JAKARTA, BANGSAONLINE.com - Pemilihan Gubernur Jawa Timur memang baru digelar bulan Juni tahun 2018. Namun tahapan pilgub sudah dimulai pada akhir tahun 2017. Karena itu proses politiknya sudah berjalan saat ini, hal itu ditandai adanya sejumlah komunikasi politik diantara elit politik baik lokal Jawa Timur maupun nasional. Sayangnya, sejauh ini nama yang muncul ke permukaan baru ada segelintir saja, seperti Saifullah Yusuf (Gus Ipul), Abdul Halim Iskandar (Gus Halim) dan Khofifah Indar Parawansa (Khofifah).
Pengamat politik dari Universitas Airlangga (Unair), Airlangga Pribadi menilai fakta tersebut menjadi indikator Jawa Timur mengalami krisis pemimpin. Pasalnya, ketiga tokoh tersebut tergolong wajah lama terkecuali Gus Halim yang merupakan kakak kandung Ketua Umum PKB, Abdul Muhaimin Iskandar.
Baca Juga: TNI-Polri Apresiasi Kesiapan Posko Nataru di Pelabuhan Tanjung Perak, Ini Kata Pj Gubernur Jatim
“Kalau faktanya calonnya itu-itu lagi, ya itu sama saja Jawa Timur krisis pemimpin. Padahal ini adalah provinsi besar dan strategis,” tutur Airlangga kepada BANGSAONLINE.
Dosen FISIP Unair ini mengungkapkan, sejatinya Jawa Timur punya banyak tokoh-tokoh muda yang saat ini memimpin kabupaten maupun kota. Hanya saja, apakah partai politik mau memberikan ruang dan kesempatan kepada para pemimpin muda itu untuk naik level ke tingkat provinsi sebagai calon gubernur.
Mantan aktivis’98 ini melihat pragmatisme partai politik dalam ajang pilkada sangat tinggi. Mereka lebih memilih figur dari non partai, bahkan mendukung calon dari partai lain, sekalipun mereka punya jumlah kursi ataupun suara yang cukup untuk mengusung calon dari internal partai. Partai politik lebih mengutamakan hasil ketimbang proses menuju kemenangan. Fakta itu – tegas dia - setidaknya bisa dilihat dalam kontestasi pilkada Lamongan dan Tuban. Lebih ironi lebih pilkada Surabaya, di mana mayoritas partai politik memilih golput dengan tidak mengusung dan mendukung calon kepala daerah.
Baca Juga: Dampingi Kapolri dan Panglima TNI, Pj Adhy Tinjau Persiapan Natal 2024 di Gereja Bethany Surabaya
“Pilkada Surabaya itu sangat ironi, calon yang berkompetisi hanya dua pasang. Sementara partai yang terlibat kompetisi hanya tiga dari total 10 partai yang ada. Ini membuktikan partai politik bersikap pragmatis dengan mengutamakan hasil instan ketimbang proses,” sindir akademisi asal Jombang ini. (mdr/rev)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News