Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie MAg. . .
BANGSAONLINE.com - Walaa tasytaruu bi’ahdi allaahi tsamanan qaliilan innamaa ‘inda allaahi huwa khayrun lakum in kuntum ta’lamuuna (95). Maa ‘indakum yanfadu wamaa ‘inda allaahi baaqin walanajziyanna alladziina shabaruu ajrahum bi-ahsani maa kaanuu ya’maluuna (96).
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
Ayat kaji ini berada setelah ayat nafsu politik yang menggelora dan membuta, sehingga tega bersumpah serapah, meski nantinya diingkari. Kemudian dijelaskan agar tidak menukar janji Allah ('ahd Allah) dengan kepentingan dunia yang murah dan sedikit (tsamana qalila).
Tsamana qalila selalu dipakai sebagai sifat untuk keseluruhan materi di dunia ini. Jadi, seluruh isi dan kekayaan di dunia ini, bagi Allah adalah tidak berharga atau harga super murah. Artinya, satu ayat Allah, satu janji ketuhanan jauh lebih berharga dibanding dengan dunia ini seisinya.
Untuk itu, terma "tsmana qalila" tidak bisa direka atau diplesetkan, dengan mengatakan, "bahwa ayat ini melarang menukar firman Allah dengan harga murah, tapi kalau dengan harga mahal boleh." Omongan ini pasti plesetan dan tidak ada kenyataannya. Artinya, sehebat apapun materi di dunia sungguh tidak ada apa-apanya dibanding kebaikan di akhirat. Hal itu karena kurikulum dunia benar-benar tidak sama dengan kurikulum akhirat.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
Shalat - misalnya -, apa nilainya untuk ukuran dunia. Justru malah merugikan. Lebih baik tetap bekerja karena pasti mendapat uang. Jika ditinggal shalat, apalagi wiridannya lama, maka mengurangi waktu bekerja yang otomatis mengurangi pendapatan. Begitu matematisnya. Tapi tidak demikian kenyataannya. Tuhan sering kali menunjukkan kurikulum berbeda. Orang yang menghabiskan jam kerja lebih banyak tidak mesti lebih kaya ketimbang yang sedikit.
Banyak orang yang ahli ibadah dengan jam kerja santai, tapi ternyata rejekinya berlimpah. Itu baru di dunia, belum di akhirat nanti, di mana dunia sudah lewat dan tidak diperhitungkan lagi. Di akhirat, Tuhan hanya menggunakan silabi akhirat. Singkatnya, saat di dunia, kurikulum akhirat dan keajaiban Tuhan sering muncul dan terjadi, tapi saat di akhirat semua keduniawian tiada sama sekali. Yang ada hanyalah pembalasan, hanyalah pengadilan dan kebijakan Tuhan.
Semua yang ada terkait dengan hal milik di dunia pasti lenyap dan tiada (ma 'indakum yanfadz), dan apa yang ada di tangan Tuhan, itulah yang kekal (wa ma 'ind Allah baq). Penggalan ayat ini (96) adalah masalah harta dan pembelanjaannya. Harta yang ditumpuk menjadi aset, dinikmati untuk foya-foya, dipakai kesenangan dan memburu nafsu, dikeluarkan untuk beaya kampanye besar-besaran pastilah habis dan sirna. Ya hanya di situ saja operasionalnya, di periode kekuasaan saja, jika menang. Maksimal hanya di dunia dan tidak bisa tembus ke akhirat.
Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana
Tapi harta yang disimpan dan dibelanjakan untuk Tuhan, untuk agama-Nya, disedekahkan dan diamal sosialkan, maka Tuhan merasa dipasrahi sehingga bertanggungjawab dan memeliharanya. Tidak sekedar menjaga hingga di akhirat, sering kali saat masih di dunia diganti, bahkan lebih banyak ketimbang yang disedekahkan, sementara di akhirat tetap utuh bahkan dilipat gandakan, terserah apa maunya Tuhan.
Itulah sebabnya, maka tidak ada ceritanya orang yang gemar bersedekah, berlebih dalam mengeluarkan zakat jatuh miskim dan bangkrut. Justru sebaliknya. Ingin kaya, bersedekahlah. Sedekah (berjujur dalam harta), zakat (membersihkan saluran harta) bagaikan membersihkan sumbatan-sumbatan pada saluran air.
Petani yang ingin sawah mendapat aliran air lebih banyak, maka dia harus rajin membersihkan sumbatan-sumbatan yang bisa menghambat jalannya air. Saluran yang makin bersih dan lempang, maka makin deras aliran airnya. Seperti itulah sedekah dan zakat terkait dengan aliran rejeki. Makin dizakati, makin gerojok jalannya rejeki. Itu baru di duinia.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok
Jadi, zakat yang bisa saja manusia memandangnya sebagai merugikan menurut matematika dunia, ternyata sangat menguntugkan di akhirat. Shalat juga punya langgam serupa. Shalat yang dulu tidak berarti apa-apa bahkan dianggap membuang-buang waktu, ternyata sangat berharga di akhirat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News