SURABAYA, BANGSAONLINE.COM – Intelektual muda Nahdlatul Ulama (NU) yang juga dosen Monash University Australia, Nadirsyah Hossen menyatakan, agama dan demokrasi bisa berjalan beriringan. Sudah banyak penelitian menyatakan, peranan agama tidak hilang dari demokrasi. Terlebih di Indonesia.
"Indonesia memandang agama penting dalam kehidupan bernegara. Hanya saja pemahaman agama banyak modelnya, juga demokrasi, banyak ragamnya," tegas Gus Nadir – sapaan akrab Nadirsyah Hossen - dalam webinar Tadarus Demokrasi, Relasi Agama, dan Demokrasi, yang diselenggarakan oleh MMD Initiative, Jakarta, Sabtu (17/4).
Baca Juga: Demi Demokrasi Sehat, Partai Non-Parlemen Tolak Pilbup Pasuruan hanya Diikuti Satu Pasangan
Menurut dia, kombinasi yang tidak pas antara agama dan demokrasi akan melahirkan anomali. Agama akan mengubah demokrasi menjadi agamis, ataupun sebaliknya. Di Indonesia masih terus mencari koordinat yang tepat.
"Indonesia tidak ingin mengubah NKRI menjadi negara Islam. Atau sebaliknya menjadi negara sekular. Dan Indonesia masih terus cari kombinasi yang tepat," lanjut Rais Syuriah Pengurus Cabang Istimewa NU di Australia dan Selandia Baru ini.
Namun, sebagai catatan, demokrasi di tanah air punya persoalan internal. Pemilu serentak 2019 sangat melelahkan dan brutal. Bukan hanya membelah bangsa, tetapi antarkandidat bersaing tidak sehat di mana isu agama dipakai untuk kampanye. Selain itu, pemilu dan pilkada serentak di Indonesia banyak terjadi dinasti politik.
Baca Juga: Evaluasi Jokowi Jelang Lengser: Judi Online, Pornografi, Narkoba, Demokrasi, dan Hukum
Menurut Gus Nadir, demokrasi demikian bukan hanya brutal, tapi mahal. "Kalau demokrasi malah menumbuhkan oligarki dan menjadikan agama sebagi isu utama setiap pemilihan, maka kehidupan demokrasi akan mengkhawatirkan," ingatnya.
Dalam webinar ini Menkopolhukam Mahfud MD hadir sebagai keynote speaker. Hadir juga dosen Fisipol UGM Abdul Ghaffar sebagai pembicara. (tim)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News