Ada Jumhur Hidayat yang baru keluar dari penjara. Ada Syahganda Nainggolan, teman ITB Jumhur. Ada Ferry Juliantono.

“Saya juga baru sekali ini ke sini,” ujar Jumhur.

“Kalau saya, ini yang kedua,” ujar Syahganda.

Mereka, berempat, lagi ngobrol di teras sempit dengan pemandangan yang sangat luas. Gunung Salak ada di kejauhan sana. Lembahnya yang hijau jadi halaman belakang rumah ini.

Hanya saja di dekat tebing ini, mulai terlihat sehamparan tanah gundul. Kelihatannya baru saja di-buldozer. Tanahnya masih merah. Kelihatannya mau dibangun perumahan baru. Melebar ke arah lokasi rumah Rocky.

Tidak terlihat lagi ada alat-alat berat di situ.

Selebihnya hamparan hijau.

Pohon-pohon cemara di pekarangan rumah Rocky pun tinggi-tinggi. Saya harus menongak keras untuk menatap pucuknya.

Itulah pohon-pohon yang ditanam Rocky sendiri. Tahun 2008 lalu. Yakni saat ia memilih tebing ini untuk tempat tinggal.

Rumah Rocky yang kecil lah yang membuat pekarangan 800 m2 ini terasa seluas lapangan golf –kalau yang main golf teletubbies.

Di tebing itu Rocky memang seperti menjadi pemilik tunggal seluruh lembah Gunung Salak arah Sentul.

Di manakah Rocky meletakkan buku-bukunya?

Di mana-mana. Di dinding rumah, dinding gasebo, dinding tangga, dan bahkan di dinding toilet.

Sebenarnya ia tidak perlu lagi menyimpan ribuan buku itu –semua itu rasanya sudah seperti terekam di kepalanya.

Rocky lahir di Manado. SMA-nya di Don Bosco di kota itu. Demikian juga adik Rocky, Grevo Gerung. Yang kini Dekan Fakultas Perikanan Universitas Sam Ratulangi. Sudah guru besar. Doktornya tentang rumput laut di Jepang. Ia calon kuat untuk rektor di sana.

Ayah Rocky masih segar. Di Manado. Pernah menjadi kepala perikanan. Sang ayah, ujar Grevo, tidak merisaukan besarnya sorotan ke Rocky belakangan ini.

“Kalau ibu saya sudah meninggal,” ujar Rocky.

Lulus SMA Rocky ke Jakarta. Masuk fakultas teknik elektro Universitas Trisakti. Sampai semester lima. Lalu masuk Sospol UI.

Di Sentul Rocky mendirikan pendidikan panjat gunung. Yang ikut pendidikan itu sangat banyak: 30-an orang. Nama lembaga pendidikan itu: Detrac –Depok Tracking Academy. Ketuanya: Agik Fadil.

Saya minta maaf kepada para aktivis yang lagi kumpul di rumah Rocky. Saya telah mengganggu mereka. Saya pun segera bikin rekaman sebentar. Bisa dilihat di Instagram saya dan di podcast Energi Disway.

“Anda ini kumpul di sini by accident atau memang sudah direncanakan?” tanya saya.

“Yang tepat, kami ini kumpulan orang yang baru saja mengalami accident,” jawab Rocky.

Saya menyukai rumah ini. Padahal, seperti kata Rocky sendiri, “ini hanya rumah dan tangga, bukan rumah tangga”. (Dahlan Iskan)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO