GRESIK, BANGSAONLINE.com - Direktur YLBH Fajar Trilaksana, Andi Fajar Yulianto, menyebut hukuman mati ialah melanggar HAM. Ia menjelaskan, hakim dalam memilih hukuman mati di sebuah perkara pidana yang diperiksa harus mempertimbangkan beberapa faktor, seperti menghindari emosional masyarakat terhadap perilaku yang dianggap kejam dan keji.
"Putusan hukuman mati juga dapat dipengaruhi oleh tuntutan atau reaksi keras yang bersifat balas dendam atau extra legal execution dari emosi masyarakat. Alasan lain agar menjadikan efek jera (deterrent effect)," ujarnya saat dikonfirmasi BANGSAONLINE.com, Selasa (14/2/2023).
Baca Juga: Satpol PP Gresik Gagalkan Pengiriman Miras asal Bali ke Pulau Bawean
Putusan seperti ini, kata Fajar, justru menjadi putusan hukum yang tidak berangkat dari rasa keadilan yang hakiki.
"Vonis dijatuhkan karena tekanan kebatinan para hakim pemeriksa oleh hal-hal sebagaimana tersebut di atas," ucap Sekretaris DPC Peradi Gresik ini.
Menurut dia, menilik hukuman mati merupakan pengingkaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) tegas termuat dalam Pasal 1 butir (1) UU No. 39 Tahun 1999, tentang HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan dan merupakan anugerah yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dilindungi negara, hukum, pemerintah, dan tiap orang, demi kehormatan, harkat, dan martabat manusia.
Baca Juga: Di Pasar Baru Gresik, Khofifah Panen Dukungan dan Gelar Cek Kesehatan Gratis
"Artinya, nyawa seseorang adalah anugrah Tuhan. Berikut pasal 28.I. ayat (1) UUD 1945 bahwa pokok intinya “Hak untuk hidup, adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun," paparnya.
Fajar lantas menyebutkan, dari beberapa literasi pada 2005, terdapat 2.148 orang telah dieksekusi mati yang dilaksanakan oleh 22 negara, termasuk Indonesia. Sebagian besar di antaranya, yakni 94 persen dilakukan di Iran, Tiongkok, Arab Saudi, dan Amerika Serikat.
Kemudian, hal ini menjadi perhatian serius sehingga pada tahun 2007 PBB mengadakan sidang umum dan menyetujui resolusi penghapusan hukuman mati.
Baca Juga: Diduga Korsleting Listrik, Toko Budi Snack di Manyar Gresik Terbakar
"Respons resolusi ini, setidaknya sudah 141 anggota PBB menghapus dan tegas menolak dan tidak menjalankan hukuman mati," ungkapnya.
Fajar menyatakan, J.E. Sahetapy dan Bernard Arief Sidharta tegas meyatakan hukuman mati bertentangan dengan Pancasila. Sikap demikian juga disuarakan oleh tokoh HAM Indonesia, Yap Thiam Hien.
Di Indonesia, kepastian hukum terkait hukuman mati dapat dilihat pada Pasal 10 huruf a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), bahwa hukuman pidana mati termasuk salah satu hukuman pokok. Berikut dictum lanjut Fajar, tertuang dalam Pasal 104 KUHP, Pasal 124 ayat 3 KUHP, Pasal 140 ayat 4 KUHP, Pasal 340 KUHP, Pasal 365 ayat (4);
Baca Juga: Jalankan Putusan PN, Kejari Gresik Keluarkan Nur Hasim dari Rutan Banjarsari
Lebih jauh, ia menyatakan lahirnya KUHP baru pun, sebetulnya secara filosofi sudah mulai menginisiasi mengurangi resiko putusan dengan vonis mati. Hal ini sebagaimana dapat terbukti dan tersirat pada pasal 100 ayat (1) Hakim dapat menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaaan selama 10 (sepuluh) tahun jika terdakwa menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki, serta ada alasan yang meringankan.
"Hal yang menjadikan polemik berbagai pihak akan spekulatifnya potensi pertaruhan integritas Kalapas dalam jual beli "Surat Keterangan Berkelakuan Baik". Sebetunya tidak perlu ada kekawatiran yang berlebih. Ketika semua elemen penegak hukum dan perangkatnya termasuk lapas, para SDM di dalamnya mampu menjaga integritas yang baik dan dilakukan pengawasan pihak pihak/ lembaga yang berkompeten untuk ini," jelasnya.
Fajar sangat sependapat dengan hasil Resolusi PBB, JE Sahetapy, Bernard Arief Sidharta, dan pandangan Yap Thiam Hien tersebut, karena Hukuman Mati bukan saja bertentangan dengan Pancasila, namun jelas melanggar dan merupakan pengingkaran nyata terhadap Hak Asasi Manusia, dan pengingkaran Anugrah Tuhan.
Baca Juga: Terobosan Baru, Kanwil Kemenkumham Jatim Hadirkan Immigration Lounge di Gresik
"Hukuman paling berat bagi pelanggar hukum sangat setuju, namun tidak harus melanggar hak bagi pihak yang lainnya. Karena hakikatnya hidup manusia adalah Anugrah Tuhan dan kematian merupakan Hak Prerogratif Tuhan, sehingga manusia tidak boleh memaksakan menjemput paksa atas kematian manusia. Karena kembali hidup adalah Anugrah Tuhan," pungkasnya. (hud/mar)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News