Tafsir Thaha 60-62: Dukun-Dukun di Lingkungan Fir’aun

Tafsir Thaha 60-62: Dukun-Dukun di Lingkungan Fir’aun Ilutrasi dukun.

Oleh: Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag*

60. Fatawallaa fir’awnu fajama’a kaydahu tsumma ataa

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Nabi Daud Melahirkan Generasi Lebih Hebat, Bukan Memaksakan Jabatan

Maka, Fir‘aun meninggalkan (tempat itu), lalu mengatur tipu dayanya. Kemudian, dia datang kembali (pada waktu dan tempat yang disepakati).

61. Qaala lahum muusaa waylakum laa taftaruu ‘alaa allaahi kadziban fayushitakum bi’adzaabin waqad khaaba mani iftaraa

Musa berkata kepada mereka (para penyihir), “Celakalah kamu! Janganlah kamu mengada-adakan kedustaan terhadap Allah, nanti Dia membinasakan kamu dengan azab. Sungguh rugi orang yang mengada-adakan kedustaan.”

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: 70 Persen Hakim Masuk Neraka

62. Fatanaaza’uu amrahum baynahum wa-asarruu alnnajwaa

Mereka berbantah-bantahan tentang urusannya dan merahasiakan percakapannya.

TAFSIR AKTUAL

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty

Setelah ditantang adu kesaktian oleh Fir’aun, A.S. menyanggupi dan kedua belah pihak sepakat bertanding pada hari “al-Zinah” siang hari. Yaitu hari raya, hari di mana rakyat Mesir berpesta, berdandan cantik-cantik penuh kreasi. Orang Mesir punya hari itu, karena mereka pemuja keindahan. Ceweknya menyukai dunia modeling dan make up, sementara kaum lelaki menyanjung tinggi tampilan glowing dan kecantikan.

Ingat, salah satu istri Rasulullah SAW (jalur milk al-yamin) bernama Maria al-Qibtiyah, ratu kecantikan Mesir yang dipilih raja sebagai hadiah untuk Rasulullah SAW. Dari Maria R.A. ini Rasulullah SAW dikaruniai putra bernama Ibrahim, meski wafat saat masih kecil. Dia sangat cantik, gemulai, dan modis, punya anak laki-laki. Sementara pesaingnya tidak ada yang mempersembahkan keturunan. Inilah yang menyebabkan para istri nabi lainnya cemburu dan iri.

Catatan:

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia

Semua istri Rasulillah SAW bergelar“ Umm al-mu’minin” atau “ummahat al-mu’minin”, ibu kaum beriman. (Sekarang ditiru, istri presiden digelari “ibu negara”). Gelar itu dari Allah SWT langsung, yakni: “al-naby aula bi al-mu’minin min anfusihim, wa azwajuh ummahatuhum”. Jadi, semua istri Rasulullah A.S. adalah ibu umat islam (al-ahzab:6), kecuali bunda MARIA AL-QIBTIYAH.

Ya, karena statemen Tuhan pada ayat tersebut menggunakan kata: “azwaj”, (wa azwajuh ummahatuhum). Zauj, azwaj adalah istri, wanita yang halal bagi suami berdasar akad nikah, pernikahan yang sah.

Sedangkan bunda Maria al-Qibtia menjadi pendamping Rasulullah SAW tidak berdasar akad nikah, melainkan via “milk al-yamin” (ma malakat aimanukum), yaitu kepemilikan amah, budak wanita, hadiah dari raja Mesir. Dari sisi kehalalan hubungan suami-istri sama. Cuma berbeda dari sisi strata, status sosial keagamaan. Itu pendapat. Allah a’lam.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok

Lalu, dengan tegas dan sangat pede, A.S. langsung menjawab dan meladeni. Mendengar itu, Fir’aun sesungguhnya sedikit grogi, karena mengerti, bahwa apa yang dimiliki Musa A.S. adalah mukjizat dari Dzat Yang mahakuasa yang tidak mudah ditundukkan.

