Kontroversi Pemilihan Rais Am

Kontroversi Pemilihan Rais Am Maimunah Saroh

Oleh: Maimunah Saroh...


BANGSAONLINE.com - Hanya berselang tiga hari Jawa Pos memuat berita dan opini soal ahlul halli wal aqdi (ahwa). Pertama, pernyataan Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifuddin yang mendukung pemilihan rais am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU) lewat ahwa (31/3). Kedua, tulisan Khoiron berjudul Meneguhkan Supremasi Kiai yang juga mendukung ahwa (3/4).

Dalam opini tersebut, Khoiron mengklaim ahwa sudah disepakati dalam Munas-Konbes NU 2014. Faktanya, dari total 33 pengurus wilayah (PW) NU, justru mayoritas menolak ahwa. Penolakan masal itu ditegaskan lagi dalam pertemuan 25 PW NU pada 29 Maret 2015.

Imam Aziz selaku ketua panitia muktamar maupun Said Aqil Siradj sebagai ketua umum PB NU menyatakan di media massa bahwa pemilihan rais am dalam Muktamar Ke-33 NU di Jombang memakai sistem ahwa. Padahal, semua keputusan musyawarah nasional (munas)-konferensi besar (konbes) masih akan dibahas lagi dalam muktamar.

Khoiron menukil pendapat Ketua PW NU Jawa Tengah Abu Hafsin soal ahwa. Memang selama ini PW NU Jawa Timur dan Jawa Tengah yang resmi mewacanakan ahwa. Tapi, ketika 25 PW NU menolak ahwa, Abu Hafsin juga realistis. Dia justru menginginkan ketua umum yang di-ahwa-kan, bukan rais am.

Kenapa ahwa ditolak? Pertama, mereka menganggap ahwa bertentangan dengan anggaran dasar/anggaran rumah tangga (AD/ART) NU. Dalam AD/ART NU pasal 41 poin a disebutkan, rais am dipilih secara langsung oleh muktamirin melalui musyawarah mufakat atau pemungutan suara dalam muktamar setelah yang bersangkutan menyampaikan kesediaannya. Artinya, kalau mau menerapkan ahwa, mereka harus mengubah AD/ART NU terlebih dulu melalui muktamar. Munas-konbes adalah lembaga di bawah muktamar.

Kedua, untuk kondisi sekarang, sulit mencari figur kiai yang memenuhi syarat sebagai anggota ahwa. Para penolak ahwa realistis dan sadar tentang eksistensi kiai dewasa ini. Kesadaran eksistensial itu tentu bagian dari kultur NU, yaitu sikap tawaduk dan tahu diri.

Khoiron menyebutkan, selama 30 kali muktamar, selama itu pula sistem ahwa digunakan, yang menempatkan konsep musyawarah dalam pemilihan rais am. Dalam sejarah NU, ahwa hanya dipakai pada Muktamar Ke-27 NU di Situbondo (1984). Saat itu NU dihegemoni politisi hampir 26 tahun sehingga para kiai sepuh seperti KH As’ad Syamsul Arifin, KH Mahrus Ali, dan kiai lain sepakat mengambil alih NU lewat ahwa demi keselamatan organisasi keagamaan yang didirikan Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari pada 1926 itu. Ijtihad para kiai tersebut melahirkan duet kepemimpinan KH Ahmad Shiddiq sebagai rais am dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai ketua umum tanfidziyah PB NU.

Kini sudah tak ada ulama sekaliber KH As’ad Syamsul Arifin, KH Mahrus Ali, KH Ahmad Shiddiq, KH Ali Maksum, dan kiai lain, terutama dari segi keilmuan, wawasan, kezuhudan, kearifan, ketokohan, serta kemampuan menyerap informasi secara adil dan imbang. Karena itu, pemilihan rais am lewat suara muktamirin lebih maslahat ketimbang menunjuk sembilan kiai yang pasti mengundang kontroversi berkepanjangan.

Lihat juga video 'Mobil Dihadang Petugas, Caketum PBNU Kiai As'ad Ali dan Kiai Asep Jalan Kaki ke Pembukaan Muktamar':


Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO