JAKARTA, BANGSAONLINE.com - Anggota Front Pembela Islam, Novel Chaidir Hasan atau Novel Bamukmin, kembali mendatangi Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI di Gambir, Jakarta Pusat, Rabu, 14 Desember 2016. Dia sebelumnya melaporkan calon Gubernur DKI Jakarta inkumben, Basuki Tjahaja Purnama, atas dugaan penodaan agama pada Oktober 2016.
Datang ditemani anggota Advokat Cinta Tanah Air (ACTA), Novel kembali melaporkan Ahok atas dugaan penistaan agama. Dalam surat tanda bukti lapor bernomor TBL/881/XII/2016/BARESKRIM itu, Novel menuntut Ahok dengan Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Baca Juga: Laknatullah! Mushaf Alquran Dibakar di Swedia
Novel melaporkan Ahok karena dalam nota keberatan yang dibacakan Ahok dalam sidang perdana kasus penistaan agama di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Selasa, 13 Desember 2016, terdapat kalimat yang dianggap menistakan agama.
Wakil Ketua ACTA Dahlan Pido mengatakan bagian dalam eksepsi Ahok yang dilaporkan adalah "Ayat yang sama yang saya begitu kenal digunakan untuk memecah belah rakyat" dan "Dari oknum elite yang berlindung di balik ayat suci agama Islam, mereka menggunakan surat Al-Maidah ayat 51".
Menurut Dahlan, barang bukti yang mereka bawa adalah flashdisk berisi rekaman eksepsi yang dibacakan Ahok dan buku karangan Ahok berjudul Berlindung di Balik Ayat Suci dalam bentuk e-book.
Baca Juga: Mengenal Sosok Inoenk, Ketua Majelis Hakim 'Bonek' yang Memvonis Ahok 2 Tahun Penjara
"Ahok membuat pemahaman bahwa Surat Al-Maidah ayat 51 ini bisa digunakan untuk suatu hal yang sangat negatif, yaitu memecah belah rakyat. Kami dari ACTA sangat tersinggung dengan ucapan Ahok terhadap Al-Quran, kitab suci umat Islam," ujar Dahlan dikutip dari Tempo.co.
Novel menganggap perbuatan Ahok menistakan agama Islam sudah berulang-ulang terjadi. "Ini juga membuktikan Ahok harus ditahan karena apa yang diucapkannya menistakan agama lagi," tuturnya. "Dia menyampaikan nota pembelaan yang lagi-lagi Islam diserang, Al-Maidah diserang."
Menurut dia, banyak poin yang bisa disampaikan Ahok dalam eksepsinya tanpa harus membawa ayat. "Seharusnya nota pembelaan disampaikan dengan argumentasi lain, jangan membawa-bawa ayat," tuturnya.
Baca Juga: Sudah Siapkan Amunisi, JPU yakin Bisa Buktikan Ahok Lakukan Penodaan Agama
Sebelumnya, Politisi muda Partai Golkar, Ahmad Doli Kurnia, setuju jika Ketua Advokat Cinta Tanah Air (ACTA), Habiburokhman hendak melaporkan kembali terdakwa kasus penistaan agama, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
"Saya setuju saja. Bila memang ada pernyataan bohong, mengundang permusuhan, atau bahkan kembali menista Alqur'an, tentu bisa saja dilaporkan lagi," tegas Doli seperti dilansir RMOL.
Terlebih, menurut Doli, setidaknya ada tiga pernyataan yang menjadi kontroversi baru dalam nota keberatan Ahok itu. Pertama, dinyatakan bahwa persidangan kasus Ahok itu ada karena tekanan massa GNPF-MUI.
Baca Juga: Kiai Miftah Sebut Ahok Tak Pantas Kutip Alquran, Kuasa Hukum: Al-Maidah Masalah Politik
"Pernyataan ini adalah fitnah besar bagi ummat Islam sekaligus merendahkan dan menjatuhkan wibawa hukum dan peradilan Indonesia," ketusnya.
Kedua, tambahnya, pernyataan adanya politisi busuk yang terlibat dalam kasus yang tengah menimpanya.
"Pernyataan ini sekali lagi menggambarkan dengan jelas bagaimana karakter Ahok yang selalu mencari kesalahan atau mengkambing hitamkan orang lain. Pernyataan tersebut juga menunjukkan bahwa Ahok sama sekali merasa tidak bersalah dan out of context," sesalnya.
Baca Juga: BIN, Polri, dan Menkominfo Kompak Nyatakan tidak Ada Penyadapan
Padahal menurut Doli, sudah nyata bahwa pribadi Ahok lah yang menistakan Al-Qur'an dan tidak ada kaitannya dengan orang lain, politik, Pilkada, apalagi politisi.
Ketiga, lanjut Doli, pernyataan bahwa Al-Qur'an memecah belah rakyat. Pernyataan ini menegaskan bahwa apa yang ada di back-mind dan isi kepala Ahok adalah kebencian terhadap Islam. Ahok memurutnya sudah berkali-kali tidak bisa menyembunyikan kebenciannya itu dengan selalu mengeluarkan secara spontan berbagai pernyataan yang bentuknya merupakan permusuhannya terhadap Islam.
"Al-Qur'an selalu dijadikan kambing hitam dalam upaya memuluskan ambisi politiknya. Jadi, bila dilihat dari isi tanggapannya itu, sama sekali tidak relevan bahkan kontras dengan "drama tangisan" yang dibuatnya di depan persidangan. Air mata yang keluar itu sama persis air mata buaya yang keluar saat menelan mangsanya," ungkapnya.
Baca Juga: Sikapi Pernyataan Ahok, Ansor Blitar Siap Kirim Pasukan ke Jakarta
Sebelumnya, Tim pengacara Ahok membacakan nota keberatan (eksepsi) atas dakwaan tersebut. Mereka bahkan memberi judul eksepsinya.
"Nota keberatan kami beri judul pengadilan oleh massa, trial by the mob," ujar salah satu pengacara Ahok, Trimoelja D Soerjadi.
Trimoelja menuturkan, proses hukum yang dijalani Ahok terjadi karena adanya desakan massa. Sejak video pidato Ahok di Kepulauan Seribu di-edit oleh Buni Yani, banyak protes yang berkembang hingga berujung aksi pada 14 Oktober, 4 November, dan 2 Desember 2016.
Baca Juga: Telepon Disadap, SBY Merasa Harga Dirinya Diinjak-injak, Ini Kata Politisi PDIP
Padahal, sebelum video itu diedit dan baru diunggah Dinas Komunikasi dan Informasi (Diskominfo) DKI Jakarta, kata Trimoelja, tidak ada satu orang pun yang protes, marah atau tersinggung, termasuk yang mendengarkan langsung pidato tersebut.
"Untuk kepentingan eksepsi ini, marilah kita sebut aksi-aksi ini sebagai tekanan massa. Rakyat Indonesia telah menjadi saksi adanya tekanan massa yang memenuhi jalan-jalan protokol Ibu Kota pada tanggal-tanggal tersebut yang mengakibatkan timbulnya proses hukum yang amat cepat kepada Ahok," ucapnya.
Tim pengacara Ahok menilai tekanan massa begitu hebat hingga membuat Kapolri Jenderal Tito Karnavian secara terbuka menyatakan pihaknya tidak mengikuti telegram rahasia tentang penundaan kasus hukum untuk calon pada Pilkada.
Baca Juga: GP Ansor Situbondo Kecam Sikap Kasar Ahok Terhadap Kiai Ma'ruf Amin
Seharusnya, proses hukum yang melibatkan peserta Pilkada ditunda hingga Pilkada selesai agar polisi tidak dijadikan alat kepentingan politik. Namun, proses hukum Ahok nyatanya tetap berjalan meskipun kini dia terdaftar sebagai calon gubernur DKI Jakarta.
Di sisi lain, Presiden Joko Widodo diminta memberhentikan sementara Gubernur non-aktif Basuki Tjahaja Purnama setelah statusnya menjadi terdakwa.
Pengamat guru besar hukum tata negara Universitas Padjajaran (Unpad) Romli Atmasasmita menekankan, status Ahok berubah menjadi terdakwa berdasarkan Pasal 83 jo Pasal 84 UU Pemda maka harus diberhentikan sementara dari jabatan gubernur.
"Beda dengan UU Pilkada bahwa Ahok harus cuti karena calon gubernur," tegas Romli Atmasasmita melalui akunnya di twitter @rajasundawiwaha.
Seperti diketahui, pada Selasa (13/12), Ahok menjalani sidang perdana perkara dugaan penodaan agama di gedung sementara Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat.
Dalam dakwaannya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menjerat Ahok dengan Pasal 156 dan 156a KUHP dengan ancaman hukuman maksimal lima tahun penjara.
Sedangkan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Juri Ardiantoro memastikan terdakwa kasus penodaan agama, Ahok masih memenuhi syarat sebagai Calon Gubernur DKI Jakarta.
Menurutnya, sepanjang vonis pengadilan belum inkracht, dan status Ahok belum menjadi terpidana, maka calon petahana itu masih memiliki hak untuk mengikuti Pilkada.
"Saya luruskan, jadi seorang calon kepala daerah kalau belum terpidana boleh ikut rangkaian pilkada. Faktanya (Ahok) belum inkracht," kata Juri di Hotel Aryaduta, Jakarta, Rabu (14/12).
Ia menjelaskan, calon kepala daerah baru akan diberhentikan ketika calon tersebut sudah divonis bersalah. Dengan begitu, lanjut Juri, Ahok masih memiliki hak sepenuhnya untuk mengikuti Pilkada.(rmol/mer/tmp/lan)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News