SURABAYA (bangsaonline) -Menyikapi statemen yang dilontarkan Wakil Wali Kota Surabaya yang mengklaim bahwa pertemuan dengan warga terdampak lokalisasi diklaim telah berhasil dan warga meyetujui langkah penutupan lokalisasi Dolly dan Jarak oleh Pemerintah Kota Surabaya, warga lokalisasi Dolly dan Jarak memprotes keras dengan menggelar konferensi pers serta aksi demonstrasi di Balai RW 11 Kelurahan Putat Jaya Kecamatan Sawahan.
Puluhan pekerja lokalisasi yang terdiri dari PSK, Mucikari, PKL, Pelayan serta warga terdampak menggelar konfrensi pers meluruskan pernyataan Wakil Wali Kota di media massa yang menyatakan bahwa warga lokalisasi setuju dengan kompensasi yang ditawarkan oleh Pemerintah Kota.
Baca Juga: Komunitas Jarak Dolly Surabaya Beri Bantuan di Dua Yayasan Panti Asuhan
Ketua Front Pekerja Lokalisasi (FPL) Suyitno mengatakan bahwa selama ini warga tidak pernah menyetujui tawaran dari Pemerintah Kota Surabaya untuk penutupan lokalisasi. Seperti diberitakan sebelumnya Pemerintah Kota Surabaya melalui Wakil Wali Kota Surabaya menggelar pertemuan dengan beberapa warga yang menawarkan konpensasi dana pengganti biaya hidup serta tawaran pekerjaan untuk mensukseskan program penutupan lokalisasi. "Semua pernyataan Wakil Wali Kota itu bohong. Kita tidak pernah berkompromi dengan Pemerintah Kota. Tolak penutupan lokalisasi. Harga mati," tegas Suyitno.
Dalam aksinya kali ini,FPL membawa beberapa tuntutan di antaranya menolak rencana penutupan lokalisasi dan menolak segala bentuk tawaran dan kompensasi dari Pemerintah Kota Surabaya. Kedua, Warga lokalisasi menuntut Wakil Walikota Surabaya melakukan klarifikasi serta meminta maaf secara terbuka kepada media massa terkait pernyataanya.
"Semua yang diucapkan oleh Wakil Wali Kota Wisnu Sakti Buana di media itu bohong. Kita tidak ada yang setuju dengan kompensasi dari pemerintah kota. Kami minta Wisnu membuat permintaan maaf kepada warga karena telah membuat pernyataan palsu kepada masyarakat," pungkas Suyitno.
Baca Juga: Komunitas Jarak Dolly Bagikan 350 Nasbung pada Warga dan Pengendara di Bekas Lokalisasi
Terpisah, Ketua DPRD Kota Surabaya, M Machmud meminta pada Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini untuk tetap menutup Dolly pada 19 Juni mendatang. Pihaknya menyarankan pada orang nomor satu di Surabaya itu untuk menghadapi semua tantangan dalam upaya penutupan ini. Adanya perbedaan pendapat dalam kebijakanini merupakan hal wajar. Jika ada yang kericuhan,nanti ada undang-undang yang mengatur persoalan itu. Deadline penutupan tanggal 19 Juni itu, selain sudah diketahui olehg gubernur Jatim, juga sudah didukung oleh Kementrian Sosial (Kemensos).“Soal tanggal penutupan itu sebetulnya tidak prinsip, tapi yang penting ada niat untuk menutup dan sudah ada deadline,” katanya.
Di sisi lain, para PSK, mucikari dan warga yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Bersatu (GRB) mengirim surat penolakan penutupan Dolly ke Gubernur Jawa Timur (Jatim), Soekarwo.
GRB yang terdiri atas Front Pekerja Lokalisasi (FPL) dan Komunitas Pemuda Independent (KOPI) mengirim surat tersebut pada 12 Mei lalu. Surat ditembuskan ke DPRD Jatim, DPRD Kota Surabaya serta Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini.
Baca Juga: Puluhan Bonek-Bonita Jarak-Dolly Berbagi Takjil Nasbung dan Jajanan
Surat penolakan penutupan lokalisasi Dolly bernomor 003/GRB Jatim/2014 itu juga meminta pada Gubernur Jatim, Soekarwo untuk mempertemukan para pihak. Baik yang menolak maupun yang sepakat dengan penutupan lokalisasi terbesar se-Asia Tenggara ini. Tujuannya, agar tidak terjadi konflik horizontal pada saat penutupan di 19 Juni mendatang. “Sampai saat ini, belum pernah ada dialog antara pemkot (Pemerintah Kota Surabaya) dengan warga di sekitar lokalisasi,” ujar Ketua Umum FPL, Suyitno.
Suyitno menyeritakan, dalam beberapa hari terakhir ini, Wakil Wali Kota Surabaya, Wisnu Sakti Buana rutin mengadakan dialog dengan RW yang terdampak atas penutupan ini. Di antaranya, RW 3, 6,10,11 dan 12.
Sayangnya, dalam dialog dengan warga ini, Wisnu tidak mampu menyampaikan secara lebih detil tentang rencana strategis pemkot pasca penutupan Dolly. Menurut Wisnu, kata Suyitno, warga yang sepakat penutupan, akan mendapat kompensasi yang sesuai dengan penghasilan di Dolly. Jika nanti tidak sesuai, warga maupun pengelola wisma, bisa membuka usaha kembali seperti semula. “Ini jelas pembodohan. Sebab, kompensasi yang nilai kurang dari Rp10 juta hingga kini belum ada,” paparnya.
Baca Juga: Bantu Promosikan Produk, Cak Ji Ajak Influencer Keliling Sejumlah Sentra UMKM
Ketua Tim Advokasi FPL lokalisasi Dolly, Anis menilai, Peraturan Daerah (Perda) Nomor 7 Tahun 1999, tentang Larangan Menggunakan Bangunan/Tempat untuk Perbuatan Asusila serta Pemikatan untuk Melakukan Perbuatan Asusila, hanya akal-akalan pemkot membunuh perekonomian masyarakat sekitar Dolly. Menurut dia, lokalisasi Dolly sudah ada sejak 1960-an. Sedangkan perda tersebut baru muncul tahun 1999. “Lokalisasi itu lahir karena masalah sosial di masyarakat tak terselesaikan. Harusnya akar persoalan itu yang harus diselesaikan. Jangan serta merta menutup lokalisasinya,” katanya.
Perempuan yang juga aktivis Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Jatim ini menjelaskan, mengacu pada dua lokalisasi yang sudah ditutup, yakni Dupak Bangunsari dan Klakah Rejo, belum ada satupun warga yang menerima kompensasi seperti yang dijanjikan Pemkot Surabaya. Kompensasi yang dijanjikan itu berupa kredit usaha. Pelatihan ketrampilan pada eks penghuni dua lokalisasi tersebut juga gagal. Pasalnya, masih banyak dari mereka yang kembali membuka wisma dan menjadi PSK lagi. “Kami minta gubernur untuk melindungi kami. Kami tidak ingin ada opini negatif yang justru akan mengakibatkan benturan antar warga,” pintanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News