Oleh: Surokim As
SENGAJA judul tulisan ini saya tebalkan dan memakai tanda seru sebagai penekanan untuk mengingatkan diri saya sendiri dan juga para kolega dosen, tendik, mahasiswa dan semua civitas academica.
Baca Juga: 100 Mahasiswa Prodi Hukum Bisnis Syariah FKis UTM Ikuti Pendidikan dan Pelatihan Paralegal
Secara khusus melalui tulisan ini saya berharap agar para mahasiswa bisa menyadari, terus belajar, bisa konsisten, pantang menyerah, dan produktif menulis sepanjang waktu. Mereka tiada henti mengasah diri, mengembangkan kompetensi dan kapasitas menulis secara berkelanjutan.
Banyak civitas academica hingga kini masih mengeluh bahwa mereka mengalami kesulitan dalam menulis. Padahal pada saat mereka diminta bercerita tentang sesuatu – apalagi yang ia sukai – mereka bisa cerita panjang lebar. Apalagi kalau cerita tersebut terkait diri dan passionnya maka cerita itu bisa berjilid-jilid. Bahkan cerita itu bisa mengalir jauh, hingga kadang susah berhenti. Nah, budaya komunikasi lisan masih dominan jika dibandingkan dengan komunikasi tulis.
Potret dan fakta seperti itu banyak kita temukan dalam kehidupan sehati-hari di kampus dan lingkungan kita. Berbalikan dengan kemampuan menulis yang masih minimalis. Padahal karya tulis civitas academica bisa menjadi salah satu tolok ukur bagi keberhasilan dan produktivitas sebuah institusi kampus.
Baca Juga: Sosialisasi Ekowisata, Universitas Trunojoyo Madura Gandeng Pokdarwis
Publikasi hasil penulisan bisa membawa perubahan kelas dari perguruan tinggi baik di level nasional maupun internasional. Karya tulis tersebuti bisa memberi kontribusi signifikan terhadap kinerja lembaga, level pemeringkatan lembaga. Selain itu karya tulis kampus bisa terdistribusi dan terkomunikasi luas kepada masyarakat dan pembaca tanpa terhalang ruang dan waktu.
Dampak publikasi tulisan tentu saja akan kompleks dan impactfull. Tidak hanya untuk eksistensi kampus, akreditasi, tetapi juga untuk promosi dan daya saing.
Kian banyak tulisan warga kampus dibaca, dirujuk, disitasi, dan disebarluaskan maka karya tulisan civitas academica akan kian meluas dan memberi dampak terhadap produktivitas lembaga tersebut.
Baca Juga: Gandeng Pewanida Kuala Lumpur, Fkis UTM Abdimas Internasional Kajian Al Quran di Malaysia
Kampus akan kian dikenal publik sehingga bisa berpengaruh terhadap citra, reputasi dan portofolio publik. Dari titik ini kampus akan bisa menjadi rujukan, penerang, dan mata air pengetahuan tiada henti bagi masyarakat luas.
Terkait budaya menulis, saya masih ingat betul kata guru saya Prof Redi Panuju (2018), sosok penulis produktif yang juga novelis, bahwa keterampilan menulis itu bisa menguatkan kewarasan dan produktivitas berfikir.
Menulis itu tambahnya sama halnya dengan menancapkan pengetahuan untuk jangka panjang (long2 term) dan menempatkannya berada di belahan otak kanan kita.
Baca Juga: Bersama Unair, FH UTM Jalin Kerja Sama dengan Faculty of Law Maastricht University
Bahkan beliau pernah menulis buku yang berjudul menulislah dengan marah. Konon katanya itu hanya letupan emosi dan sebagai katalisator emosi dan energi negatif agar menjadi energi positif.
Para ahli juga banyak yang mengemukakan pendapatnya bahwa kemampuan dan keterampilan menulis warga itu berbanding lurus dengan kemajuan sebuah negara. Kian produktif warganya menulis, kian maju negara tersebut.
