Oleh: Dr KH Ahmad Musta’in Syafi’i
PENGANTAR REDAKSI BANGSAONLINE
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
Rubrik Tafsir Al-Quran Aktual ini diasuh oleh pakar tafsir Dr KH A. Musta'in Syafi'i dari Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur. Tafsir ini ditulis secara khusus untuk pembaca HARIAN BANGSA, surat kabar yang berkantor pusat di Jl Cipta Menanggal I nomor 35 Surabaya. Tafsir ini terbit tiap hari, kecuali Ahad. Selamat membaca, semoga bermanfaat:
Bertaqlid itu sopan dan tanda keimanan. Semua pengendara, sopir kendaraan di dunia ini mesti Taqlid kepada fatwa Polilsi Lalu lintas dengan membaca rambu-rambu yang polisi pasang. Misalnya, di persimpangan jalan ada petunjuk, ke arah kanan menuju Surabaya, 60 km, ke arah kiri menuju Madiun, 100 km.
Sopir kendaraan yang cerdas, langsung mengarahkan kendaraannya sesuai arahan rambu. Mereka lakukan itu mantap dan yakin, tanpa ragu dan tanpa rewel. Itulah bentuk keimanan seorang taqlid" rel="tag">sopir taqlid. Dan hasilnya pasti benar, mudah, praktis dan efesien.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
Beda dengan sopir yang sok intelek, tapi aslinya goblok. Di persimpangan itu memang mau ke kanan, ke arah Surabaya, tapi dia tidak begitu saja mau bertaqlid kepada Rambu Polisi. Dia tidak percaya dan mau berijtihad sendiri. Lalu turun dari kendaraan.
Mobilnya diparkir di tepi jalan dan dia menapaki jalan ke arah kanan menuju Surabaya sambil membawa meteran untuk membuktikan sendiri. Benarkah jalan ini ke Surabaya dan benarkah berjarak 60 km…? andai ada sopir macam ini, apa komentar anda..? Sopir edan..? Polisi Lalu Lintas itulah mujtahid dan pengguna jalan itulah muqallid.
Tapi, dalam keimanan tidak diperkenankan Taqlid. Meskipun awalnya taqlid karena masih tahap belajar yang mesti digerojok dengan ilmu lebih dahulu, tapi tahap akhir harus murni pilihan sendiri, bukan ikut-ikutan guru atau orang tua.
Baca Juga: Polemik Nasab Tak Penting dan Tak Ada Manfaatnya, Gus Fahmi: Pesantren Tebuireng Tak Terlibat
Harus beriman kepada Allah SWT dengan pilihan sendiri.
“Taqlid tidak boleh ada dalam keimanan. Barang siapa yang beriman karena taqlid, ikut-ikutan, maka keimanannya tidak sah. Artinya dia masih kafir. “ La yajuz al-taqlid wa al-muqallid kafir “. Begitu unggahan al-imam Ibn Arabi.
Taqlid, dari fi’il madly “qallada – yuqallidu “ seirama dengan makna “al-qiladah” atau kalung. Makanya dalam filologis Arab mentamsilkan orang bertaqlid itu seperti sapi, ternak yang dikalungi dan dituntun. Hewan itu mesti berjalan sesuai penuntunnya. “al-taqlid ka baqar tuqad”.
Baca Juga: Tambah Wawasan soal Dunia Jurnalistik, Siswa SMA AWS Kunjungi Kantor HARIAN BANGSA dan BANGSAONLINE
Tesis ini perimbangan dari anjuran al-Qur’an yang memerintahkan hendaknya orang beriman itu bercerdas-cerdas, berpikir dan kritis. Sekian ayat yang bernada pemikiran : Ta’qilun, tatafakkarun, tatadzakkarun dan lain-lain. Ada pula terma : ulu al-albab, ulu al-nuha, ulu al-abshar dan lain-lain. Apakah ayat-ayat macam ini tidak kontradiktif?.
Tentu saja tidak. Tidak semua manusia didianugerahi kecerdasan dan kemampuan berpikir tinggi. Justeru yang terbanyak adalah yang awam. Karena agama Islam itu rahmah dan nikmat, maka ada ayat untuk cendikia seperti terma yang barusan ditutur dan ada juga ayat perintah bertanya, bertaqlid seperti ayat kaji di atas.
Inilah keluwesan al-Qur’an. (bersambung).
Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana
Tafsir edisi selanjutnya: Andai Nabi Hidup di Surabaya akan makan Rawon? Benarkah nikah dengan 4 wanita pahalanya besar?
Tunggu Tafsir Al-Quran Aktual berikutnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News