Transformasi Politik NU

Transformasi Politik NU

Keempat partai di atas sebenarnya adalah sempalan Partai Golkar. Selain keempat partai itu masih ada lagi sempalan Partai Golkar yaitu Partai Demokrat. Partai Golkar dan partai-partai sempalan itu menguasai hampir 50% jumlah kursi DPR. Karena pengikatnya adalah tokoh dan uang, banyak yang bertanya apakah partai-partai itu akan mampu bertahan lama setelah tokohnya tidak aktif lagi?

Yang paling menarik dalam kaitan hubungan ormas dan parpol adalah yang dialami NU. Berdiri pada 1926 sebagai ormas, pada 1945 NU bergabung kedalam Masyumi. Perbedaan budaya, latar belakang pendidikan dan kepentingan politik membuat NU memisahkan diri dari Masyumi dan berubah menjadi Partai NU (1952). Pada pemilu 1955 Masyumi menjadi pemenang kedua dan NU menjadi pemenang ketiga. Setelah Partai Masyumi dibubarkan, maka Partai NU menjadi kekuatan utama politik Islam. Pada 1973 semua partai Islam didesak melebur menjadi PPP. Pada Muktamar 1984 NU menyatakan bahwa NU tidak terikat pada partai apapun.

Peluang mendirikan partai baru dibuka oleh Presiden Habibie pada 1998. Maka sejumlah partai lama muncul kembali dan banyak sekali partai baru didirikan. Nostalgia kejayaan politik NU, membuat para tokoh NU tergoda lagi ikut dalam kegiatan politik praktis. Lima tokoh terkemuka PBNU yaitu KH Muchith Muzadi, KH Ilyas Rukhyat, KH Munasir Ali, Gus Dur dan KH Mustofa Bisri pada 1998 mendeklarasikan berdirinya PKB.

Partai-partai lama yang didirikan kembali, tidak berhasil mengulangi prestasi masa lalu seperti PSII dan Partai Masyumi. Partai yang ada kaitan dengan NU dan bisa bertahan adalah PPP dan PKB. Dalam pemilu 1999, PKB menempati urutan ketiga (12,61% jumlah suara). PPP menempati urutan keempat (10,71%). Keberhasilan Gus Dur menjadi Presiden menambah keyakinan bahwa keterlibatan jam'iyyah NU dalam politik praktis adalah pilihan yang tepat dan benar.

Pada 2005 terjadi perpecahan dalam PKB yang berakibat pada munculnya PKNU yang didukung oleh sebagian kiai NU. Pada 2008 terjadi lagi perpecahan dalam PKB yang berakibat menurunnya suara menjadi 4,74% pada pemilu 2009. Dalam pemilu 2014 jumlah suara PKB meningkat menjadi 9,04%. PPP memperoleh 6,53% suara pada Pemilu 2014.

Penyederhanaan Partai

Saat ini ada 10 partai yang aktif di DPR RI, karena itu tidak ada partai yang kuat. Koalisi yang dibentuk untuk membuat kelompok yang kuat dalam DPR tidak berhasil. Koalisi Merah Putih yang dibentuk oleh partai-partai pendukung Prabowo tidak bertahan lama dan sebagian besar menyeberang ke pihak lain. Sudah lama ada usul untuk dibuat kebijakan penyederhanaan partai atau mengurangi jumlah partai dengan menaikkan ambang batas jumlah minimum perolehan suara dalam pemilu, yang dilakukan secara bertahap.

Saat ini jumlah minimum perolehan suara adalah 3,5%, mungkin dalam pemilu 2019 menjadi 5%, dalam pemilu 2024 menjadi 7,5% dan dalam pemilu 2029 menjadi 10%. Lebih baik kalau jadwal itu dipercepat menjadi 7,5% pada pemilu 2019 dan menjadi 10% pada pemilu 2024. Kalau itu dilakukan, akan terjadi seleksi yang cukup tajam, mungkin pada 2019 akan tinggal 7 atau 8 partai dan pada 2024 tinggal 4 atau 5 partai. Hal itu akan membuat kekuatan politik terpusat pada dua atau tiga kelompok, tidak tersebar seperti sekarang.

PDIP kemungkinan besar akan tetap bertahan. Partai-partai sempalan Golkar akan terkristalisasi menjadi 2-3 partai dan Partai Golkar kemungkinan masih bisa bertahan. Yang juga mungkin masih bisa mempunyai peluang di masa depan ialah kelanjutan Partai Masyumi dan Partai NU. Yang saat ini bisa dianggap sebagai kelanjutan Partai Masyumi ialah PKS dan PAN, tetapi keduanya terlihat mempunyai perbedaan yang cukup besar, yang satu punya orientasi keislaman yang kuat, yang lain kurang kuat. Yang bisa dianggap sebagai kelanjutan Partai NU ialah PKB dan PPP. Perbedaan visi kedua partai itu tidak sejauh perbedaan PKS dan PAN.

Penggabungan partai-partai sebagai kelanjutan dari Partai Masyumi dan partai-partai sebagai kelanjutan dari Partai NU tentu tidak mudah dan perlu ada pihak yang mendorong serta memfasilitasi. Secara ideal salah satu yang mungkin menjadi fasilitator ialah pimpinan dan tokoh-rokoh didalam organisasi NU dan juga didalam organisasi Muhammadiyah. Tetapi perkembangan terakhir menunjukkan bahwa transformasi NU dalam bidang politik tidak seperti itu. Alih-alih menjadi ormas yang mampu berada diatas dan menaungi partai-partai, organisasi NU bukan menuju kemajuan tetapi mengalami kemunduran, menjadi diatur oleh partai tertentu.

Entah apa yang ada di dalam kepala para petinggi PKB ketika memutuskan untuk mengintervensi Muktamar NU ke 33 untuk bisa menjadikan PBNU seperti semacam sub-ordinat PKB. Seorang kawan secara berseloroh mengatakan bahwa PKB adalah anak perusahaan yang berhasil mengakuisisi perusahaan induknya.

Yang juga tidak bisa dipahami ialah sikap semua pimpinan teras PBNU 2010-2015 (kecuali Katib Aam Dr Malik Madani) yang membiarkan terjadinya pelanggaran AD/ART secara telanjang dengan tidak melakukan pemilihan anggota AHWA yang akan memilih Rais Aam, orang nomer satu dalam struktur jam'iyyah NU. Panitia menentukan anggota AHWA dari daftar yang mereka susun sendiri. Para petinggi PKB telah merusak sebuah organisasi yang menjadi andalan masyarakat sipil Indonesia, yang didirikan dan diperjuangkan secara susah payah oleh para kyai yang berjiwa negarawan.

Sejumlah petinggi negara konon ikut terlibat dalam proses itu. Mereka tidak memahami bahwa kooptasi oleh PKB terhadap jam'iyyah NU itu akan melemahkan posisi NU sebagai penopang NKRI bersama Muhammadiyah dan TNI/Polri. NU dan Muhammadiyah adalah kekuatan utama masyarakat sipil yang kini dibutuhkan Indonesia saat ini karena ranah politik dan ranah usaha mungkin bekerja sama (istilahnya dwifungsi penguasa dan pengusaha) sehingga yang bisa melindungi rakyat (kalau memang mau) adalah masyarakat sipil.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO