
Oleh: Khariri Makmun*
Tahun 2025 menandai 27 tahun perjalanan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai kekuatan politik nasional. Lahir dari rahim Nahdlatul Ulama dan dibentuk dalam semangat reformasi 1998, PKB sejak awal memposisikan dirinya sebagai penjaga nilai-nilai kebangsaan, keberagaman, dan demokrasi. Namun dalam dinamika politik yang penuh kalkulasi kekuasaan, idealisme kerap berbenturan dengan realitas. Di tengah arus pragmatisme politik yang makin menguat, tantangan terbesar PKB bukan hanya menjaga eksistensi elektoral, tetapi juga konsistensi ideologis sebagai partai yang mengusung Islam Nusantara dan nasionalisme inklusif.
Keberadaan PKB tidak bisa dilepaskan dari basis sosiologisnya: pesantren, kiai, dan komunitas Nahdliyin. Berbeda dari partai-partai berbasis Islam lainnya yang kerap tampil puritan atau eksklusif, PKB membawa misi keislaman yang moderat, terbuka, dan kontekstual. Ini bukan sekadar strategi politik, melainkan refleksi dari laku budaya dan pemikiran Islam khas Nusantara.
Dengan pendekatan ini, PKB berhasil merangkul massa santri sekaligus menjadi jembatan antara tradisi dan modernitas. Kiprahnya di parlemen maupun dalam pemerintahan menunjukkan bagaimana nilai-nilai pesantren bisa diterjemahkan dalam kebijakan publik yang pro-rakyat, terutama di bidang pendidikan, keagamaan, dan pemberdayaan desa.
Menjaga Akal Sehat
Salah satu sumbangsih penting PKB dalam lanskap demokrasi Indonesia adalah konsistensinya menjaga akal sehat politik. Dalam berbagai momentum penting – dari pemilihan presiden, pembahasan UU kontroversial, hingga wacana amandemen konstitusi – PKB kerap mengambil posisi kritis tapi konstruktif. Ia tak larut dalam euforia populisme, tetapi juga tidak jatuh ke dalam sikap oposisi yang destruktif.
Etika politik yang dibawa PKB sejalan dengan prinsip siyasah syar’iyyah (politik kenegaraan Islam) yang mengedepankan kemaslahatan. Kiai-kiai yang menjadi sumber moral partai ini mengajarkan bahwa kekuasaan hanyalah sarana, bukan tujuan. Dalam konteks inilah, akal sehat dalam politik menjadi penting – tidak sekadar mengejar kemenangan, tetapi menjadikan politik sebagai jalan pengabdian.
Meski berbasis massa yang besar, PKB tidak bisa berpuas diri. Sistem pemilu proporsional terbuka menuntut kerja-kerja politik yang jauh lebih keras dan sistematis. Persaingan internal antarcaleg, logika transaksional dalam pemilih, serta derasnya arus digitalisasi politik menjadi tantangan baru.
Di sisi lain, PKB juga menghadapi ujian dalam menjaga jarak dari kekuasaan. Dalam beberapa periode, posisi PKB di pemerintahan menjadikannya bagian dari arus utama politik nasional. Namun kedekatan ini bisa menjadi pedang bermata dua: di satu sisi memperbesar pengaruh, di sisi lain mengancam independensi ideologis. Menjaga keseimbangan antara pragmatisme dan idealisme menjadi tugas berat bagi para elit dan kader PKB ke depan.
PKB menunjukkan kapasitasnya sebagai king maker dalam beberapa momentum politik. Pada Pilpres 2014 dan 2019, kehadiran PKB dalam koalisi pemerintahan memberi warna tersendiri, terutama dalam isu-isu toleransi, pendidikan keagamaan, dan pemberdayaan desa. Di balik layar, manuver politik PKB juga tak bisa diremehkan. Partai ini lihai dalam membaca peta kekuatan dan menempatkan diri secara strategis, meski terkadang harus berkompromi dengan kekuatan besar lain.
Namun menjelang 2024 dan menuju 2029, PKB perlu lebih tegas dalam menyuarakan platform kebangsaannya. Aliansi politik harus dibangun bukan sekadar atas dasar elektabilitas, tapi juga kesamaan visi dalam merawat demokrasi dan keadilan sosial. PKB harus menunjukkan bahwa ia bukan sekadar partai Islam, tetapi partai kebangsaan yang siap menjadi tulang punggung demokrasi Indonesia.
Revitalisasi Ideologi
Politik rahmatan lil alamin bukan hanya jargon atau platform semata. Bagi PKB, ia adalah fondasi ideologis sekaligus arah perjuangan politik. Dalam konteks global yang ditandai oleh menguatnya konservatisme dan ekstremisme, Islam rahmatan lil alamin menawarkan narasi tandingan yang damai, toleran, dan ramah budaya lokal.
PKB perlu memperkuat narasi ini dalam bentuk kebijakan nyata dan advokasi politik yang konsisten. Misalnya, memperjuangkan kurikulum pendidikan Islam yang moderat, menolak politik identitas yang eksklusif, serta merangkul kelompok minoritas dalam kerangka kesetaraan warga negara. Dalam politik luar negeri, PKB juga bisa memainkan peran sebagai duta Islam moderat Indonesia yang menjadi contoh bagi dunia Muslim.
Keberlangsungan partai tidak bisa dilepaskan dari kualitas kader dan regenerasi kepemimpinan. PKB perlu menata ulang pola kaderisasi agar tidak hanya berbasis loyalitas, tetapi juga kompetensi dan integritas. Dunia pesantren bisa menjadi lumbung kader yang unggul, namun perlu proses transformasi agar mereka siap menghadapi dinamika politik nasional.
Selain itu, partai ini juga harus membuka ruang lebih luas bagi kalangan muda, perempuan, dan profesional untuk ikut serta dalam proses politik. Regenerasi bukan sekadar estafet usia, tetapi juga inovasi dalam cara berpikir dan berpolitik. PKB harus menjadi laboratorium politik modern yang tetap berakar pada nilai tradisi.
Harlah ke-27 ini bukan sekadar seremoni. Ia harus menjadi momentum refleksi dan konsolidasi. Di tengah politik yang kian gaduh, PKB punya tanggung jawab besar menjaga akal sehat demokrasi: menolak kebodohan politik, melawan ekstremisme, dan merawat keberagaman.
PKB tidak boleh terjebak dalam politik transaksional dan kultus figur. Ia harus kembali pada khittah: menjadikan politik sebagai jalan maslahat, bukan jalan kekuasaan semata. Dengan konsistensi ideologis, strategi politik yang cerdas, dan komitmen kader yang kuat, PKB berpotensi menjadi jangkar stabilitas politik Indonesia di masa depan.
Selamat harlah ke-27 PKB. Saatnya mempertegas peran dan menguatkan pijakan. Demokrasi yang sehat butuh partai yang waras, dan PKB harus tetap menjadi penjaganya.[]
*Penulis adalah Direktur Moderation Corner, Jakarta.