Kerja Bakti Santri Dibully Perbudakan, di Jepang Justru Ditekankan sejak Usia Dini

Kerja Bakti Santri Dibully Perbudakan, di Jepang Justru Ditekankan sejak Usia Dini Bupati Bojenogoro H. Setyo Wahono. Foto: bangsaonline

BOJONEGORO, BANGSAONLINE.com – Bupati Bojenogoro H. Setyo Wahono menegaskan bahwa tolok ukur pendidikan adalah bagaimana menjawab tantangan anak didik bisa bersaing dalam dunia global.

Namun, tegas Bupati Setyo, anak didik kita tak cukup hanya memiliki kecerdasan akademik dan daya saing global tapi juga butuh pondasi norma, adab dan karakter.

“Kecerdasan penting, tapi adab dan karakter lebih penting,” ujar Bupati Bojenogoro H. Setyo Wahono saat menyampaikan sambutan dalam acara Rembug Pendidikan Bojonegoro yang diselenggarakan Pengurus Cabang Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (PC Pergunu) Bojonegoro, Jawa Timur, Rabu (29/10/2025).

Menurut Bupati Setyo, dalam hal ini peran Pergunu sangat penting.

“Pergunu mampu menjaga moral,” kata adik Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia, Prof. Pratikno, Ph.D itu.

M. Mas’ud Adnan, salah seorang pembicara dalam Rembug Pendidikan Bojonegoro itu merespons positif pernyataan Bupati Setyo Wahono.

“Pernyataan Bupati Bojonegoro soal adab dan karakter sangat penting. Apalagi sekarang masih dalam suasana Hari Santri Nasional,” kata Mas’ud Adnan, CEO HARIAN BANGSA dan BANGSAONLINE itu.

Ia kemudian membandingkan pendidikan di Jepang dengan di Indonesia. “Pendidikan kita ini terbalik. Saya tempo hari menulis berita tentang pendidikan di Jepang. Di Jepang, anak usia dini tidak diajari pelajaran. Tapi lebih ditekankan pada pendidikan karakter dan sopan santun yang langsung dipraktikkan,” kata Mas’ud Adnan.

“Misalnya di sekolah tidak ada tukang sapu atau petugas kebun, murid-murid yang masih kecil itu langsung berbagi tugas. Ada yang mengambil sapu, ada yang mengambil cikrak untuk membersihkan sekolah mereka,” tambah alumnus Pesantren Tebuirerng dan Pascasarjana Unair itu.

“Kalau di sini (Indonesia) anak santri roan (kerja bakti) malah dibully dan diserang oleh netizen. Disebut perbudakan, feodal dan seterusnya. Padahal roan itu pendidikan karakter, Pendidikan kemandirian, untuk membersihkan lingkungan kita, mulai kamar kita sendiri, halaman pondok pesantren. Jadi roan itu bukan hanya membersihkan kediaman kiai tapi semua dibersihkan. Gitu kok dianggap feodalisme,” kata Mas’ud Adnan sembari mengatakan bahwa saat mondok di pesantren Tebuireng sudah terbiasa dengan roan.

Menurut Mas’ud Adnan, anak-anak usia dini di Jepang juga diajari sopan santun secara ketat. “Misalnya mau masuk lift lalu ada orang di situ, mereka harus membungkuk menghormati. Dan tak pandang bulu, baik kaya maupun miskin harus dihormati,” kata penulis sejumlah buku politik dan NU serta tokoh NU, termasuk tentang Gus Dur dan Kiai Asep Saifuddin Chalim itu.

Tapi di Indonesia, kata Mas’ud, ketika santri hormat pada kiai, mencium tangan kiai, langsung diserang, dianggap feodalisme dan perbudakan.

“Di pesantren kalau ada kiai lewat atau tamu kiai lewat biasanya  para santri langsung berhenti dan ta'dzim menghormati, tapi oleh orang-orang yang menyerang pesantren dianggap mematung. Ini kan aneh," tegas wartawan yang sudah berkunjung ke beberapa negara itu.

Menurut dia, Jepang maju dan beradab sekaligus modern karena sistem pendidikan di negara Sakura itu mampu mensinergikan kecerdasan, karakter dan adab serta tradisi.

Selain itu, tegas Mas’ud Adnan, Jepang maju dan modern karena sangat menghormati guru. Ia menukil cerita yang sangat popular tentang kebangkitan Jepang.

“Ada cerita popular. Ketika kota Hiroshima dan Nakasaki Jepang dibom oleh sekutu pada 9 Agustus 1945, warga Jepang sudah putus asa karena semua hancur dan luluh lantak. Korban meninggal mencapai 246.000 orang,” kata Mas’ud Adnan.

