
BANGKALAN, BANGSAONLINE.com - Suasana khidmat menyelimuti pendopo sederhana di rumah Kepala Desa Bandung, Kecamatan Konang, pada hari ini, Selasa (14/10/2025) siang.
Di bawah terik matahari, puluhan alumni santri duduk bersila, sebagian mengenakan sarung lusuh, sebagian lainnya menata sorban di pangkuan. Lantunan doa bergema, membuka pertemuan rutin Himpunan Santri Konang (Hisko).
Hisko berdiri sejak 1985 sebagai wadah silaturahmi dan dakwah bagi santri asal Konang, baik yang menimba ilmu di pesantren Madura maupun luar pulau. KH. Aliwahdin selaku penasihat Hisko sekaligus Pengasuh Pondok Pesantren Al Ibrohimy, menegaskan pentingnya menjaga kebersamaan secara langsung di era digital.
“Di era digital seperti sekarang, kita sering lupa bahwa kebersamaan tidak bisa hanya lewat grup WhatsApp,” tuturnya.
Ia menyatakan, Hisko merupakan titipan para kiai sepuh Konang yang dahulu menginginkan adanya wadah persatuan santri.
“Dulu namanya Imsyak (Ikatan Santri Masyarakat Konang), sebelum berubah menjadi Hisko,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Hisko, Ustaz Abdul Mujib, menyampaikan bahwa organisasi ini menjadi ruang pertemuan lintas generasi santri, baik yang belajar di sekitar Konang maupun di luar Madura.
“Hisko menjadi wadah pertemuan lintas generasi, dari santri tua hingga santri muda,” katanya.
Kepala Desa Bandung, Mudhar, yang menjadi tuan rumah acara, menyebut kegiatan ini sebagai penyegaran silaturahmi yang telah terjaga selama 40 tahun.
“Empat dekade bukan waktu sebentar. Kami terharu Hisko masih aktif. Ini bukti bahwa dakwah tidak hanya lewat mimbar, tapi juga lewat pertemuan hati,” ucapnya.
Ia juga menyoroti derasnya arus informasi di media sosial yang kerap mengaburkan nilai-nilai santri.
“Sekarang yang dianggap benar adalah yang viral, padahal nilai santri adalah keikhlasan, bukan popularitas,” tuturnya.
Sebagai refleksi, ia menyinggung kasus viral 'Kyai Mim vs Sahara' yang sempat memecah opini publik, sebagai pengingat pentingnya kebijaksanaan dalam menyikapi dunia digital.
Pertemuan ditutup dengan doa bersama, termasuk untuk para korban musibah di Pondok Pesantren Al-Khozainy Buduran. Meski sinyal ponsel lemah siang itu, koneksi hati para santri terasa jauh lebih kuat.
“Di tengah zaman ketika scroll menggantikan salam, para santri Konang bersepakat menjaga tradisi lama, menegur, menyapa, dan mendoakan,” kata KH. Aliwahdin. (uzi/mar)