Tujuh Fraksi Setuju Perppu Kebiri jadi UU, IDI Menolak jadi Eksekutor

Tujuh Fraksi Setuju Perppu Kebiri jadi UU, IDI Menolak jadi Eksekutor Yohana Yambise dan Khofifah Indar Parawansa saat hadir di Komisi VIII DPR.

JAKARTA, BANGSAONLINE.com - Tujuh Fraksi DPR menyetujui Peraturan Pemerintah Penganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2016 atas Perubahan Undang-undang 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Persetujuan Perppu yang di dalamnya mengatur tentang itu disampaikan dalam padangan mini-fraksi dengan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yambise dan Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa.

"Konfigurasi ada tujuh yang menyetujui menjadikan Perppu menjadi Undang-undang. Sementara tiga lain tidak menyatakan sikap," kata pimpinan rapat Ali Taher dalam rapat, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (26/7/2016).

Adapun tiga yang tidak menyatakan sikap adalah Partai Demokrat, PKS dan Gerindra.

Anggota Komisi VIII dari Fraksi Gerindra Rahayu Saraswati Dhirakarya mengatakan, pihaknya tidak bersikap soal Perppu lantaran partai tidak mendapat penjelasan secara komprehensif dari pemerintah soal Perppu Perlindungan Anak itu. Apalagi Ditambah isu perlindungan anak adalah isu nasional bukan isu politik.

"Ini perlu dipikirkan dengan matang dan dipersiapkan sebaik-baiknya," ujar Rahayu.

Anggota Fraksi PKS Ledia Hanifah ikut tidak berpendapat soal Perppu . Menurut dia ada aturan yang dilanggar dalam menyetujui Perppu menjadi Undang-undang.

"Kita tidak ingin ada pelanggaran konstitusi dalam rangka pelindungan anak kita. Apa jadinya kita melanggar UU. Bukan berarti kami FPKS tidak berikan dukungan terhadap perlindungan atau pemberatan hukuman. Kita perlu proses matang pembahasan," kata dia.

Fraksi Demokrat juga ikut tidak berpendapat soal Perppu tersebut. Anggota Komisi VIII Khotibul Umam beralasan, pihaknya belum melakukan berkonsultasi dengan pimpinan fraksi.

"Mohon maaf atas ketidaksamaan pandangan. Kami butuh waktu untuk berkonsultasi dengan pimpinan fraksi," kata dia.

Tujuh fraksi mendukung Perppu yang dikenal dengan Perppu Kebiri itu menjadi undang-undang dengan berbagai alasan. Salahsatunya untuk mendorong agar ada konsistensi penegakan hukum serta menjamin sanksi yang tegas dan memberi efek jera kepada pelaku kekerasan anak.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yambise menyambut baik dengan disetujuinya Perppu menjadi undang-undang.

"Kami apresiasi semua fraksi. Mereka mayoritas setuju Perppu dibawa ke paripurna berikutnya. Kalau sudah disetujui dan diangkat sebagai undang-undang berarti siapapun tetap harus tunduk di bawah hukum," kata Yohanna.

Menteri Khofifah menuturkan sepuluh fraksi di DPR telah setuju untuk mengundangkan perpu ini. Dengan rincian, empat fraksi setuju meneruskannya menjadi undang-undang serta lima fraksi ingin ada catatan soal mekanisme dan pemasangan chip. Sedangkan satu fraksi setuju tanpa catatan.

Di sisi lain, Wakil Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Daeng Mohammad Faqih meminta pemerintah menunjuk petugas eksekutor hukuman untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak atau perppu .

Hingga kini IDI masih menolak untuk menjadi eksekutor hukuman tersebut, karena terbentur oleh kode etik kedokteran. Menurut dia, para petugas eksekutor yang ditunjuk pun dapat dilatih untuk melaksanakan hukuman .

"Inikan hukuman, dokter secara etika tidak boleh menghukum, dokter bertugas mengobati. Jadi kalau sebagai eksekutor bukan pekerjaan dokter bertentangan dengan etika dokter. Silakan pemerintah menunjuk petugas eksekutor. Dokter itu profesi. Tunjuklah petugas eksekutor, tidak usah dibenturkan," jelas Daeng Faqih.

Daeng Faqih mengatakan, peraturan dan hukum yang baik tidak boleh bertentangan dengan norma, termasuk norma profesi. Menurut dia, dokter memiliki etika dalam menjalankan tugasnya dan memberikan pelayanan medis. Ia menyebut hukuman bukanlah termasuk pelayanan medis yang harus diberikan oleh dokter. Bahkan, menurut dia, hukuman ini melanggar undang-undang praktek kedokteran.

Sementara Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM Widodo Akatjahjana mengatakan, siapa eksekutor hukuman masih disipkan. Namun, pihaknya mengingatkan pengurus IDI tidak mempertentangkan antara konstitusi dengan kode etik dokter.

Ini disampaikan Eko menanggapi belum jelasnya siapa pihak yang akan mengeksekusi hukuman .

"Ini masih dipersiapkan. Nanti kami lihat. Kalau sakit kan di rumah sakit bisa perawatnya yang nyuntik. Negara kita ini kan basisnya konstitusi, bukan kode etik. Konstitusi yang tertinggi bukan kode etik. Jadi jangan dipertentangkan, nanti kedaulatan hukum kita yang terlihat cidera," kata Eko. (jpnn/yah/lan)

Sumber: jpnn.com

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO