Oleh: Abdul Kodir
Peristiwa pembunuhan Salim Kancil yang terjadi beberapa tahun silam bisa menjadikan potret mengenai buruknya tata kelola pertambangan di Jawa Timur (Jatim). Kejadian itu akan menjadi salah satu pengingat bagaimana sektor tambang memiliki satu kuasa yang kuat, hingga menyebabkan hilangnya nyawa seseorang.
Baca Juga: 3 Raperda Hasil Fasilitasi Gubernur Jatim Turun, Pemkot Mojokerto Sodorkan 5 Raperda Baru
Penulis pun meyakini bahwa peristiwa ini merupakan satu fenomena gunung es dari kompleksitas persoalan tambang di Jatim.
Pada awal 2022, Dirjen Minerba Kementrian ESDM mengeluarkan surat penghentian 1.036 perusahaan tambang karena belum menyerahkan rencana kegiatan dan anggaran biaya (RKAB) 2022. Dari total yang ada, sebanyak 185 perusahaan terdaftar di Jatim dengan beragam komoditas tambang.
Dari data tersebut, memang sepenuhnya belum bisa dijadikan sebagai alat justifikasi tentang tata kelola pertambangan di Jatim secara menyeluruh. Karena mungkin akan dianggap masalah administrasi, namun bisa menjadikan gambaran bahwa Pemprov Jatim belum cukup serius mengurus tata kelola sektor tambang.
Baca Juga: Rapat Pemadanan, Langkah Strategis Kemenkumham untuk Sinkronisasi Data PPNS di Jatim
Melanggar Peruntukan Kawasan
Perlu diperhatikan, bahwa izin usaha produksi (IUP) dari perusahaan tambang di Jatim sebagian besar berdiri di luar peruntukan lahannya. Kawasan-kawasan itu awalnya sebagai wilayah lindung atau yang memiliki fungsi penyangga ekologis untuk masyarakat, tapi karena kepentingan ekonomi-politik dari proyek pertambang cukup besar, sehingga seringkali merubah peruntukan kawasan tersebut.
Kita bisa mengambil pelajaran penting, dari beberapa kasus penolakan warga terhadap proyek pertambangan di beberapa tempat seperti di Banyuwangi dan Trenggalek. Gerakan tolak tambang emas di wilayah pegunungan Tumpang Pitu dan Salakan juga dikarenakan wilayah itu bukan pertambangan, namun sebagai wilayah kawasan hutan lindung.
Baca Juga: Terobosan Baru, Kanwil Kemenkumham Jatim Hadirkan Immigration Lounge di Gresik
Pada 2014, Zulkifli Hasan yang saat itu menjabat sebagai Menteri Kehutanan menurunkan status kawasan hutan lindung menjadi hutan produksi mencapai 1.942 hektare, serta memperuntukkan kawasan tersebut dengan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) kepada PT BSI dan PT DSI yang merupakan anak perusahaan PT Merdeka Copper Gold (Tbk).
Di Trenggalek pun sama, lebih dari 12.000 hektare IUP yang didapatkan oleh PT SMN, hampir seperempat luas wilayahnya berdiri pada kawasan hutan lindung dan kawasan lindung Karst. Tentu, dengan status ini akan berdampak terhadap perubahan bentang alam dan ekosistem.
Jika mengacu pada Peraturan Daerah Nomor 15/2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Trenggalek 2012-2032, kawasan tersebut termasuk fungsi lindung. Sebagai konsekuensinya, jika pertambangan tetap dipaksakan, akan menimbulkan kerusakan lingkungan jangka panjang yang sukar untuk diperbaiki.
Baca Juga: Kepala BHP Surabaya Tekankan Pentingnya Upaya Recovery dalam Kepailitan oleh Kurator Negara
Mendorong KLHS
Tidak semua publik perhatian atau mengerti dari substansi hasil kajian awal tentang kelayakan lingkungan dari proyek pertambangan. Situasi ini sering kali dimanfaatkan oleh pemrakarsa bahwa agenda yang mereka jalankan sudah bisa dikatakan layak untuk beroperasi.
Biasanya mereka berlindung dari dokumen AMDAL yang disusun oleh para konsultan dan terverfikasi oleh tim Komisi Penilai AMDAL (KPA). Tapi dalam beberapa kasus, kajian akademik tersebut bermasalah dalam beberapa hal.
Baca Juga: Tingkatkan Layanan Keimigrasian, Kanwil Kemenkumham Jatim Buka Immigration Lounge di Gresik
Sebagai contoh kasus pendirian pabrik semen di Rembang, setelah proses verifikasi lapangan yang dilakukan oleh tim KLHK, menunjukkan bahwa dokumen AMDAL yang disusun belum memenuhi kelayakan. Beberapa masalah ditemukan dari lembaga penyusun yang tidak terdaftar dalam KLHS hingga pelingkupan rona LH yang sangat terbatas.
Oleh karea itu, Pemprov Jatim perlu untuk mendorong Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) terutama di beberapa wilayah yang memiliki potensi sumber daya alam cukup besar. Melalui KLHS, Pemprov Jatim akan bisa melihat bagaimana daya dukung dan daya tampung lingkungan dari beberapa wilayah tersebut, terutama resiko kerusakan lingkungan dan dampak sosial yang ditimbulkan dari proyek tambang.
Satu hal yang perlu kita pahami bersama, tujuan dari KLHS ini tidak serta merta berupaya menutup segala akses pertambangan. Karena bagaimanapun sektor tambang berkontribusi terhadap PAD Jawa Timur meskipun tidak cukup besar. Namun menjadi jalan tengah untuk mendorong pembangunan daerah dengan masih memperhatikan lingkup sosial ekologis di beberapa daerah yang memenuhi prasyarat tersebut.
Baca Juga: Kanwil Kemenkumham Jatim Siap Sukseskan Renaksi dan Tarja DJKI Tahun 2025
Penulis adalah Mahasiswa Doktoral Department Environment and Geography-University of York dan merupakan Dosen Sosiologi Universitas Negeri Malang
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News