SURABAYA, BANGSAONLINE.com - Kasus pencolokan mata dengan tusuk bakso yang menimpa SA (7), siswi kelas II SDN 263, di Menganti, Gresik, terus berlanjut. Kini korban dilakukan pemeriksaan ke Rumah Sakit Bhayangkara Polda Jatim.
Kasus ini sebelumnya telah disoroti Komnas Perlindungan Anak Jawa Timur. Pasalnya, meskipun Polres Gresik sudah menaikkan kasus tersebut ke tahap penyidikan, akan tetapi belum muncul tersangka. Walhasil, menurut Komnas Anak, kasus ini terasa hanya jalan di tempat.
Baca Juga: Sukseskan Program Presiden Prabowo, Polda Jatim Datangi Polres Pamekasan
Seperti yang diutarakan Ketua Komnas Perlindungan Anak Jawa Timur, Febri Kurniawan Pikulun, pangkal masalah kasus ini tidak ada perkembangan signifikan karena sejak awal tidak diusut secara transparan.
"Misalnya saja, terkait pemeriksaan MRI (magnetic resonance imaging) SA di Rumah Sakit Ibnu Sina, Gresik, pihak keluarga SA sempat kesulitan bisa mendapat hasil laboratorium itu. Hasil ketika sudah di tangan dokter menjelaskan bahwa penglihatan SA mengalami gangguan, namun tidak dijelaskan penyebabnya," ujar Febri, Sabtu (7/10/2023).
"Seharusnya, sebagai dokter atau medis kan memberikan keterangan yang menyeluruh dan lengkap. Misal SA mengalami gangguan penglihatan karena kekurangan vitamin A, atau bawaan lahir. Tapi di situ tidak dijelaskan, kalau gini caranya pasti endingnya SP3 (kasus dihentikan penyidik). Karena visum merupakan alat bukti yang sangat penting," tambah Febri saat menggelar konferensi pers di Surabaya.
Baca Juga: Polres Mojokerto Kota Bongkar TPPU Narkoba Miliaran Rupiah
Kedua, belum lama ini pihak keluarga mengajak SH berbicara sembari merekam kegiatan mereka dengan menggunakan kamera handphone. SH di situ mengaku yang mencolok matanya ialah siswa kelas IV.
"Saya sudah kirim bukti video tersebut ke penyidik, namun sampai sekarang tidak ada tindak lanjut," keluh Febri.
Ketidakpuasan itu membuat Komnas Anak mengajak SA menjalani tes visum psikolog di Rumah Sakit Bhayangkara Polda Jatim. Profile SA pun keluar. Disebutkan bahwa SA memiliki kemampuan intelektual yang berada pada 95 dengan grade 1 skala SPM yang tergolong superior.
Baca Juga: 3 Kontroversi yang Membuat Publik Sangsi soal Penangkapan Ivan Sugianto oleh Polisi
"Artinya SA adalah anak yang cerdas. Dapat menerima informasi lalu menganalisa berada di atas kemampuan individu anak seusianya," terang Febri.
Kemudian, saat ini SA ini cenderung lebih nyaman dekat dengan ayah ketimbang ibu. Padahal, sebelum kejadian kondisinya sebaliknya. Sekarang kondisi anak jauh lebih baik, hanya saja banyak orang yang bertanya mengenai kejadian bullying fisik di sekolah membuat korban lebih mudah marah.
"Meski ada tanda-tanda trauma, tapi kemampuan berpikir SA tidak mengalami penurunan. Karena SA tergolong very superior. SA bila merasa tertekan atau merasa terintimidasi, hanya menjawab pertanyaan dengan mengatakan lupa atau tidak tahu," beber Febri.
Baca Juga: Satpol PP Gresik Gagalkan Pengiriman Miras asal Bali ke Pulau Bawean
Hasil pemeriksaan psikologi itu juga merekomendasikan agar kasus ini tetap harus diusut. Meskipun orang tua khawatir penglihatan SA terganggu, namun kenyataannya baik-baik saja, tetap perlu ditindaklanjuti. Kasus ini telah membuat kondisi psikologis SA dan orang tua terguncang.
"Seharusnya pelaku segera diinterogasi, kalau perlu dites psikolognya di Rumah Sakit Bhayangkara. Jika perlu lagi, ketika diinterogasi dipantau menggunakan alat lie detektor. Alat itu bisa mengetahui pelaku berbohong atau tidak," ucap Febri.
Abdul Malik, pengacara SAH, sepakat dengan keinginan Komisi Perlindungan Anak agar kasus semacam ini tidak terulang. Kalau pelaku masih anak-anak, boleh saja kasus berakhir damai. Hanya saja harus terlebih dahulu mengumumkan siapa pelaku. Kemudian orang tua pelaku melakukan minta maaf kepada keluarga korban secara terbuka.
Baca Juga: Di Pasar Baru Gresik, Khofifah Panen Dukungan dan Gelar Cek Kesehatan Gratis
"Sebetulnya kasus ini simpel, tapi terlalu banyak yang bikin ribet," tutupnya. (yan/ns)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News