Menjadikan menulis sebagai habit tentu saja tidak gampang karena hal ini berkaitan dengan budaya belajar dan membaca warga. Jika kita menyimak data riset menyebutkan bahwa kemampuan membaca buku warga Indonesia masih dibawa satu buku per tahun. Coba bandingkan dengan negara maju yang bisa mencapai 15 hingga 203 buku pertahun. Hal ini yang memengaruhi dan membuat habit menulis kita masih rendah.
Baca Juga: Tindak Lanjuti Kerja Sama, FT UTM Lakukan Kunjungan Balasan ke FDSIT INTI International University
Namun, kita harus optimistik. Sebagaimana pernah disampaikan Hernowo (2017) menulis itu sesungguhnya tidaklah sulit. Menulis itu mudah jika dilakukan dengan bebas, riang gembira, dan bahagia.
Tips praktis dari Hernowo (2017) agar kita bisa menulis dengan mudah adalah menulis apa yang kita sukai dan menulis apapun yang dapat kita tulis.
Hernowo (2017) juga menyarankan agar kita bisa menulis tentang apa saja dengan bebas tanpa harus terikat pada ketentuan apapun pada saat pertama kali menulis. Biarkan ketikan itu mengalir, berjalan mengikuti arah perasaan dan kata hati kita.
Baca Juga: Dosen Sosiologi UTM Bedah Buku Potret Perjuangan Ulama Bassra Madura
Jangan berpikir terlalu rumit dan berat yang bisa menghalangi kreativitas dan imajinasi. Termasuk jangan terlalu banyak memikirkan nanti begini, nanti begitu sehingga mengganggu pikiran dan membuat aktivitas menulis menjadi kegiatan yang melelahkan, menjemukan, dan kerap membikin ide menjadi macet.
Hilangkan semua kendala kendala itu hingga menulis bisa mengalir begitu saja tanpa halangan. Bahkan mendasarkan pengalaman beberapa ahli, mereka bisa menulis sambil mendengarkan lagu dan diiringi musik yang disenangi.
Terlalu banyak rambu dan aturan akan membuat kemampuan dan daya tahan menulis kita terganggu. Bisa jadi hal ini yang membuat kita mudah capek dan terbebani.
Baca Juga: Wujudkan Perguruan Tinggi Global Berbasis Lokal, Rektor UTM Minta Doa ke Ulama dan Kiai se-Madura
Hernowo (2017) mengungkapkan bahwa pada tahap awal dalam menulis bebas (free writing) adalah dengan membuang semua sampah dan hal yang tidak diperlukan. Semua itu menjadi mental block dalam menulis secara bebas. Oleh karena itu buang semua sehingga tidak ada yang menghalangi.
Menulislah dengan bebas laksana sedang menulis surat kepada orang yang kita cintai. Mari memulai menulis dengan riang gembira. Memulai menulis dengan memakai strategi otak kanan yang bebas dan membebaskan baru kemudian mengedit dengan menggunakan otak kiri yang sistematis dan logis.
Bebaskan saja dan mengalir semampunya kala menulis. Jangan terikat pada aturan dan beban apapun. Dengan begitu menulis menjadi menjadi lebih ringan, rekreatif, dan mengasyikkan.
Baca Juga: Pesan Rektor UTM saat Peringati Hari Santri Nasional 2024
Kita bisa menuliskan apa saja untuk refreshing, menghibur diri. Kita bisa pengembangankan diri, mengomunikasikan penhalaman dan juga ilmu pengetahuan mutakhir. Bahkan jika tulisan kita mendadak dibaca khalayak luas dan kemudian disukai karena bisa menginspirasi dan menjadi kontrol sosial edukasi serta bisa memerjuangkan masyarakat anggap saja itu sebagai bonus.
Tulisan memang bisa menjadi medium aspirasi dan inspirasi. Ia bisa mengabarkan berbagai aktivitas kepada publik sekaligus bisa menjadi medium untuk berbagi.
Kita tidak perlu terobsesi menjadi penulis andal, disenangi, digemarin banyak orang. Jadikan tulisan sebagai ruang healing saja sehingga kita bisa mengeluarkan uneg-uneg, emosi, kemarahan yang terpendam untuk diungkapkan. Menulis akhirnya bisa menjadi terapi jiwa dan dan bisa menjadi katalis serta menjadi obat segala masalah.
