Muktamirin Kecewa, Khutbah Iftitah Pj Rais Aam PBNU Kiai Miftah Tak Pakai Bahasa Arab

Muktamirin Kecewa, Khutbah Iftitah Pj Rais Aam PBNU Kiai Miftah Tak Pakai Bahasa Arab KH Miftahul Akhyar saat menyampaikan khutbah iftitah pada pembukaan Muktamar ke-34 NU di Pondok Pesantren Darussa'adah, Lampung Tengah, Rabu (22/12/2021). foto: YouTube

LAMPUNG TENGAH, BANGSAONLINE.com – Peserta muktamar (muktamirin) - terutama para kiai - terperanjat ketika Penjabat (Pj) Rais Aam Syuriah PBNU, KH Miftahul Akhyar, tak pakai bahasa Arab saat menyampaikan khutbah iftitah pada pembukaan Muktamar ke-34 NU di Pondok Pesantren Darussa’adah, Lampung Tengah, Rabu (22/12/2021).

Kiai Mif atau Kiai Miftah – panggilan Kiai Miftahul Akhyar – justru memakai bahasa Indonesia layaknya pidato biasa. Akibatnya, para muktamirin - terutama para kiai - yang mengikuti Muktamar ke-34 NU yang dibuka Presiden RI Joko Widodo itu kecewa. Mereka ramai membicarakan khutbah iftitah tak lazim tersebut.

Dalam pidato dengan intonasi tinggi itu, Kiai Miftahul Akhyar mengaku  dirinya banyak kekurangan, ketidakcakapan, dan ketidakmampuan dalam mengemban tugas sebagai Pj Rais Aam.

Kiai Miftahul Akhyar yang kini juga menjabat Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat itu bahkan mengakui dirinya layak mendapat gelar Rais Awam dan KW3.

“Sangat layak mendapat gelar Rais Awam, Rais Aam KW3...,” kata Kiai Miftahul Akhyar yang saat menyampaikan khutbah iftitah membaca teks.

Para muktamirin pun banyak yang kecewa. Mereka memperbincangkan khutbah iftitah yang disampaikan Kiai Miftah tersebut. Mereka menilai bahwa Kiai Miftah telah melanggar atau menghapus tradisi NU. Alasannya, mulai Rais Akbar Hadratussyaikh KHM Hasyim Asy'ari hingga Rais Aam-Rais Aam berikutnya selalu memakai Bahasa Arab saat menyampaikan khutbah iftitah.

Karena itu, seorang kiai peserta muktamar menganggap apa yang disampaikan Kiai Miftah itu bukan khutbah iftitah. 

“Itu bukan khutbah iftitah, tapi pidato pembukaan,” kata kiai peserta Muktamar ke-34 NU yang sehari-harinya pengasuh pondok pesantren di Jawa Timur yang enggan disebut namanya. Menurut kiai yang memiliki puluhan ribu santri itu, Kiai Miftah telah menghilangkan ciri khas Muktamar NU.

“Baru kali ini Muktamar NU kehilangan ciri khasnya,” kata kiai tersebut kepada BANGSAONLINE.com usai mengikuti pembukaan Muktamar NU yang dihadiri ribuan warga NU itu.

Menurut dia, Kiai Miftah seharusnya meluangkan waktu untuk menulis khutbah iftitah berbahasa Arab agar tradisi NU itu tak hilang. Sebab, sejak NU berdiri, yaitu Hadratussyaikh KHM Hasyim Asy'ari jadi Rais Akbar hingga Rais Aam-Rais Aam berikutnya dari Muktamar ke Muktamar selalu selalu pakai bahasa Arab.

"Kalau Kiai Miftah tak sempat menulis sendiri konsep atau khutbah iftitah, seharusnya bisa minta tolong orang lain. Nanti dibaca saat menyampaikan khutbah iftitah," katanya.

Kiai peserta Muktamar lain juga berkomentar. "Rais Syuriah PWNU saja pakai bahasa Arab, masak Rais Aam Syuriah PBNU pakai bahasa Indonesia," katanya.

(Dr KH A Malik Madani. foto: ist)

Katib Aam Syuriah PBNU periode 2010-2015, Dr. KH. A. Malik Madani, juga menyayangkan Kiai Miftah memakai bahasa Indonesia saat menyampaikan khutbah iftitah.

Menurut dia, khuthbah iftitah seorang Rais Aam Nahdlatul Ulama dalam Muktamar yang diselenggarakan lima tahun sekali memiliki arti yang sangat penting.

“Selama ini sudah menjadi tradisi turun-temurun bahwa Rais Aam menyampaikan khutbah iftitahnya dalam kata-kata dan kalimat-kalimat yang didominasi oleh Bahasa Arab. Ini jelas sebuah tradisi yang sangat baik, sesuai dengan keberadaan NU sebagai jam'iyyah diniyyah ijtima'iyyah yang berbasis pondok pesantren yang akrab dengan kitab kuning yang berbahasa Arab sebagai kebanggaannya,” katanya.

Menurut Kiai Malik Madani, dalam rangka menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman, memang tidak ada salahnya Rais Aam mengutip ungkapan-ungkapan dalam bahasa asing non Arab, seperti Inggris, Prancis, dan lain-lain.

“Tapi porsinya tidak boleh menggusur dominasi Bahasa Arab dalam khutbah iftitahnya. NU tidak boleh kehilangan jati dirinya sebagai ormas Islam yang lahir dan berbasis pesantren dengan bahasa Arab dan kitab kuning sebagai kebanggaannya,” tegas kiai asal Petrah, Tanah Merah, Bangkalan Madura itu.

Ia menyayangkan kebanggaan itu sekarang sudah hilang dari kita. Apalagi akibat pemimpinnya. 

Menurut dia, bagaimana mungkin kita berharap orang lain bangga dengan bahasa Arab dan kitab kuning yang merupakan khazanah intelektual kita. Sementara kita tak mentradisikan berbahasa Arab.

“Pepatah Arab mengatakan: Faaqidusy-syay-i laa yu'thiih". Artinya, orang yang kehilangan sesuatu tidak mungkin dapat memberikan sesuatu itu kepada orangg lain,” kata Kiai Malik Madani. (mma)