Demokrasi Bisa Diisi Kebaikan, Bisa Diselewengkan, Jika Penganut Agama Gagal Isi Ruh Nilai Mulia

Demokrasi Bisa Diisi Kebaikan, Bisa Diselewengkan, Jika Penganut Agama Gagal Isi Ruh Nilai Mulia Mahfud MD saat jadi keynote speaker dalam webinar Tadarus Demokrasi, Relasi Agama, dan Demokrasi, yang diselenggarakan oleh MMD Initiative, Jakarta, Sabtu (17/4). foto: ist.

SURABAYA, BANGSAONLINE.com - Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyatakan, agama, khususnya Islam, dapat menerima sistem politik dan pemerintahan apapun, termasuk .

"Agama itu peraturan dan normanya, prinsipnya, datang vertikal, dari Tuhan. Pedoman hidup manusia. Wahyu Tuhan yang wajib diikuti sesuai keyakinan. Sementara hanya model dan sistem di dalam bernegara. Normanya lahir secara horizontal," kata Mahfud MD saat menjadi keynote speaker dalam webinar Tadarus Demokrasi, Relasi Agama dan Demokrasi, yang diselenggarakan oleh MMD Initiative, Jakarta, Sabtu (17/4).

Baca Juga: Terungkap, Gus Miftah juga Rendahkan Mahfud MD, Cak Nun, Ustadz Maulana dan Yati Pesek

Meski berbeda sumbernya, agama bisa menerima sistem politik dan sistem bernegara jenis apa pun. Baik , kerajaan, monarki, otokrasi, teokrasi, dan sistem apapun saja. Sebab, prinsipnya, agama bersifat netral.

Urusan cara dan sistem hidup bernegara, prinsip organisasi pemerintahannya, kata Mahfud, diserahkan kepada masing-masing pemeluk agama.

"Islam tidak mengharuskan lembaga atau sistem politik tertentu. Agama tidak melarang monarki totaliter. Tidak diperintahkan, tapi diceritakan dalam kitab suci. Otokrasi ada yang jelek, ada Firaun dan Namrudz. Tapi ada Khalifah Umar bin Abdul Azis, Harun Ar Rasyid yang baik," tambahnya.

Baca Juga: Mahfud MD: Seharusnya Polisi Tak Sungkan Periksa Budi Arie, karena Jantung Persoalan

Apakah agama cocok dengan ? Mahfud menegaskan, keduanya sangat kompatibel. Di dalam , lanjutnya, ada nilai toleransi yang mewajibkan manusia harus siap berbeda. Ada juga prinsip kesetaraan yang menyebut semua manusia kedudukannya sama. Juga ada nilai keadilan dan kejujuran.

"Itu kan nilai agama. Yang salah dan perlu dikoreksi itu, ada yang bilang toghut. Harusnya kritiknya, memang ada yang dipakai mencari keuntungan untuk kelompoknya sendiri. Hal yang tidak benar dibuatkan hukum menjadi benar atas nama . Kalau terjadi, artinya pemeluk agama gagal isi ruh dengan nilai mulia keagamaan. Artinya, bisa dimanfaatkan untuk kebaikan. Juga bisa juga diselewengkan," terangnya.

Ditegaskan Mahfud, apapun jenis sistem negara dan pemerintahannya, nilai dan tujuan yang diusung haruslah sama. Negara mesti ditujukan membangun keadilan, kesejahteraan masyarakat, dan membangun akhlak.

Baca Juga: Luruskan Penyebutan Hakim dalam Tap MPRS, Mahfud MD: Yang Mulia atau Yang Memalukan?

"Yang penting nilai-nilai ini. Apakah Mamlakah, Sultanah, Imamah, Keamiran atau Emirat, silakan saja. Kalau Indonesia sudah memilih , mistaqon ghalidza, maka isilah dengan nilai kebajikan perilaku para pelakunya," pungkas Mahfud yang kemudian membuka diskusi.

Hadir dalam webinar tersebut Aktivis Nahdlatul Ulama (NU) yang juga dosen Monash University Australia, Nadirsyah Hossen. Hadir pula Abdul Gaffar Karim, dosen Fisipol UGM Yogyakarta dan Aktivis Nahdlatul Ulama lainnya Abdul Azis. Acara dimoderatori oleh Chaca Annisa, presenter sebuah televisi swasta.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO