Gila, 90 % Dosen Wanita Tak Nikah, LGBT Merajalela, Laporan M Mas'ud Adnan dari Bangkok (4)

Gila, 90 % Dosen Wanita Tak Nikah, LGBT Merajalela, Laporan M Mas Hampir di setiap pusat keramaian ada tempat ritual Budha, termasuk di pusat perbelanjaan atau mall di Bangkok Thailand. Foto: M Mas'ud Adnan/bangsaonline

BANGKOK, BANGSAONLINE.com - Negara Thailand adalah potret nyata negara liberal dan pragmatis. Sebanyak 80 % warga Thailand beragama Budha. Agama Budha merupakan agama resmi Thailand. Raja Thailand harus beragama Budha.

Selain Budha, agama yang diakui resmi di Thailand adalah Islam, Kristen, Brahmanisme-Hinduisme, dan Sikhisme. “Agama Islam di Thailand sekitar 15 %,” kata Dr Sofyan Sori, staf Atase Pendidikan dan Kebudayaan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Bangkok Thailand.

Tapi budaya kesehariannya sudah terjangkit budaya barat yang sangat liberal dan pragmatis. Otomatis masyarakat Thailand cenderung permisif. Termasuk masalah seksual.

“Di Thailand anak-anak berusia 9 tahun sudah melakukan hubungan seksual,” tutur Qulyubi, warga Thailand berwajah Pakistan. Otomatis banyak cewek Thailand kehilangan keperawanan sejak dini.

Bahkan dalam kehidupan remaja di Thailand ada isitilah teenmom, yang artinya ibu muda.

“Karena masih remaja sudah punya anak,” kata Dr Zamal Nasution, warga Indonesia asal Batak yang bertahun-tahun tinggal di Thailand.

Menurut dia, di Thailand masalah seks urusan private atau pribadi. “Seperti masalah agama, di Thailand adalah urusan privat. Seks juga begitu. Negara tak intervensi,” kata Zamal Nasution yang alumnus Mahidol University Bangkok Thailand.

Para ladyboy di Thailand. 

Jadi sejauh suka sama suka, seks bebas dilakukan. Tanpa harus melalui proses pernikahan. Asal tidak di tempat umum.

Tapi pornografi dilarang di Thailand. “Misalnya seks diperdagangkan, itu tak boleh. Karena itu di Thailand tak ada tempat prostitusi (pelacuran), tidak seperti di Indonesia,” katanya.

Gara-gara bebas tanpa batas itu, akhirnya mereka banyak yang bosan melakukan hubungan seks dengan lawan jenis. Muncullah kecenderungan prilaku seks menyimpang, yaitu berhubungan seks sesama laki-laki dan sesama perempuan. Tak aneh, jika LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender) merajalela di negeri gajah putih itu.

Prilaku seks menyimpang itu sangat besar di Thailand karena tak ada larangan dari negara. Bahkan Thailand termasuk negara yang melegalkan perkawinan sesama jenis, yakni laki-laki dengan laki-laki dan sesama perempuan.

Salah satu sudut pusat perbelanjaan di Bangkok Thailand. Foto: bangsaonline

Dari berbagai media tercatat bahwa kelompok LGBT itu mencapai 314.808 orang. Ini angka sangat besar dari populasi penduduk Thailand yang kini sekitar 71.815.165 jiwa. Bahkan angka LGBT di Thailand diperediksi lebih dari 314.808 orang mengingat banyak penganut LGBT yang belum terungkap dalam data.

LGBT di Thailand bebas mengespresikan berbagai aspirasinya di ranah publik. Mereka bahkan melalukan acara besar sejenis miss universe, tapi pesertanya para lady boy. Yaitu laki-laki yang sudah berganti kelamin, termasuk menyuntik payudaranya sehingga membesar, sehingga menyerupai perempuan.

Mereka juga menggelar pawai kebanggaan, parade kebanggaan, atau festival kebanggaan. Yaitu acara yang menyelebrasikan budaya dan kebanggaan lesbian, gay, biseksual, transgender dan interseks.

Pantauan BANGSAONLINE di arena publik seperti pusat perbelanjaan banyak sekali dijumpai pria melambai atau bahkan berdandan wanita. Termasuk mereka yang berjualan makanan di kawasan UMKM. Dandanannya bahkan sangat minor.

“Di Thailand 90 % dosen perempuan tak mau nikah,” tutur Zamal Nasution yang kini dosen Universitas Airlangga (Unair) Surabaya.

