SURABAYA, BANGSAONLINE.com – Oleh: Prof Dr KH Imam Ghazali Said, MA ---
Ini bagian ketiga dari tulisan Prof Dr KH Imam Ghazali Said, MA yang dimuat di HARIAN BANGSA. Terutama terkait dengan kegagalan beberapa raja yang ingin menghidupkan lagi sistem khilafah yang kemudian berorientasi pada dasar negara Islam di negara masing-masing. Selamat mengikuti:
Baca Juga: Kecewa Nepotis, Islah Bahrawi Tuding Jokowi Berperilaku seperti Khalifah
Paparan realitas politik di atas menunjukkan bahwa konsep warga negara muslim, dzimmi, mu’ahad, musta’man dan lain-lain hanya termaktub dalam kitab-kitab fikih, khususnya fikih siyasah klasik. Kadang, bagian-bagian tertentu dari kitab-kitab tersebut yang dinilai masih relevan dengan konteks kekinian dikutip untuk memberikan legitimasi sikap politik atas kebijakan pemerintah.
Teks fikih produk kejayaan Islam tersebut masih terus memiliki pengaruh penting dalam kehidupan masyarakat Islam hingga dewasa ini, walaupun proses pembaharuan terus berlangsung. Dinamika pembaharuan itu berjalan seiring dengan aktivitas penafsiran para ulama sesuai dengan perkembangan keilmuan. Dalam studi Islam, pembaharuan selalu terkoneksi dengan produk pemikiran ulama fikih terdahulu. Karya fikih mereka hampir selalu menjadi titik tolak dalam mengonstruksi penafsiran baru. Sehingga kerap kali dijumpai fenomena pemaknaan ragam realitas baru dengan mempergunakan konsepsi teks-teks fikih klasik.
Pada awal negara bangsa terbentuk sebagai konsekuensi kemerdekaan yang diperjuangkan oleh para aktivis politik muslim muncul gagasan agar kaum muslim melepaskan diri dari “arahan fikih klasik”, yang dimotori oleh Sayyid Qutub ( 1906-1966) dalam trilogi bukunya: Nahwa Mujtama’in Islamyyin, al-Mustqbal Lihza al-Din dan Ma’alim fi al-Thariq. Menurut Qutub: Semua energi perjuangan di era modern harus dikerahkan untuk mendirikan “negara Islam” dan formalisasi syariat Islam dalam konsitusinya. Sepanjang negara Islam tak ada dan syariat Islam tak diberlakukan, maka kajian kitab-kitab fikih menjadi tidak penting. Untuk apa kita belajar fikih, jika ilmu ini tak bisa dilaksanakan ? Demikian pertanyaan skeptis Sayyid Qutub ?
Baca Juga: Halaqah Fiqih Peradaban Bangsa di PP Ibnu Cholil, KH Zulfa: Khilafah Tak Diperintahkan oleh Agama
Gagasan dan usulan Sayyid Qutub ini mendapatkan reaksi keras dari pemikir yang lebih yunior Syeikh Wahbah al-Zuhayli (1932-2015) dengan menulis artikel: al-Mu’tadun ‘Ala al-Fiqh. Menurut Zuhayli; mengamalkan syariat Islam (baca: fikih) harus dipahami dalam dua tataran. Pertama, pengamalan individual yang diharapkan akan berkembang menjadi gerakan kultural untuk membentuk etika sosial. Pengamalan fikih seperti ini bisa dilaksanakan, baik negara Islam berdiri maupun negara Islam tidak bisa berdiri. Kedua, syariat Islam atau fikih diadopsi untuk menjadi undang-undang (hukum positiv). Adopsi fikih menjadi hukum positif itu bisa dilakukan oleh suatu negara bangsa dalam segala bentuknya (kerajaan, republik dan lain-lain). Jadi, menurut al-Zuhayli fikih bisa dilaksanakan, baik ada negara Islam maupun tanpa negara Islam, dalam tataran maksimal dan minimalnya. Mengingat fleksibelitas fiki, wajarlah jika menyatakan: “ Islam bisa bisa dipraktekkan kapanpun dan dimanapun”. (bersambung)
Prof Dr KH Imam Ghazali Said, MA adalah pengasuh Rubrik Tanya Jawab Islam di HARIAN BANGSA, dosen Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) dan Pengasuh Pesantren Mahasiswa An-Nur Wonocolo Surabaya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News