Oleh: Prof Dr KH Imam Ghazali Said, MA --- Perdebatan Islam dalam konstitusi - termasuk khilafah - banyak mewarnai sejarah negara-negara dunia, terutama yang berpenduduk muslim. Nah, Prof Dr KH Imam Ghazali Said, MA, menuliskan secara konfrehensif, baik dalam perspektif historis (sejarah) maupun dinamika politiknya. Tulisan yang berasal dari makalah Halaqah Fikih Peradaban di Pesantren Mahasiswa An Nur Wonocolo Surabaya itu dimuat secara bersambung di HARIAN BANGSA sejak Rabu, 23 Nopember 2022. Mulai hari ini, Jumat (25/11/2022), kami turunkan untuk pembaca BANGSAONLINE.com secara serial. Selamat mengikuti:
Bingkai Sosio-Historis
Baca Juga: Kecewa Nepotis, Islah Bahrawi Tuding Jokowi Berperilaku seperti Khalifah
Kaum Muslim sejak masa khulafa’ al-rasyidin sampai Turki Usmani tumbang, berkeyakinan bahwa negara khilafah itu wajib ditegakkan sekaligus “wajib berasas Islam” dengan segala konsekuensi kebijakan politik politik dan hukumnya. Karena itu, pasca Mustafa Kemal Attaturk (1881-1938) memproklamirkan dihapusnya sistem Khilafah sekaligus membalik Turki menjadi negara kebangsaan sekuler dalam bentuk Republik Turki Modern pada Maret 1924, dunia Islam terguncang. Karena menurut Fikih “menegakkan khilafah bagi kaum Muslim itu kewajiban agama”.
Situasi ini dimanfaatkan oleh Syarif Husain (1853-1931) raja Hijaz yang sebelumnya berstatus sebagai gubernur dari kekhalifahan Turki Usmani pada April 1924 memproklamirkan dirinya sebagai khalifah. Tetapi klaim raja Hijaz ini gagal, karena tidak mendapatkan dukungan dari dunia Islam, juga tidak mendapatkan restu dari Inggris sebagai pimpinan koalisi pemenang perang dunia pertama (1914-1918) dan Hijaz (Mekkah-Madinah dan sekitarnya) jatuh ke tangan pemimpin gerakan wahabi Amir Abd Aziz bin Abdurrahmaan Alu Saud (1876-1953) yang saat itu populer dengan Ibnu Saud.
Gerakan untuk “menghidupkan khilafah” muncul kembali dari raja Mesir Fuad I (1868-1936).Ia menyelenggarakan kongres Khilafah Internasional pada 1925 di Kairo, dengan mengundang para tokoh politik dan ulama dari berbagai belahan dunia Islam untuk menghadiri kongres penting ini. Delegasi dari Jawa (baca: Indonesia) yang sempat hadir adalah HOS Tjoktro Aminoto (1883-1934), dan dua orang delegasi Muhammadiyah.
Baca Juga: Kiai Dihina Habis-Habisan, Kiai Wahab dan Kiai Chalim Minta Restu Hadratussyaikh Dirikan NU
Sedangkan KH Abd Wahab Chasbullah (1888-1971) sebagai wakil kaum tradisi gagal berangkat karena tidak mendapatkan tiket. Kongres Khilafah di Kairo ini “gagal menetapkan” raja Fuad I sebagai khalifah. Para delegasi berkesimpulan: “Mereka sepakat untuk tidak sepakat”.
Kegagalan penegakan khilafah di Kairo, paling tidak, dipicu dua sebab. Pertama, masing-masing delegasi lebih realistis untuk berjuang memerdekakan negaranya masing-masing berdasarkan deologi nasionalisme kebangsaan seperti yang ditawarkan oleh kaum penjajah.
Kedua, ternyata penegakan khilafah itu menurut kitab: al-Islam wa Ushul al-Hukm karya Syekh Ali Abd Raziq (1888-1967) itu tidak wajib. Umat Islam boleh mendirikan “negara bangsa” sendiri-sendiri dalam berbagai bentuk; (republik, kerajaan dan lain-lain) sesuai sarana politik yang menguntungkan pada masing-masing bangsa.
Baca Juga: Halaqah Fiqih Peradaban Bangsa di PP Ibnu Cholil, KH Zulfa: Khilafah Tak Diperintahkan oleh Agama
Pasca Abd Aziz menobatkan diri sebagai raja Hijaz setelah sukses “mengusir” Syarif Husein bin Ali, ia juga berambisi untuk menjadi khalifah. Tetapi, ia memilih untuk realitis dengan tidak berupaya menobatkan diri sebagai khalifah. Ia sudah merasa puas dengan capaian penyatuan dua wilayah: timur, dengan Riyad sebagai basis aktifitas gerakannya, dan wilayah barat dengan Jeddah sebagai pusat gerakannya.
Sedang Mekkah-Madinah dipertahannkan sebagai kota suci bagi seluruh kaum Muslim dunia. Dua peta wilayah timur dan barat inilah yang menjadi dasar peta berdirinya negara kebangsaan: Kerajaan Saudi Arabia pada 1932 sekaligus meminta untuk mendapatkan pengakuan dari Liga Bangsa-Bangsa (LBB). Dalam bingkai sosio-historis seperti inilah --dengan semua dinamika politiknya sampai pertengahan abad ke 20-- negara-negara bangsa di dunia Islam terbentuk. Kitab-kitab Fikih—kemudian populer dengan kitab kuning—diproduksi dalam konteks kaum Muslim sedang unggul dalam berbagai bidang: politik, militer, ekonomi dan sosial budaya. (bersambung)
Prof Dr KH Imam Ghazali Said, MA adalah pengasuh Rubrik Tanya Jawab Islam di HARIAN BANGSA, dosen Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) dan Pengasuh Pesantren Mahasiswa An-Nur Wonocolo Surabaya.
Baca Juga: Fikih Siyasah: Sayyid Qutub vs Wahbah Al-Zuhaili
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News