Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie MAg. . .
BANGSAONLINE.com - "Waallaahu ja’ala lakum mimmaa khalaqa zhilaalan waja’ala lakum mina aljibaali aknaanan waja’ala lakum saraabiila taqiikumu alharra wasaraabiila taqiikum ba/sakum kadzaalika yutimmu ni’matahu ‘alaykum la’allakum tuslimuuna."
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
Beberapa ayat al-Qur'an bicara soal fashion atau pakaian, seperti al-A'raf : 26, 27, 31, 32 dan ayat studi ini. Dalam membica rakan fashion ini, Tuhan lebih banyak membicarakan fungsinya daripada membicarakan modenya (zinah). Pada ayat studi ini, Tuhan membicarakan fungsi pakaian sebagai pelindung dari terik matahari dan pakaian perang yang melindungi badan dari tusukan tombak atau sabetan pedang.
Dengan demikian, Tuhan sangat mengapresiasi hamba-Nya yang mempersiapkan diri berjuang di jalan-Nya, termasuk siap pakaian perang. Itu artinya, ayat ini memberi pelajaran soal pertahanan diri dari serangan musuh, "ba'sakum".
Tafsir zaman dulu, kata "sarabil" dimaknai baju perang yang terbuat dari besi seperti dalam film klasik. Itu betul, karena senjata (ba's) yang dipakai waktu itu masih konvensional, sebangsa pedang, tumbak, anak panah atau batu.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
Tafsir aktual tentu tidak demikian. Bahwa "sarabil" (petahanan) harus disesuaikan dengan kecanggihan "ba's" (senjata) yang dipakai dan wajib lebih tangguh. Ketangguhan "sarabil" itu disebut dalam ayat kaji dengan kalimat "taqikum ba'sakum", mampu melindungi pasukan dari serangan musuh. Jika "ba's"nya berupa rudal, maka "sarabil"nya harus berupa senjata anti rudal. Jika "ba's'-nya berupa senjarta kimia, maka "sarabil"nya harus bisa menangkis senjata kimia itu secara total dan seterusnya.
Ahli hikmah dan bebrapa ulama ahli kanoragan memetik ayat ini sebagai isyarat bahwa dalam menangkis musuh yang menggunakan jasa sihir, tenung, teluh, santet yang menggunakan jasa syetan, maka wirid penangkisnya harus lebih canggih sehingga mampu menepis serangan sihir. Sihir itu kayak bola karambol yang melaju kencang. Tapi bila dipantulkan, maka laju kembalinya lebih dahsyat. Jadi, orang yang mengirim sihir pasti sudah siap mengatur laju kembaliannya sedemikian rupa, sebagai langkah jaga-jaga kalau sihir yang dikirim ternyata mendal. Sihir balik bak bumerang tadi bisa dibuang atau dibelokkan liar ke tempat yang aman.
Dalam deretan ayat soal pakaian tersebut, ada pakaian untuk menutupi bodi atau fisik (Libas yuwari saw'atikum) dan ada pakaian untuk menutupi hati, ruh dan nurani (libas al-taqwa) dan ini yang terbaik (wa libas al-taqwa dzalik khair). Rangkuman soal bertutup aurat disajikan begini:
Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana
Pertama, bila hati seseorang bersih, berkeimanan kuat dan memancarkan cahaya taqwa, maka pastilah memandang metutup aurat atau berjilbab sebagai kewajiban agama yang wajib dipatuhi dan diamalkan secara disiplin. Berjilbab -baginya- adalah amanah agama yang mesti dipertanggungjawabkan kelak di hari hisab. Libas al-taqwa ini selalu membuahkan tindakan nyata, yaitu rajin berlibas "yuwari sawa'atikum", menutup aurat dan berjilbab.
