Oleh: Mukhlas Syarkun
JAKARTA, BANGSAONLINE.com - Ketika sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), sempat muncul usulan agar dikembalikan ke sistem kerajaan.
Baca Juga: Saluran Pengaduan Ala Gibran, Manuver Politik yang Bumerang
Namun mayoritas pendiri bangsa ini menolak dan disepakati republik, yang berarti dari rakyat untuk rakyat, sebagai antitesa pola kerajaan dari negara untuk keluarga dan rakyat hanya sebagai obyek.
Dengan corak sebagai negara republik, maka pilar demokrasi dapat tumbuh subur ditandai pemilu 1955. Namun dalam perjalanan demokrasi diwarnai ketegangan antara kelompok Islami dan Komunis. Bung Karno melakukan kontrol semua kekuatan politik dan muncul demokrasi terpimpin.
Demokrasi terpimpin menyalahi fitrahnya, maka tumbang dan diganti orde baru. Semula orde baru baik-baik saja. Namun karena terlalu lama berkuasa, kemudian melenceng sehingga corak demokrasi menjadi buram.
Baca Juga: Peringatan Darurat! Tak Cukup Berdoa, Indonesia Perlu Pembangkangan Sipil dan Boikot Pilkada 2024
Gus Dur menyebut sebagai “demokrasi seolah-olah”. Yaitu demokrasi yang hanya ada dalam institusi, tapi tradisi dan subtansi demokrasinya tereliminasi.
“Demokrasi seolah-olah” tumbang dengan lahirnya reformasi yang membawa agenda besar untuk kebaikan bangsa, yaitu pembatasan masa jabatan dan anti korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Reformasi membuat Indonesia naik kelas. Bahkan menjadi contoh sebagai negara mayoritas penduduk muslim yang dapat menjalankan demokrasi dengan baik.
Baca Juga: Golkar Partai Tanpa Ideologi dan Peluang Jokowi Jadi Ketua Umum
Tapi tak lama. Dalam perjalanannya demokrasi mulai buram, ditandai hilangnya daya kritis di parlemen dan persekusi oleh buzzer bagi mereka yang berani mengeritik penguasa. Bahkan berujung pada jeruji penjara.
Demokrasi diperparah dengan munculnya benih-benih dinasti yang ditandai penggunaan resource negara untuk menguatkan posisi keluarganya. Efek dari dinasti membuat konstitusi dengan mudah diperkosa, hingga melahirkan anak haram konstitusi.
Dinasti berlanjut dengan leluasa menggunakan alat negara, tanpa ada rasa malu dan bersalah, demi anaknya meraih kekuasaan. Dan semua rakyat diminta ikhlas menerima keputusan dengan dalih bahwa itu merupakan keputusan rakyat yang harus dihormati.
Baca Juga: Tanda-Tanda Kiamat: Cuek, Tak Punya Malu, Orang Tak Pantas Ditokohkan tapi Ditokohkan
Tentu tidak semua orang bisa menerima sebuah hasil yang dibuat dengan proses yang melanggar UU dan konstitusi. Ini mengingatkan puisi Gus Mus bahwa ada republik rasa kerajaan, bukankah demikian?
Jakarta, 16/2/2024
Mukhlas Syarkun adalah aktivis NU dan penulis buku Ensklopedi Gus Dur
Baca Juga: Habib Rizieq Senang Dua Buaya dan Setan Berkelahi: Ini Rezeki dari Allah
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News