Tafsir Al-Hajj 22: Koruptor yang Bertobat?

Tafsir Al-Hajj 22: Koruptor yang Bertobat? Dr. KH. A. Musta'in Syafi'i.

Oleh: Dr. KH. Ahmad Musta'in Syafi'ie

Rubrik Tafsir Al-Quran Aktual ini diasuh oleh pakar tafsir Dr. KH. A. Musta'in Syafi'i, Mudir Madrasatul Qur'an Pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur. Kiai Musta'in selain dikenal sebagai mufassir mumpuni juga Ulama Hafidz (hafal al-Quran 30 juz). Kiai yang selalu berpenampilan santai ini juga Ketua Dewan Masyayikh Pesantren Tebuireng.

Tafsir ini ditulis secara khusus untuk pembaca HARIAN BANGSA, surat kabar yang berkantor pusat di Jl Cipta Menanggal I nomor 35 Surabaya. Tafsir ini terbit tiap hari, kecuali Ahad. Kali ini Kiai Musta’in menafsiri Surat Al-Hajj': 22. Selamat mengaji serial tafsir yang banyak diminati pembaca.

22. Kullamā arādū ay yakhrujū minhā min gammin u‘īdū fīhā, wa żūqū ‘ażābal-ḥarīq(i).

Setiap kali hendak keluar darinya (neraka) karena tersiksa, mereka dikembalikan (lagi) ke dalamnya. (Kepada mereka dikatakan,) “Rasakanlah azab (neraka) yang membakar ini!”

TAFSIR

Ayat al-qur’an banyak berbicara soal jenis siksaan, antara lain: pembangkang zakat disetrika jidat dan lambungnya. Ada yang diborgol, disiram timah panas, dikepruk kepalanya, dan lain-lain. Semua itu dilaksanakan oleh malaikat sesuai juklak.

Menanggapai koruptor yang sudah bertobat, tobat itu artinya menyesal, berhenti, tidak mengulangi. Jika tobat dari maksiat, seperti biasa tidak shalat, hobi berzina langsung dilihat. Tapi kalau tobat dari korupsi, bagaimana caranya?

Jawabnya, “tobat koruptor adalah minimal mengembalikan uang yang dikorup secara total”, dengan syarat sebelum tertangkap. “min qabl ‘an taqdiru ‘alaihim”. (al-maidah:34). Meskipun begitu, hakim tetap berhak memberi hukuman takzir sebagai efek jera dari kejahatannya yang disengaja.

Kaedah dalam fikih jinayah: “al-jinayah La yasquth bi al-Taubah”. Kejahatan tidak bisa gugur karena pertobatan, istighfar, dll. Itu tidak jalurnya. Justru selesai dengan hukuman. “..bal bi al-‘uqubah”. Karena ini hak adam, kecuali pihak korban memaaf. Presiden bukan pemilik uang negara, maka tidak berhak.

Lalu, bagaimana dengan tersangka yang berperilaku sopan, proaktif selama persidangan, lalu hakim memberi pengurangan hukuman dari hukuman yang semestinya? Bagaimana pula dengan narapidana yang berperilaku baik, tekun beribadah selama di penjara, kemudian hakim memberi pengurangan masa tahanan dll?

Haram dan tidak boleh. Itu namanya tindakan “ra’fah” yang dilarang Tuhan, (al-Nur :2). Meskpiun yang memberi itu presiden. Karena hukum bukan milik dan bukan wewenang presiden. Melainkan mutlak milik Allah SWT. “in al-hukm illa Lillah”. Justru presiden berkewajiban menegakkan hukum seadil-adilnya. Ini yang luput dari pemangatan ahli fikih negeri ini.

Terkait istighfar dan sebangsanya sama sekali tidak ada hubungannya dengan aturan hukum yang sudah ada. Hukuman (al-‘uqubah) hanya terkait dengan kejahatan (jinayah) yang sudah dilakukan. “Amr thari’”, perilaku susulan, seperti istighfar, sopan, itu sisi lain, hal yang berbeda dan sama sekali tidak boleh dijadikan alasan pengurangan hukuman.

Keshalehan di bidang ibadah mungkin teruji, tapi keshalehan bidang jinayah, bagaimana rumusannya? Jadi: kesalehan dalam ibadah tidak serta merta sebagai kesalehan dalam jinayah. Lihat : korupsi di kementerian agama, di urusan haji, di masjid, sangat banyak.

Soal alasan kemanusiaan? Jawabnya adalah: dulu, ketika dia korup atau membunuh tidak pernah berpikir kemanusiaan. HAM dibuang dan tidak digubris. Kok sekarang saat menghadapi konsekuensi dari perbuatannya dan harus bertanggug jawab merengek-rengek meminta diperlakukan kemanusiaan.

Kembali ke tafsir ayat studi. Yang kedua: “kullama aradu ‘an yakhruju minha u’idu fiha wa dzuqu ‘adzab al-hariq”. Penghuni neraka yang mencoba kabur, ditangkap dan kembalikan, serta disiksa lebih parah. Pesan potongan ayat kaji ini, antara lain :

Pertama, aparat dituntut selalu waspada dan cepat menangani masalah sebelum meluas. “membuntu kriwikan sebelum menjadi grojokan” (pepatah Jawa). Andai ada koruptor kabur, maka wajib dikejar sampai kena. Karena hal itu termasuk amanah dan tanggung jawab aparat.

Kedua, bagi penjahat atau koruptor yang kabur dan tertangkap, maka harus diberi hukuman lebih parah seperti isyarat ayat kaji ini. Ya, ibarat melakukan dua kali kesalahan. Pertama, kesalahan korupnya dan kedua, kesalahan kaburnya.

Hukuman korup adalah hukuman dasar, sedangkan hukuman tambahannya sebagai takzir. Takzir itu murni ijtihad hakim dan besarannya harus di bawah hukuman dasar.