Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) dan Mahasiswa Universitas Madura (UNIRA), menyegel Kantor Rektor dan Biro Kemahasiswaan Unira
PAMEKASAN,BANGSAONLINE.com -Puluhan mahasiswa Universitas Madura (Unira) menyegel Kantor Rektor dan Biro Kemahasiswaan pada Rabu (3/12/2025) untuk memprotes penyusunan pedoman Pemilu BEM 2025 yang mereka nilai cacat prosedur dan dilakukan secara sepihak.
Aksi penyegelan dipicu kekecewaan lantaran demonstrasi sebelumnya tak mendapat tanggapan memadai dari pihak universitas.
Mahasiswa menilai polemik berawal dari penyusunan pedoman pemilu yang dianggap mengabaikan aturan internal kampus.
Mahasiswa mengklaim rektorat dan Biro Kemahasiswaan tetap melanjutkan penyusunan hingga pengesahan pedoman tanpa mekanisme resmi dan tanpa melibatkan Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM), lembaga yang secara regulatif memegang kewenangan pembahasan.
“Pedoman pemilu yang disusun seperti ini hanya menjadi aturan tertulis tanpa kepastian mekanisme. Ini bertentangan dengan prinsip dasar pembentukan regulasi,” ujar Koordinator Aksi, Supriadi.
Ia menegaskan Pasal 21 Ayat (2) PDOK menempatkan DPM sebagai aktor utama penyusun regulasi pemilu, namun kewenangan tersebut diabaikan oleh pihak kampus.
Supriadi juga menyoroti tidak adanya asas expert involvement dalam penyusunan pedoman. Menurutnya, tanpa keterlibatan ahli hukum kampus, regulasi rentan multitafsir dan lemah secara yuridis.
Ia mempertanyakan keputusan Wakil Rektor III yang tetap melanjutkan pembahasan pedoman meski dianggap tidak sah.
Tindakan itu menurutnya, berpotensi merusak legitimasi kontestasi politik mahasiswa.
“Pengesahan yang tidak berdasar justru melemahkan sistem demokrasi kampus yang selama ini dijaga,” tegasnya.
Aksi berlangsung panas namun tertib dengan membawa tiga tuntutan utama.
Yakni penegasan kewenangan DPM sebagai pembentuk KPU-Mahasiswa dan penyusun regulasi pemilu, menuntut independensi KPU-Mahasiswa agar bebas dari konflik kepentingan, serta menolak intervensi universitas dalam pembentukan KPU.
Mahasiswa juga turut mempersoalkan langkah rektor yang menandatangani pedoman pemilu tanpa memastikan prosedur formal dipenuhi.
“Ini bukan sekadar soal pedoman pemilu, tetapi soal marwah demokrasi kampus,” tutup Supriadi. (dim/van)












