Pasca Operasi Prostat, Ada Organ Harus Pensiun, Bagi yang Punya Istri Bagaimana?

Pasca Operasi Prostat, Ada Organ Harus Pensiun, Bagi yang Punya Istri Bagaimana? Dahlan Iskan

SURABAYA, BANGSAONLINE.com Presiden RI ke-6 berangkat ke luar negeri. Untuk operasi . Sudah pamit ke Presiden Jokowi. Tapi benarkah akan ada organ vital yang harus istirahat pasca operasi?

Simak tulisan wartawan kondang, Dahlan Iskan, di Disway dan HARIAN BANGSA pagi ini, Rabu 3 November 2021. Di bawah ini BANGSAONLINE.com menurunkan secara lengkap. Khusus pembaca di BaBe, sebaiknya klik "lihat artikel asli" di bagian akhir tulisan ini. Tulisan di BaBe banyak yang terpotong sehingga tak lengkap. Selamat membaca:

ANDA sudah tahu: Presiden lagi sakit. Sakitnya tidak membahayakan –untuk ukuran zaman sekarang: kanker tahap awal.

Jarang sekali orang umur 45 tahun ke bawah terkena sakit . Kian tua kian banyak. Apalagi yang di atas 60 tahun.

Anda juga sudah tahu: sakit hanya diderita laki-laki. Wanita tidak punya –karena tidak punya penis. Prostat adalah aksesori dari kemaluan laki-laki.

Pak sudah mengumumkan: Selasa sore (2/11) berangkat ke luar negeri. Di sana beliau akan menjalani operasi untuk menyembuhkannya.

Presiden Jokowi sudah diberi tahu. Dan akan menyertakan dua-tiga dokter kepresidenan untuk mendampingi selama pengobatan.

Ke mana Pak akan berobat?

Kini terlalu banyak dokter hebat yang bisa melakukannya. Di banyak negara. Pun di banyak kota di Indonesia. Tinggal pilih negara mana yang disuka.

Singapura sangat mampu. Bahkan operasinya sudah pakai robot. Sudah lebih 1.000 operasi kanker dilakukan di Singapura.

Pun teman baik saya. Sukses menjalaninya 2 tahun lalu. Hanya beberapa minggu sebelum pandemi.

Hari kedua ia sudah bisa meninggalkan rumah sakit. Ia merasa bahagia sekarang ini.

Waktu itu umurnya 72 tahun. Langsing. Hidupnya cukup sehat. Ia merasa harus sering kencing. Pun kalau malam. Setelah ke dokter ia tahu: nya membesar. Ia kian waspada. Setiap 6 bulan harus periksa dokter. Lebih teliti. Jangan sampai telat tahu-tahu sudah berkembang menjadi kanker.

Sakit itu ada empat jenis: kanker, infeksi, bengkak, dan membesar.

Akhirnya dokter mencurigainya: ada kanker. Tapi belum pasti. Harus dimonitor terus. Enam bulan berikutnya juga belum terlihat membesar. Tapi sudah dipastikan itu kanker. Dicoba dulu diatasi dengan obat. Sambil terus diamati.

"Saya putuskan segera operasi. Tempulu masih sangat dini," katanya.

Logika berpikirnya: punya benih kanker di dalam tubuh membuat hidup tidak tenang. Dengan operasi, kankernya bisa dibuang. Toh belum berkembang ke mana-mana.

"Saya menjalani operasi selama tiga jam," katanya.

"Bagaimana kerja robotnya?" tanya saya, kemarin.

"Saya tidak tahu. Saya kan dibius total," katanya.

Ia pun mengirimi saya video: operasi kanker pakai robot. Saya lihat video itu. Memang tidak dilakukan penyayatan panjang di bagian perut. Hanya saja di perutnya ditusuk di enam titik. Untuk membuat enam lubang: untuk memasukkan kabel dan ''tangan'' robot.

Juga untuk selang pengisap darah di sekitar jaringan yang dipotong oleh tangan robot.

Tangan robot itu dikendalikan oleh dokter dari luar ruang operasi. Terlihat bagaimana tangan robot ''menyibak'' jaringan-jaringan di perut bagian bawah. Lalu menuju bawah empedu. Ke bawah lagi. Ke dekat pangkal penis. Ke arah . Tangan robot itu lantas membuka dan mengambil kankernya.

Tangan robot pula yang memasukkan kanker itu ke dalam kantong plastik. Lalu kantong itu ditarik ke luar, lewat salah satu dari enam lubang buatan di perut.

Tugas akhir si tangan robot adalah menjahit yang dibuka tadi. Selesai.

"Sekarang hidup saya lebih tenang. Tidak kepikiran lagi," katanya.

Tentu begitu juga logika Pak . Tinggal mau melakukannya di mana. Saya tidak memperoleh jawaban dari beliau. Dugaan saya beliau memilih Amerika. Beliau lulusan negara itu. Juga merasa nyaman di sana.

Kecil kemungkinan beliau memilih Singapura –bayangan akan almarhumah sang istri akan sulit dihapus. Beliau, waktu itu, sampai dua bulan tinggal di RS Singapura. Untuk mendampingi sang istri, Bu Ani Yudhoyono, yang terkena kanker darah.

Itu baru dua tahun lalu. Juni 2019. Masih sangat segar di ingatan.

Ke mana pun berobat terserah beliau. Ke Jepang juga sangat baik. Ke Jerman juga hebat. Ke Hong Kong pun sudah terkenal kemampuannya di bidang itu.

Pun di Surabaya, sudah bisa dilakukan. Juga di kota seperti Bandung, Yogyakarta, dan Malang. Apalagi di Jakarta.

Indonesia sudah punya sekitar 30 dokter ahli kanker : onkologi urologi. Salah satunya tetangga desa tempat lahir saya: Dr dr Wahyu Djati.

"Sudah melakukan operasi kanker berapa kali?" tanya saya.

"Sudah banyak sekali?" jawab dokter Wahyu.

"Ada 100 kali?“

“Ya sekitar itu," jawabnya.

Dokter Wahyu alumnus Unair. Sejak dokter, spesialis sampai doktor. Ia menambah pendidikannya tiga kali ke Belanda, sekali ke Prancis dan Singapura. Termasuk mengikuti praktik operasi menggunakan robot.

"Pernah melakukan operasi menggunakan robot?"

“Belum," jawabnya. "Kan kita belum punya alatnya," tambahnya. "Operasi menggunakan robot itu lebih mudah," kata Wahyu yang tamat SMAN 2 Madiun.

Pokoknya kanker itu bukan lagi sakit yang gawat. Kemungkinan berhasilnya bisa 99 persen.

Kecuali ketahuan kankernya sudah sangat telat. Itu pun masih banyak yang berhasil. Contohnya Pak Sudi Silalahi. Ia sudah sampai berdarah-darah –saat kencing di pesawat kepresidenan di Kyoto. RSPAD Jakarta yang melakukan operasi kanker nya. Sembuh. Total. Giat lagi di jabatannya sebagai menteri sekretaris negara.

Bahwa minggu lalu beliau meninggal dunia, tidak ada hubungannya dengan itu. "Kanker beliau sudah bersih dan tetap bersih sampai beliau meninggal," ujar orang paling dekatnya.

"Apakah kanker bisa menyebar?" tanya saya.

Klik Berita Selanjutnya

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO