Kontrasepsi bagi Remaja Mendukung Kebebasan Seks

Kontrasepsi bagi Remaja Mendukung Kebebasan Seks Zamal Nasution Foto: istimewa

Oleh: Zamal Nasution, PhD.

SURABAYA, BANGSAONLINE.com - Rencana pemerintah menyediakan alat kontrasepsi ke para menunjukkan kebijakan yang berbasis pengadaan. Tahun ini terdapat 22 juta jiwa penduduk berusia 15-19 tahun. Kementerian Kesehatan kemudian mengatakan akan fokus penyediaan pada pasangan usia subur berusia anak (kurang dari 19 tahun).

Baca Juga: Lindungi Hak Pendidikan Anak, Dispendik Gelar Diskusi Bersama Guru BK se-Kota Kediri

Remaja yang menikah dini menjadi alasan diberikannya fasilitas alat kontrasepsi. Tahun 2022, terdapat 50.673 dispensasi menikah karena pasangan berusia sebelum 19 tahun. Menurut Australia-Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ2), angka ini jauh lebih sedikit dari setidaknya 400.000 kasus pernikahan dini pada tahun 2022.

Biaya di Pengadilan Agama Gresik tahun 2024 mengurus perkara dispensasi kawin antara Rp 635.000 - Rp 955.000. Ini di luar biaya mengurus dokumen dari instansi Puskesmas, KUA, Kelurahan, Kecamatan, Dukcapil, dan lainnya.

Menurut Pengadilan Agama Kabupaten Bandung, mayoritas pengajuan karena sudah hamil. Pengadilan Agama Kabupaten Nganjuk melaporkan pada tahun 2021 sebanyak 236 perempuan muda bercerai karena ditinggalkan suami. Penelitian menunjukkan prostitusi anak dilakukan perempuan yang pernah menikah atau ditinggalkan pacar.

Baca Juga: Perkosa Bergilir Teman Wanita saat Mabuk, 4 Remaja di Tangerang Dijadikan Tersangka

KPAI mencatat, prostitusi online sebanyak 80% dilakukan perempuan berusia anak.

BKKBN mengatakan usia 16-17 tahun sebanyak 60% pernah berhubungan seksual.

Kegagalan Fungsi Negara

Baca Juga: 5 Sebab Remaja Milenial Sulit Berpikir Cepat

Fasilitasi alat kontrasepsi kepada usia subur bukan solusi jangka panjang. Akar permasalahan berada di keluarga yang abai pertumbuhan emosional dan spiritual anak. Menurut UNICEF, pada tahun 2021 terdapat 20.9% anak tumbuh tanpa peran ayah. BPS pada tahun 2021 menemukan 62% anak tumbuh tanpa asuhan ayah atau ibu lengkap.

Fenomena fatherless pada anak berakibat pada depresi, kecemasan, masalah kesehatan mental. Tekanan ekonomi mempengaruhi kualitas komunikasi keluarga. Tekanan ekonomi mengurangi kedekatan anak dengan fungsi sekolah.

Internet tanpa filter lebih mendekatkan anak dengan informasi liar. Anak yang larut dengan pergaulan bebas teman sebaya merupakan potensi generasi tanpa rencana. Proyek besar global terkait permasalahan jumlah penduduk di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Pemerintah merasa jumlah penduduk terlalu banyak.

Baca Juga: Minimalisir Kenakalan Remaja di Kota Madiun, BKKBN Jatim Gelar Workshop 1001 Cara Bicara

Berbeda dengan Jepang yang kekurangan penduduk, permasalahan jumlah penduduk lebih dominan karena faktor kualitas dan daya dukung sumberdaya.

Perekonomian Indonesia dirasa tidak mampu mengurusi jumlah penduduk yang mencapai 282 juta di tahun ini. Berbeda dengan China yang kini merasa bahwa jumlah penduduk 1.4 milyar masih kurang banyak untuk menopang perekonomian.

Jumlah penduduk terlalu banyak seperti melemparkan tanggung jawab negara atas kewajiban mengelola perekonomian. Sejak 79 tahun Indonesia merdeka, penyebaran penduduk masih terkonsentrasi di pulau Jawa (56%) dan sirkulasi perekonomian terpusat di pulau Jawa (57%). Pemerintah menganggap masyarakat tidak cukup kompeten mengelola jumlah anak dan urusan perkawinan, sehingga perlu dikendalikan dengan kontrasepsi pada .

Baca Juga: Terjadi di Blitar, Remaja 17 Tahun Bacok Tiga Cewek yang Masih Bersaudara, Satu Kritis

Penyebab utama pergaulan tersebut yakni permasalahan keluarga. Tekanan ekonomi mempengaruhi kualitas relasi orang tua dan anak. Penyebab utama perkawinan anak karena kemiskinan dan beban ekonomi dalam keluarga.

Budaya Lokal Perkawinan Anak

Agama dan budaya merupakan landasan bagi komunitas di Madura, Indramayu, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, dan Sumatera Barat. Di Madura, menikahkan anak merupakan budaya. Sistem terbentuk dengan figur kyai sebagai sentral ajaran Islam.

Baca Juga: Kasus KDRT Dominasi Data Kekerasan Perempuan dan Anak di Mojokerto

Penyiapan keluarga bagi perkawinan anak dimulai dengan pendidikan agama sebelum pendidikan formal. Sistem ini menjamin anak perempuan selalu dalam tanggung jawab suami dan keluarganya.

Perkawinan merupakan hak asasi, tidak terkecuali bagi usia anak. Merencanakan perkawinan pada usia anak bukan mengarahkan anak segera menikah. Mendidik anak merupakan merencanakan jika anak memilih menikah lebih awal.

Pendidikan tersebut hak reproduksi, hak kewarganegaraan, termasuk hak ekonomi. Pendidikan ekonomi keluarga penting untuk kemandirian perempuan.

Anak menjadi lebih cepat dewasa karena budaya dan pendidikan agama di keluarga. Pada tipe keluarga tersebut, usia bukan indikator penghalang kedewasaan. Alasan menikah juga sama, tidak seragam pada tiap pasangan.

Kegagalan perkawinan pada orang dewasa jangan menjadi stigma pada perkawinan usia anak. Menurut data, terdapat sedikitnya 75% perkawinan anak tidak melalui jalur formal.

Penyebabnya bisa jadi biaya dan waktu pengurusan lama. Proses dalam putusan pengadilan yang mayoritas disetujui karena sudah hamil jangan membuat anggapan bahwa mendapatkan dispensasi dimudahkan setelah hamil. Perkawinan anak karena sudah hamil berpotensi menjadi generasi tidak terencana.

Dosen S2 Pengembangan Sumberdaya Manusia - UNAIR

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO