MALANG, BANGSAONLINE.com - Pusat Studi Pancasila dan Multikultural (PSPM) Universitas PGRI Kanjuruhan Malang (Unikama) menggelar Kolokium bertema 'Kampus Multikultural: Problem dan Masa Depannya' yang dipandu oleh Enike Dwi Kusumawati.
“Semua sepakat bahwa realitas itu tidak tunggal. Eksistensi multikultural harus kita terima. Faktanya hidup ini memang plural. Seorang individu itu adalah realitas tunggal, tetapi dalam dirinya sangat plural. Oleh karena itu kita mengenal pandangan bahwa manusia itu multidimensional,” kata Rektor Unikama, Pieter Sahertian dalam kolokium tersebut, Jumat (19/11).
Baca Juga: Beri Fleksibilitas bagi Mahasiswa Pascasarjana, Fakultas Sastra UM Punya Program Kuliah Paruh Waktu
Ia menuturkan, Unikama membangun tradisi yang baik untuk menciptakan suasana akademik dengan melakukan kolokium dan berbagai kegiatan sejenis lainnya. Pieter berharap, kegiatan-kegiatan itu bisa menciptakan suasana untuk saling berbagi dan membiasakan penyampaian gagasan secara ilmiah.
"Konsep ini selalu dipertanyakan, bagaimana bentuk kampus kita sebagai kampus multikultural. Unikama adalah miniatur Indonesia, mahasiswa dari agama dan keyakinan apa pun tanpa terkecuali bisa menggunakan fasilitas yang ada di Unikama," tuturnya.
"Ke depannya menjadi PR kita mencoba mencari core value-nya, supaya penamaan kampus kita sebagai kampus multikultural bisa kita pertanggungjawabkan. Kita bukan hanya ikiut-ikutan, di dalamnya ada nilai yang harus dihidupi, bukan hanya dalam pergaulan, tetapi terinternalisasi dalam kurikulum," paparnya menambahkan.
Baca Juga: Menuju Jatim Smart Province, Pascasarjana Unisma Bahas Pelayanan Publik di Era 4.0
Sementara itu, Ketua PSPM Unikama, Andre Fransiskus Gultom, memaparkan bahwa tema ini diambil untuk menggali kekayaan yang terkandung dari dalam kampus. Menurut dia, masih ada kampus multikultural di tanah air.
"Barangkali kita abai, bahwa yang baik itu ada di luar, padahal harta karun ada di dalam. Ingin mencari kekayaan dari dalam, dari kampus kita sendiri. Ada banyak universitas yang mengklaim dirinya sebagai kampus multikultural. University itu unity the diversity, pemaknaan ini mendasarkan bahwa universitas memiliki dan mengandung muatan multikultural (dimensi kodrati)," urai Andre.
Dosen Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Unikama, Wadji, menyatakan bahwa meningkatnya tindak intoleransi dalam masyarakat dalam lembaga pendidikan membuat Unikama segera mewujudkan kenyataan. Menurut dia, pemahaman terhadap keberagaman harus mewarnai setiap kampus, terlebih pada kampus yang mendeklarasikan diri sebagai kampus multikultural.
Baca Juga: Genjot Peningkatan Kualitas SDM, Kadin Jatim Teken MoU dengan Polinema
“Banyak kampus yang mengklaim diri sebagai kampus multikultural, namun hanya sebatas pencitraan dan alat untuk menarik minat calon mahasiswa baru. Menyandang predikat sebagai kampus multikultural setidaknya harus terpenuhi 3 syarat, yakni infrastruktur fisik, infrastruktur sosial, dan sistem,” kata Wadji.
Sejumlah infrastruktur itu, menurut dia adalah termasuk tersedianya sarana ibadah bagi semua agama dan keyakinan (fisik) dan berkaitan dengan pelayanan tanpa diskriminasi, sumber daya dan kebijakan kampus harus mendukung (sosial). Widji mengatakan jika selama ini kampus membuka lebar-lebar untuk kelompok mayoritas mengekspresikan keyakinannya, maka hal tersebut juga harus berlaku untuk minoritas tanpa terkecuali.
“Perlu juga adanya edukasi terhadap masyarakat sekitar kampus. Seperti kita ketahui selama ini masih banyak diskriminasi di lingkungan kampus. Sebagai contoh, masih banyak rumah kos yang bertuliskan 'Menerima Kos Putri Muslimah', untuk mencari tempat tinggal saja harus mengalami pembatasan-pembatasan seperti itu,” kata Wadji. (asa/mar)
Baca Juga: Gandeng FRPB Pamekasan, Mahasiswa PMM UMM Sosialisasi Adaptasi Kebiasaan Baru
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News