Yang menarik, tutur Mas’ud Adnan, setelah Jepang hancur, Kaisar Jepang Hirohito tidak bertanya masih ada berapa tantara dan jenderal kita. “Yang ditanya apakah masih ada guru yang masih hidup. Kalau masih ada jumlahnya berapa,” kata Mas’ud Adnan.

Bersama para guru, Kaisar Hirohito pun optimistis bisa bangkit kembali untuk membangun Jepang.

“Faktanya Jepang kemudian sangat maju dan menjadi negara modern,” tegasnya.

Sementara Ketua PC Pergunu Bojonegero Ahmad Suprayitno mengaku sangat mendukung kemajuan Pendidikan Bojonegero sehingga bisa bersaing di tingkat global.

“Pergunu Bojonegoro mendukung Pendidikan Bojonegero mau sehingga bisa bersaing di dunia global,” tegasnya saat menyampaikan sambutan di depan sekitar 450 orang peserta itu.

Seperti diberitakan BANGSAONLINE, Kamis (30/10/2025), Prof Dr KH Asep Saifuddin Cahlim menegaskan bahwa pemimpin nasional bakal lahir dari Bojonegoro, jika pemerintah Kabupaten Bojonegoro peduli dan memperhatikan pendidikan.

“Kalau Bojonegoro memperhatikan pendidikan, maka pemimpin-pemimpin akan lahir dari Bojenegoro,” tegas Prof Dr KH Asep Saifuddin Chalim, MA, dalam acara Rembug Pendidikan Bojonegoro yang digelar PC Pergunu Bojonegoro di Pendopo Kabupaten Bojonegoro, Rabu (29/10/2025).

Karena itu Kiai Asep minta Pemerintah Kabupaten Bojonegoro memperhatikan pendidikan, terutama pondok pesantren. Kiai Asep menyadari bahwa anggaran untuk pensantren dan pendidikan agama sering terbentur payung hukum. Tapi Kiai Asep mengaku pernah mendapat penjelasan dari Kepala Bapedda Pemprov Jawa Timur Muhammad Yasin.

“Kata Kepala Bappeda Pemprov Jatim dana untuk MTs dan pendidikan agama lainnya boleh dalam bentuk hibah seperti halnya TPQ,” kata pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Amanatul Ummah Surabaya dan Pacet Mojokerto itu.

Selain Kiai Asep juga tampil sebagai pembicara Prof Dr Sri Minarti, Ketua Senat Akademik Unugiri, Dr H Agus Huda, Akademisi yang juga Dewan Penasehat Pergunu dan M. Mas’ud Adnan, CEO HARIAN BANGSA dan BANGSAONLINE.

Dalam acara Rembug Pendidikan yang dimoderoteri M Hasan Basri itu selain dihadiri Bupati Bojonegoro H. Setyo Wahono, juga hadir Ketua DPRD Bojonegoro Abdullah Umar, anggota DPRD Jatim Sri Wahyuni dan para kiai pengasuh pondok pesantren.

Tampak pengurus NU, Muslimat NU, Ansor, Fatayat, IPNU, IPPNU dan Pergunu itu, memadati pendopo kabupaten Bojonegero yang luas dan terbuka itu.

Kiai Asep juga mengingatkan bahwa sejarah kelahiran Indonesia tak lepas dari pendidikan, terutama pondok pesantren. Ia memberi contoh peristiwa pertempuran 10 November di Surabaya. Menurut Kiai Asep, dalam perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia itu kiai dan santri yang berada di garda terdepan. Yaitu Hadratussyaikh KH Muhammad Hasyim Asy’ari, KH Abbas Abdul Jamil Buntet, Bung Tomo dan KH Muhammad Yusuf Hasyim.

Dalam pertempuan 10 November itu, tegas Kiai Asep, korban meninggal sangat besar, mencapai 30 ribu orang lebih. Mayat-mayat mereka bergelimpangan di Sungai Kalimas Jembatan Merah Surabaya.

Dalam perang itu juga jenderal andalan Inggris Mallaby tewas, setelah diculik oleh santri yang dipimpin Kiai Abbas Abdul Jamil.

“Mereka ditembak oleh tiga santri Tebuireng,” ujar putra pahlawan nasional KH Abdul Chalim itu.

Karena itu, tegas Kiai Asep, kiai dan santri sekarang harus mengisi kemerdekaan Indonesia.

“Untuk mewujudkan cita-cita luhur kemerdekaan, pesantren harus melakukan transformasi sesuai kebutuhan masyarakat sekarang,” kata Kiai Asep yang pada Agustus lalu mendapat penghargaan Maha Putra Nararya dari Presiden Prabowo Subianto di Istana Negara Jakarta.

“Jadi, karena kiai dan santri yang memerdekaan bangsa, maka kiai dan santri yang harus mengisi kemerdekaan bangsa,” tambahnya.