Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie MAg. . .
BANGSAONLINE.com - Walaw syaa-a allaahu laja’alakum ummatan waahidatan walaakin yudhillu man yasyaau wayahdii man yasyaau walatus-alunna ‘ammaa kuntum ta’maluuna (93). Walaa tattakhidzuu aymaanakum dakhalan baynakum fatazilla qadamun ba’da tsubuutihaa watadzuuquu alssuu-a bimaa shadadtum ‘an sabiili allaahi walakum ‘adzaabun ‘azhiimun (94).
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
Tiga ayat studi terakhir ini (92, 93 dan 94), pesannya unik, termasuk susunan dan urutannya. Pada ayat 92, dikedepankan soal larangan bersumpah demi meraih suara terbanyak. Lalu diselingi soal hidayah yang merupakan otorita Tuhan pada ayat 93. Tidak hanya itu, Tuhan juga mengancam akan membongkar semua kebusukan dan memberikan balasan. Kemudian kembali lagi melarang bersumpah-sumpah demi menarik simpati publik pada ayat 94.
Pesan globalnya begini, bahwa nafsu politik seseorang menjadi pemimpin itu sangat besar hingga tega berbuat apa saja, termasuk bersumpah-sumpah di hadapan publik meski dirinya sadar bahwa apa yang disumpahkan, apa yang dijanjikan itu susah diwujudkan. Begitulah godaan pangkat, sungguh sangat kuat dan memabukkan, jauh melebihi pengaruh narkoba.
Seseorang yang teler karena narkoba atau minuman keras, paling membahayakan diri sendiri saja, kadang mengganggu orang lain, tapi tidak sampai merusak negara. Tapi kalau orang mabuk pangkat, bisa korup besar-besaran dan merusak negara. Untuk itu, dicelah-celah dua ayat larangan bersumpah menarik simpati tadi diselingi ayat hidayah yang ada di tangan Tuhan, agar seseorang segera mendekat kepada-Nya dan mengunduh hidayah dari-Nya. Itulah satu-satunya jalan penyelamat. Jika itu yang dilakukan, maka selamatlah dia dari pengkhianatan terhadap amanat kepemimpinan.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
Ada perbedaan gaya pesan pada dua ayat bermiripan tersebut. Pada ayat 92, disinggung soal sumpah politik demi mendapatkan simpati dari kelompok yang lebih besar, demi mendapatkan suara lebih banyak.
"Tattakhidzuna aimanakum dakhala bainakum an takun ummah hiy arba min ummah". Kalimat serupa diulang lagi pada ayat studi ini (94) dengan bubuhan kata larangan yang tegas "La" (jangan). "wa la tattakhidzu aimanakum dakhala bainakum" tapi tidak berorientasi pada tujuan menarik simpati, melainkan menunjuk akibat buruk yang timbul dari sumpah dan janji politik tersebut. Ada tiga, yakni:
Pertama, tergelincir, "fatazill qadam ba'd tsubutiha". Dipakai istilah tergelincir (zalla) sebagai kiasan, bahwa orang yang mengumbar janji politik berpotensi tergelincir dan keluar dari jalur yang benar. Seperti kaki yang tergelincir saat berjalan, pasti keluar dari alur yang benar, menjadi terjatuh atau keseleo. Pastinya, pemimpin tersebut tidak akan bertindak lurus dalam mengemban amanat kekeuasaan. Pasti ada curang, pasti berkhianat, entah seberapa.
Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana
Umat sekian banyak dan terbuka saja lan-lanan dibohongi, di depan publik saja tega berbuat khianat, belum berkuasa saja sudah berani menipu, apalagi saat sudah berkuasa dan bisa berlaku leluasa. Soal ketangkap KPK atau tidak, itu soal lain. Itu soal nasib, di samping soal kelihaian menutupi aib. Toh orang-orang di KPK, di pengadilan, di kejaksaan juga manusia.
Kedua, menuai keburukan. Sebagai akibat dari ketidakjujuran yang dia lakukan, pemimpin itu akan menanggung akibatnya. "watadzuq al-su' bima shadadtum 'an sabilillah".
Bahwa tidak ada kejahatan yang sempurna, pasti meninggalkan jejak. Bahwa, sepandai-pandai tupai melompat, pasti gagal juga. Sepandai-pandai membungkus bangkai, tetap saja akan tercium bau busuknya.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok
Bisa jadi tidak ketangkap KPK dan tidak pula dipenjara, tapi bisa dipastikan hidupnya tidak akan tenang dan terus dihantui kegelisahan, selalu waswas dan terus-menerus dalam kepura-puraan.
Meskipun dipublis dengan kegiatan agama dan gebyar al-qur'an, tetap saja tidak bisa menutupi hakekat persoalan. Meskipun sudah tampil ramah, menyapa dan memanis-maniskan diri, tetap saja kecut rasanya di hati umat. Rasan-rasan publik tetap ada dan tidak bisa hilang begitu saja sebelum Tuhan menuntaskan. Keburukan (al-su'), entah apa bentuknya pasti ditimpakan kepadanya. Itu sudah menjadi keputusan Tuhan.
Ketiga, disiksa pedih di akhirat nanti. "wa lakum adzab 'adhim". Siksaan tersebut mutlak adanya dan sudah tidak perlu lagi dikomentari. Pasti terjadi, tidak ada yang bisa menolong dan volumenya tiada terhingga. Akhirat adalah pembalasan pamungkas. Andai seseorang bisa lolos dari hukuman dunia karena Tuhan menghendak begitu, tapi itu tidak berarti baik.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata
Sangat mungkin Tuhan tega dan nanti akan mengakumulasikan kepedihan hukuman. Hukuman di dunia digabung dengan hukuman akhirat. Nambah soro.
Tuhan bebas melakukan apa yang Dia mau. Tuhan tidak bisa diminta bertanggungjawab atas apa yang Dia lakukan, justru dia meminta kita mempertanggungjawabkan apa yang kita lakukan. La yus'al 'an ma yaf'al wa hum yus'alun" (al-anbiya':23).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News