Kedua, orang yang hatinya tidak terisi taqwa, keimanannya lemah, maka pasti enggan menutup aurat, enggan berjilbab dengan sekian alasan. Baginya, berjilbab bukan perintah agama melainkan konstruksi budaya. Maunya, bila jilbab itu budaya, maka hanya berlaku di negeri jilbab saja, seperti umumnya negara Timur Tengah. Sementara di negeri ini, budayanya beda, maka pakai berpakaian disesuaikan budaya setempat, walau itu pakaian kemben dengan terbuka di bagian dada atau koteka pakaian adat suku Asmat Irian yang hanya menutup kemaluan saja.
Pikiran mereka hanya terhenti sampai di situ demi membela nafsu dan hobi telanjangnya. Pikiran mereka tidak dilanjutkan dan sengaja tidak mau melanjutkan ke rana yang lebih hegemonik. Mislnya ketika budaya bersinggungan dan telah membaur dengan agama, lalu agama melegalkan budaya tersebut sebagai bagian dari diktum syariah dengan turunya al-Qur'an yang dikuatkan pula oleh al-Hadis dan dipraktikkan pada masa syari'ah itu. Saat budaya diadopsi dan dilegalkan oleh syari'ah, apakah tetap berstatus sebagai budaya murni atau sudah menjadi syari'ah agama?.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok
Bagi wanita yang di dalam hatinya ada libas al-Taqwa, pancaran keimanan, cahaya taqwa, maka pasti memandang jilbab adalah syari'ah agama dan bukan budaya lagi. Budaya hanyalah piranti menuju syariah yang sempurna. Hal itu terjadi karena hati yang bersih pasti cenderung ke syari'ah yang bersih
Tidak demikian dengan hati wanita yang dipenuhi kemunafikan dan dikuasai nafsu syetan, maka cenderung memandang jilbab sebagai tradisi yang longgar, bisa ditaati dan tidak apa-apa ditinggalkan, suka-suka sesuai kemauan. Harap maklum, karena nafsu dan kemunafikan adalah produk syetan dan sekaligus kontra cahaya Tuhan, sehingga tidak siap mematuhi perintah Tuhan.
Ketiga, orang yang menutup aurat dan disiplin berjilbab tidak pasti hatinya penuh ketaqwaan, tapi orang yang hatinya penuh taqwa pasti disiplin berjilbab. Kadang berjilbab sebagai hobi, mode, profesi atau bagian dari kerja bisnisnya, sehingga tampil berjilbab lebih sebagai promosi atas barang dagangan dan usahanya.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata
Tidak sedikit artis tampil berjilbab, tapi cuma sebentar sesuai kondisi dan mood-nya. Marshanda adalah salah satu di antara mereka. Artis muda itu pernah tampil berjilbab dan promosi ke mana-mana, menjadi pembicara keislaman di kalangan cewek-cewek remaja sehingga menarik simpati publik. Sayang, setelah kehidupannya krodit dan bermasalah, dia lepas jilbab itu dan persyetan. Hingga kini, dia kembali terbuka lagi.
Keempat, jangan membuat perbandingan tidak adil. Misalnya begini: Lebih baik tidak berjilbab tapi akhlaqnya bagus dari pada berjilbab tapi akhlaqnya rusak. Lebih baik dari itu semua adalah berjilbab dan akhlaqnya bagus, sehingga lahiriahnya bagus dan batiniahnya juga bagus. Orang yang berjilbab dan bermaksiat, berarti sudah mengamalkan syari'ah lahiriah, maka mendapat pahala. Kurangnya adalah pada moralitas dan inilan yang diperbaiki.
Sedangkan orang yang tidak maksiat tapi tidak juga berjilbab, maka bagus moral, tapi dosa karena tidak berjilbab dan inilah yang mesti diaktifkan. Tidak ada kata percuma dalam agama. Misalnya, percuma jungkar jungkir shalat, sementara tetap doyan maksiat. Atau percuma berjilbab, ternyata tetap doyan maksiat. Shalatnya tidak percuma dan bisa menggugurkan kewajiban, lalu mendapat pahala. Tuhan tidak pernah menyatakan itu, karena Dia Maha arif dan bijak. Yang terparah adalah, sudah tidak berjilbab, moralnya bejat. Na'udz billah min dzalik.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News