JAKARTA, BANGSAONLINE.com - DPR kembali menunda pengesahan RUU tentang penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi UU. Keputusan ini diambil karena ada fraksi yang menyatakan tidak setuju RUU tersebut diteken.
Dua fraksi yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Amanat Nasional (PAN). Anggota Fraksi PAN, Ammy Amalia Fatma Surya meminta pengesahan RUU ini ditunda karena masih menuai pro kontra. Penundaan diperlukan untuk memastikan tidak terjadi kesalahan prosedur dalam penerapan UU ini.
Baca Juga: Biadab! Bapak di Jombang Setubuhi Dua Anak Kandungnya Sekaligus, Pelaku Terancam Hukuman Kebiri
"Mengenai pembahasan penetapan Perppu 1/2016 untuk menjadi UU memang masih menimbulkan pro kontra. Terutama perlindungan anak nanti kami menginginkan bahwa setelah UU ini ditetapkan tidak terjadi miss procedure," kata Ammy di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (23/8).
Pada kesempatan yang sama, Anggota dari Fraksi PKS Ledia Hanifa menilai, ada sejumlah prosedur yang dilanggar dalam penyusunan RUU ini. Salah satunya, soal urgensi dibuatnya aturan ini dan pengajuannya ke DPR.
"Ada sebuah prosedur yang dilanggar yakni UU tentang peraturan pembuatan peraturan perundang-undangan. Soal kegentingan penerbitan Perppu, dan soal pengajuan Perppu," tegasnya.
Baca Juga: Ning Lia Dukung Pemberlakuan Hukuman Kebiri Kimia bagi Pelaku Kejahatan Seksual di Jatim
Dengan penolakan dua fraksi itu, Ketua sidang, Taufik Kurniawan mempersilakan semua fraksi untuk mengikuti proses lobi. Hasilnya, keputusan Perppu ditunda dan agendakan di Paripurna yang akan datang.
Di sisi lain, Ahli tata negara Universitas Indonesia, Hamid Chalid berpendapat, pemerintah secara diam-diam telah melegalkan zina di luar pernikahan, perkosaan kepada laki-laki, dan juga percabulan sesama jenis antar orang dewasa maupun antar anak-anak.
Undang-Undang yang ada tidak mengatur secara tegas hukuman bagi mereka yang melakukan tindakan-tindakan tersebut. Padahal, masyarakat sendiri menganggapnya sebagai sesuatu yang tabu.
Baca Juga: Kejari Bangkalan: PP Kebiri Pelaku Kekerasan Seksual Tidak Bisa Diterapkan Pada Perkara Lama
"Artinya undang-undang kita telah demikian liberal sebetulnya dan kita biarkan selama ini. Apakah itu yang sesungguhnya kita kehendaki?" kata Hamid saat menjadi saksi ahli di Gedung Mahkamah Konstitusi, Selasa (23/8).
Pernyataan Hamid bukan tanpa alasan. Hamid melihat penafsiran a contrario dari bunyi Pasal 284 KUHP yang hanya melarang zina ketika salah satu pihak atau keduanya sudah terikat pernikahan. "Ini artinya kalau kita tafsirkan secara a contrario, maka zina jika dilakukan tidak dalam ikatan pernikahan, maka dia menjadi legal," kata Hamid.
Begitupun dengan Pasal 285 KUHP yang melarang perkosaan kepada wanita. Maka, secara a contrario perkosaan terhadap laki-laki, tidak peduli dilakukan oleh laki-laki juga atau oleh perempuan, atau dikeroyok rame-rame adalah legal.
Baca Juga: DPR Setujui Perpu Kebiri Jadi UU: IDI belum Beri Tanggapan, PKS dan Gerindra Menolak
Kemudian Pasal 292 yang melarang tindakan cabul sesama jenis antara orang dewasa kepada anak-anak. Pasal tersebut sesuai penafsiran a contrarionya, perbuatan cabul sesama jenis antar orang dewasa, termasuk perbuatan yang legal.
"Perbuatan cabul sesama jenis antar anak-anak juga legal. Artinya perbuatan yang boleh dilakukan," kata Hamid. (rol/mer/kcm/lan)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News