BANGSAONLINE.com - Pengasuh Pesantren Tebuireng KH Shalahuddin Wahid (Gus Solah) menegaskan ada beberapa faktor seseorang melakukan gerakan radikal.
Pertama, karena faktor pemahaman agama yang rendah. ”Beberapa oknum yang melakukan teror, pengeboman dan bom bunuh diri, ternyata berasal dari mahasiswa yang basis keilmuannya dari ilmu umum,” kata Gus Solah dalam Sarasehan Antisipasi Gerakan Radikal dan Anti Pancasila di Aula Polda Kalimatan Barat (Kalbar), Selasa (5/5/2015). Sarasehan diikuti Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) dan Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) se-Wilayah Kalimantan Barat, pengurus Muhammadiyah, Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), dan organisasi sosial kemasyarakatan, para mahasiswa, pelajar dan pejabat Pemprov Kalbar.
Baca Juga: Polda Jatim Kolaborasi dengan Ponpes Wali Barokah Bentengi Santri dari Pengaruh Radikalisme
”Lalu mereka memperoleh doktrin keagamaan yang salah, akhirnya mereka berbuat radikal. Tugas para tokoh agama meluruskan pemahaman jihad dan menafsirkan teks-teks al-Qur’an, Hadits dan kitab (kuning) yang sesuai dengan nilai-nilai Islam rahmatan lil’alamin,” tegas cucu pendiri NU Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari itu.
Faktor kedua, menurut dia, adalah ketidakpuasan terhadap pengelola negara. ”Karena Indonesia yang sejatinya adalah negara kaya raya, bahkan Emha Ainun Najib mengatakan seperti surga yang sedang menetes di Indonesia,” katanya.
Kenyataannya, tegas Gus Solah, Indonesia tidak menjadi negara makmur. ”Lalu mereka berisinisiatif membuat negara Islam atau khilafah dan menyatakan Indonesia dengan dasar negaranya Pancasila adalah negara kafir. Siapapun yang membela Pancasila harus diperangi. Keadaan ini tidak boleh kita biarkan. Kita harus terus memperbaiki pengelolaan negara ini,” tegas mantan ketua PBNU dan Wakil Ketua Komnas HAM ini.
Baca Juga: Densus 88 Gelar Sosialisasi Kebangsaan di Lamongan
Ketiga, tegas Gus Solah, adalah faktor ekonomi atau kesejahteraan hidup. ”Mereka yang ikut ISIS atau ikut gerakan radikal karena ada iming-iming gaji atau pendapatan ekonomi yang cukup lumayan,” kata Gus Solah yang alumnus Institute Teknologi Bandung (ITB). Karena faktor kemiskinan itulah, kata Gus Solah, mereka mau menjadi radikalis.
”Oleh karena itu tugas negara bagaimana berupaya untuk memajukan ekonomi dan memakmurkan masyarakat,” tegas Wakil Ketua PMII Cabang Bandung periode 1964-1966 ini.
Sementara Kapolda Kalimantan Barat Brigjen Pol. Arif Sulistyanto mengingatkan ada tiga hal yang harus kita waspadai. Pertama radikalisme, artinya seseorang yang memiliki pemikiran untuk melakukan gerakan radikal.
Baca Juga: Ghibah Politik Ramadhan: Menyoal PBNU tentang Politik Dinasti dan Misi Gus Dur
Kedua, radikalisasi. Maksudnya gerakan yang telah dilakukan oleh seseorang atau kelompok tertentu untuk berbuat radikal.
Ketiga, radikal. Artinya aksi kongkrit radikal terhadap masyarakat atau negara. ”Ketiga hal ini harus kita waspadai dan harus kita sikapi, jangan sampai masyarakat Indonesia menjadi ISIS.
Tugas kami (Polri) adalah mendeteksi adanya gerakan radikal, preventif dan penegakan hokum,” katanya.
Baca Juga: Cegah Ajaran Radikalisme Melalui Medsos, Polresta Sidoarjo Perkuat Barisan Netizen
Sedang Agus yang mewakili Badan Intelijen Negara (BIN) di daerah Kalimantan Barat, menjelaskan gerakan radikal harus kita antisipasi dari gerak gerik masyarakat yang ada dibawah.
”Kelompok-kelompok masyarakat yang arahnya sudah tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945, apalagi mengancam terhadap keberadaan NKRI harus kita pantau. Karena tugas BIN termasuk mendeteksi keberadaan masyarakat. Dengan begitu kita bisa mengatisipasi sejak dini terhadap gerakan radikal,” katanya. (hms)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News