Kenapa? Selain banyak di antara mereka yang lesbian juga karena tak mau hamil lantaran merasa ribet.

Tren meningkatnya LGBT juga tak lepas dari faktor kepercayaan masyarakat. Mereka percaya bahwa transgender adalah orang berdosa yang ingin menebus dosa-dosa mereka.

Penganut agama Buddha juga percaya pada reinkarnasi. Mereka percaya bahwa setiap orang bisa bereinkarnasi sebagai jenis kelamin apa pun. Menurut pemikiran Buddhisme, setiap individu bisa menjadi transgender, dalam satu atau lain kehidupan. Karena itu, menurut keyakinan mereka, menjadi transgender bukanlah penyimpangan, melainkan takdir bagi mereka.

Pada sisi lain praktik penggantian hormon dan operasi plastik sangat bebas di Thailand. Maklum, negara atau pemerintah tak ikut campur. Dari laporan berbagai media menyebutkan bahwa terapi penggantian hormon dapat dibeli tanpa resep. Bahkan tersedia di setiap apotek. Banyak transgender Thailand memulai terapi penggantian hormon sejak usia 12 tahun. Obat hormon tersebut tersedia dalam bentuk pil kontrasepsi dan suntikan.

Bahkan Thailand populer sebagai negara yang banyak melakukan praktik bedah plastik dan bedah lainnya. Pasien dari berbagai negara berdatangan ke Thailand.

Kehidupan masyarakat Thailand memang unik dan kompleks. Tren perempuan enggan menikah dan hamil semakin tinggi angkatnya. “Kalau kita ke mall bisa dilihat. Banyak orang mendorong kereta anak, tapi isinya boneka atau anjing, bukan bayi,” kata Qulyubi.

Kini pertumbuhan penduduk Thailand terus melambat. Bahkan negeri yang dipimpin Raja Vajiralongkorn itu terancam krisis populasi.

Pada tahun 2021 terjadi 544.000 kelahiran, terendah dalam enam dekade. Sementara angka kematian membengkak akibat Covid-19, yang angkanya mencapai 563.000.

"Data tersebut mencerminkan krisis populasi, di mana pola pikir untuk memiliki anak telah berubah," kata Teera Sindecharak, pakar demografi di Universitas Thammasat dikutip Reuters, Senin (7/3/2022),

Pemerintah Thailand mulai kalangkabut. Pejabat Kementerian Kesehatan Thailand Suwannachai Wattanayingcharoenchai mengatakan, pemerintah menyadari perlu turun tangan mengatasi fenomena ini.

"Kami mencoba untuk memperlambat penurunan kelahiran dan membalikkan tren dengan membuat keluarga yang siap untuk memiliki anak lebih cepat," katanya.

Pemerintah, kata Suwannachai, berencana memperkenalkan kebijakan baru bahwa bayi baru lahir mendapat dukungan penuh dari negara. Rencana tersebut termasuk membuka pusat kesuburan. Namun saat ini baru tersedia di Bangkok dan kota-kota besar lainnya di 76 provinsi.

Bagaimana respon warga? Mereka menilai langkah tersebut terlambat. Chinthathip Nantavong, wanita berusia 44 tahun memilih untuk tidak akan memiliki anak.

Ia membuat keputusan itu dengan pasangan yang telah bersamanya selama 14 tahun. Mereka menganggap, membesarkan anak membutuhkan terlalu banyak pengeluaran.

"Membesarkan satu anak membutuhkan banyak biaya. Satu semester untuk taman kanak-kanak sudah 50.000 hingga 60.000 baht ($1.520 hingga $1.850) dan kemudian mencapai jutaan," ungkap Nantavong. 

Seperti diberitakan BANGSAONLINE, Prof Dr KH Asep Saifuddin Chalim, MA dan istrinya, NyaiHj Alif Fadilah, melakukan perjalanan ke Bangkok Thailand. Selama tiga hari Kiai Asep berada di Thailand melakukan pertemuan dan ulama Majelis Syaikhul Islam Thailand dan juga pimpinan Mahidol University Bangkok Thailand.

Rombongan Kiai Asep terdiri dari Dr Mauhibur Rokhman (Gus Muhib), Rektor Universitas KH Abdul Chalim (dulu Institut KH Abdul Chalim), Dr Fadly Usman (Wakil Rektor Universitas KH Abdul Chalim), Prof Dr Asep Bayu D Nandiyanto (dosen Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung) dan saya sendiri selaku CEO HARIAN BANGSA dan BANGSAONLINE.com.(bersambung)