Ya saya setuju menulis harus santai dan harus diibaratkan sebagai asupan makanan bergizi. Laksana makanan yang kita senangi dan kita sukai sehingga bisa menjadi kebutuhan tanpa keterpaksaan. Menulis bisa menyemangati, menggerakan, menyembuhkan dan memotivasi diri dan orang lain untuk menjadi lebih baik.
Berkarya dan berekpresi melalui tulisan akan melatih nalar kita menjadi obyektif. Bisa empatik dan menenggang rasa liyan, serta tanpa terasa kita akan menjadi lebih kritis dan juga arif dan bijaksana.
Sudah banyak para ahli menyarankan bahwa menulis bisa melatih kesabaran. Dengan mengikat makna, menyembuhkan diri. Bahkan menulis bisa mendatangkan rezeki dan menambah penghasilan.
Dengan menulis kita bisa mengekspresikan semua potensi yang kita miliki. Melalui tulisan itu kita bisa menginspirasi dan mengerakkan kebaikan. Menulis juga bisa menjadi shodaqoh jariyah yang baik untuk peradaban, alam, dan kehidupan sosial.
Ikhtiar untuk mentradisikan menulis sebagai salah satu habit adalah bagian dari penguatan literasi abad 21 yang penting. Sejauh ini harus diakui literasi menulis warga kita masih kurang. Masyarakat kita masih banyak yang menjadi loooking society belum move on bergeser menjadi reading society, writing society dan learning society. Literasi menulis kita masih dalam kategori rendah.
Prof Bagong Suyanto (2024), guru saya di Fisip Unair yang selalu meminta mahasiswa menulis sering mengemukakan bahwa menulis adalah media untuk membiasakan diri berdebat secara ilmiah. Menjadi penulis akan membuka peluang akademik yang bisa diambil dan dijalani mahasiswa sebagai bagian dari kelompok intelektual.
Mari kita mulai menulis. Mari mengubah dunia ini lewat keterampilan menulis. Dimulai dari kebiasaan membaca lalu menuliskan dan mengikat maknanya.
Berlatih dan terus berlatih. Selalu aktif menanyakan, tidak langsung memercayai (skeptis) dan menguatkan rasa ingin tahu (curiosity) terhadap fenomena disekitar kita akan melatih daya insting menulis.
Dengan menulis terus menerus tanpa sadari akan menguatan kualitas pengetahuan kita. Kita akan terlatih untuk cek dan ricek serta melakukan berbagai triangulasi untuk memperkaya tulisan kita. Akhirnya tanpa kita sadaro pandangan dan pendapat kita akan menjadi lebih berbobot penuh makna.
Seiring dengan kemajuan teknologi, keterampilan menulis akan menghadapi tantangan yang tidak ringan, khususnya berkaitan dengan plagiasi dan similiariti. Seiring dengan kemajuan teknologi chat gpt2 dst dan teknologi AI yang lain. Namun, yakinlah bahwa menulis sendiri tanpa bantuan teknologi selain melatih originalitas juga akan lebih lebih manusiawi dan hakiki.
Selanjutnya dalam menulis lanjutan kita bisa mendasarkan pada prinsip kemaslahatan publik yakni2 penting bagi publik (public’s importance), nyaman bagi publik (Public’s convenience) dan dibutuhkan public (public’s necessity) atau yang disingkat sebagai PICON.
Guna menghindari plagiasi maka sebagai penulis kita harus memiliki integritas dan etika akademis. Kita harus berani jujur mengakui dan gentle menyebut nama penulis dalam referensi. Hal itu merupakan bagian dari respek dan memberi kehormatan atas sumber kutipan yang kita rujuk.
Mari kita ciptakan peradaban baru dengan aktif menulis. Mari produktif menulis untuk menebar kebaikan di ruang publik milik kita bersama.
(Penulis adalah Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Alumni, dan Kerja Sama Universitas Trunojoyo, Madura)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News