Fir’aun tidak membuang-buang waktu dan segera meninggalkan pembicaraan. Dia langsung melakukan persiapan, dengan mengumpulkan para ahli sihir ternama. “fatawalla Fir’aun fa jama’ kaidah tsumm ata”. Versi Ibn Abbas R.A.: jumlah mereka ada sekitar 72 orang dukun sihir. Pimpinannya seorang buta dan sangat senior, diduga bernama Syam’un. Meski ada keterangan selain di atas.

Dari paparan ayat kaji ini terbaca, bahwa: pertama, menghadapi situasi kritis, orang jahat, kekuatan besar seperti ini dibutuhkan ketenangan dan selalu bersandar kepada Allah SWT. Dengan ketenangan dan back up dari Tuhan akan lahir jiwa mapan dan mantap. Seperti A.S. yang spontan menyanggupi bertarung sekaligus ketentuan waktunya.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata

Kedua, tidak kalah sebelum bertading, karena gertak musuh. Ingat, ayat sebelumnya bertutur tentang Fir’aun yang meminta waktu kepada Musa A.S. terkait hari tarung. Kata-katanya hebat “mauida la nukhlifuh nahn wala anta makana suwa”. Waktu yang tidak boleh dikhianati, harus datang ke gelanggang, baik dari pihak kami (Fir’aun) atau kamu (Musa).

Dikesankan, Musa tidak berani keluar bertanding dan gertak itu sama sekali tidak membuat nyali Musa mengkeret. Dan di luar dugaan, ternyata Musa memberikan keputusan di luar anggapan Fir’aun, yakni bertanding di hari Raya, al-Zinah yang sedikit menggrogikan Fir’aun.

Ini artinya, bahwa gertakan, menyombongkan diri terhadap orang yang sombong itu dianjurkan. Bukan untuk berbangga, tetapi sebuah teknik yang dianjurkan Tuhan demi melemahkan mental lawan. Memulai bertarung sebelum bertarung. Inilah perang mental yang biasa dipakai dua kubu yang mau berhadapan. Bisa individu seperti petinju atau kelompok seperti main bola.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman

Ingat, A.S.. Bagitu diberi tahu oleh burung Hudhud perihal kehebatan Bilqis, ratu negeri Saba’, sebagai ratu yang punya segala, ya cantik, kaya raya, dan penguasa. Dia pemuja dewa matahari yang disegani oleh kaum sekitar. Tapi A.S. sama sekali tidak gentar.

Justru bertindak cepat, mengumpulkan semua kekuatan dari kalangan manusia dan Jin. “Siapa di antara kalian yang sanggup mencuri singgasana ratu Balqis?”. Tanya beliau, yang akhirnya Asif ibn Barkhiya berhasil memboyongnya dalam sejekap mata, tanpa bisa dideteksi.

Perang dimulai lebih awal dan singgasana itu benar-benar raib dari Saba’, Yaman pindah ke Palestina, negeri sang nabi sakti. Akhirnya sang Ratu menyerah dalam pelukan sang nabi.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Memetik Hikmah dari Kepemimpinan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman

Ketiga, mengultimatum musuh sebagai kualat dan pasti hancur. Di hadapan para penihir, A.S. berkata-kata pedas dan mengutuk: “brengsek, kalian pasti binasa dan terkutuk, jika mendustakan Tuhan” (wailakum la taftaru ‘ala Allah kadziba fayushitakum bi ‘adzab). Maksudnya, Musa membentak mereka karena menganggap mukjizat Musa adalah sihir juga.

Hal demikian karena, pada hakikatnya mereka mengerti perbedaan antara sihir dan mukjizat. Mengerti bahwa agama yang disampaikan Musa adalah benar dan Fir’aun itu dusta dan keterlaluan. Hasilnya? Mayoritas mereka membelot ke agama Musa dan beriman secara sukarela setelah kalah dalam adu kesaktian. 

*Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag adalah Mufassir, Pengasuh Rubrik HARIAN BANGSA, dan Pengasuh Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an (MQ), Tebuireng, Jombang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO