JAKARTA, BANGSAONLINE.com - Memasuki tahun baru, PT Pertamina (Persero) langsung menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) mulai 5 Januari 2017. Revisi harga berlaku untuk jenis BBM non-subsidi dengan angka kenaikan sebesar Rp 300.
BBM non-subsidi yang dimaksud adalah Pertalite, Pertamax, Pertamax Turbo, Dexlite, dan Pertamax DEX. Adapun untuk jenis BBM Premium dan Bio Solar tetap dengan harga yang sama.
Baca Juga: Waspadalah! Begini Cara Cek Apakah Listrik Dicuri Tetangga Tanpa Panggil Petugas PLN
Area Manager Communication and Relation PT Pertamina Region Jawa bagian Barat Yudi Nugraha mengatakan bahwa perubahan harga yang dilakukan mengikuti kenaikan harga minyak dunia.
"Untuk harga BBM non-subsidi memang patokannya dari harga minyak dunia. Kita selalu evaluasi per dua minggu sekali," ucap Yudi dilansir Kompas Otomotif, Kamis (5/1).
Sementara Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menyayangkan sikap pemerinatah yang terus membebani rakyat dalam mengatasi kebangkrutan negara.
Baca Juga: Siap-siap! Polri Bakal Pasang Chip di STNK dan BPKB Elektronik
Tercatat, selain BBM, di awal 2017 pemerintah juga menaikkan tarif dasar listrik (TDL) juga naik mulai bulan ini. Selain itu, menaikkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) kendaraan bermotor seperti STNK, SIM dan BPKB.
Sekjen FITRA, Yenny Sucipto, menyayangkan kebijakan pemerintah itu. Dia menilai, hal itu menjadi kado pahit di awal tahun 2017.
"Ini kado terindah buat kita dari pemerintah setelah tax amnesty (pengampunan pajak)," ujar Yenny Sucipto dalam pemaparannya di kantor FITRA, Jakarta Selatan seperti dilansir Tribunnews, Kamis (5/1).
Baca Juga: Aturan Pemblokiran Data Kendaraan yang Telat Bayar Pajak 2 Tahun, Samsat Surabaya: Belum Diterapkan
Kebijakan pemerintah untuk menaikkan PBNP kendaraan bermotor adalah konsekuensi dari rencana pemerintah mendorong sektor infrastruktur sementara keuangan negara belum cukup kuat mendanainya.
Namun dengan membebani masyarakat melalui kebijakan yang memberatkan itu, Yenny Sucipto, menyayangkan hal tersebut.
"Tidak ada keberpihakan terhadap masyarakat, dalam hal ini melakukan eksploitasi penerimaan," ujarnya.
Baca Juga: Balik Nama Kendaraan Bermotor Bakal Gratis? Inilah Biaya-Biaya Tak Jelas yang Membebani
Padahal kalau masalahnya adalah kekurangan uang, pemerintah memiliki segudang alternatif lain.
Salah satu contohnya adalah memperbaiki PNBP kendaraan bermotor, sehingga tidak ada lagi kekurangan sampai Rp 270.530.855.000 seperti yang terjadi tahun lalu.
Uang tersebut, kata dia, bukannya dikorupsi tapi mengendap terlalu lama di lembaga yang berwenang.
Baca Juga: Pertamina Pastikan Stok BBM di Malang Raya Aman Jelang Ramadhan hingga Idul Fitri
Kalaupun masih dirasa kurang, Yenny Sucipto menyebut sektor lain yang bisa digarap untuk menambal kekuarangan uang negara adalah sektor Sumber Daya Alam (SDA) termasuk sektor kehutanan yang selama ini terbukti masih kurang efektif penanganannya.
Selain itu terhadap semua kebijakan, terutama kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak seperti kebijakan pemerintah untuk menaikkan PNBP kendaraan bermotor, seharusnya didahului oleh kajian akademis dan uji publik.
Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2016 tentang Jenis dan tarif atas PNBP, yang berlaku pada Kepolisian Negara Republik Indonesia pada tanggal 6 Desember 2016. Yenny Sucipto menilai masih ada waktu bagi Presiden Joko Widodo untuk menggagalkannya.
Baca Juga: Mengenal Aplikasi Signal, Perpanjangan STNK Secara Digital
Di sisi lain, Anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) DPR RI, Eva Kusuma Sundari menilai, kenaikan BBM dan biaya-biaya lain seperti pengurusan pajak kendaraan, adalah kebijakan yang kurang taktis. Kebijakan itu juga menunjukkan pemerintah kurang peka terhadap kesulitan rakyat.
"Ada baiknya (kenaikan tarif pengurusan) STNK (Surat Tanda Nomor Kendaraan) dibatalkan, karena dampaknya memberatkan rakyat dan tidak produktif. Apalagi ternyata BBM juga naik," kata Eva dilansir VIVA.co.id kemarin.
Menurut anggota Komisi XI DPR itu, kebijakan instan seperti menaikkan tarif atau harga itu memperlihatkan permasalahan koordinasi pemerintah. Dia juga menyoroti peran Kementerian Keuangan. "Menkeu harus jadi poros, simpul. Supaya semua dampak bisa diketahui," ujarnya menambahkan.
Baca Juga: Kabar Gembira! Harga Pertamax Turun Hari Ini
Kenaikan harga BBM, kata Eva, bisa langsung berdampak pada penurunan daya beli masyarakat. Apalagi kenaikan itu berefek domino terhadap harga-harga kebutuhan pokok.
"Kalau dampak BBM pasti langsung ke daya beli, karena kebutuhan rutin. Belum lagi memicu kenaikan harga-harga lain. Pedagang dan produsen mengalihkan kenaikan BBM ke konsumen," katanya.
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR juga menyatakan keberatan dan meminta pemerintah mengevaluasi kembali kenaikan itu. PKS menganggap, pemerintah tidak bijak jika menambah beban ekonomi rakyat dengan menaikkan harga BBM. Apalagi juga ada kenaikan biaya-biaya lain.
Baca Juga: Si Tahu Satlantas Polres Kediri Kota Siap Antar STNK ke Warga
"Fraksi PKS menilai dari berbagai indikator ekonomi dan kesejahteraan, rakyat masih sulit secara ekonomi, angka pengangguran masih tinggi, sementara daya beli masyarakat masih rendah," kata Ketua Fraksi PKS, Jazuli Juwaini.
Sementara Wakil Ketua DPR RI, Agus Hermanto meminta pemerintah meninjau ulang rencana kenaikan harga tarif dasar listrik, STNK, BPKB dan BBM.
"Menurut saya pemerintah harus memikirkan lebih panjang lagi karena masyakat mengalami beban ekonomi yang cukup berat. Cabai rawit saja sampai Rp 100 ribu. Ini menunjukkan nilai keekonomian yang lemah, daya beli masyarakat ekonomi menengah ke bawah mengalami penurunan," kata Agus.
Menurutnya, pemerintah seharusnya sebelum membuat rencana yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak, harus memahami nuansa kebatinan rakyat, utamanya masyarakat menengah ke bawah.
"Ya dan kemampuan dan daya beli masyarakat menengah kebawah ini harus ditingkatkan terlebih dulu, selanjutnya kebijakan-kebijakan ekonomi akan bisa disesuaikan," kata politisi Partai Demokrat itu.
Kalau sekarang masyarakat menengah ke bawah tidak punya kemampuan untuk mengkonsumsi produk dan jasa dalam negeri, akibatnya nilai ekonominya menjadi turun.
"Akan terjadi kesusahan dan kesulitan makin tinggi. Dan perusahaan dan juga pabrik-pabrik di Indonesia akan mengalami kesulitan dalam memasarkan karena memang masyarakat tidak mampu mengkonsumsi produk dalam negeri, lama-kelamaan perusahaan akan mengalami kebangkrutan, kalau bangkrut akan ada PHK dan memperkeruh keadaan," ujar Agus Hermanto.
Sebenarnya, kata Agus, pemerintah bisa mencari solusi dalam mendapatkan pemasukan uang negara. Misalnya, progam tax amnesty yang berjalan baik mampu menanggulangi keuangan negara tanpa harus membuat kebijakan yang menyengsarakan rakyat.
"Kita ketahui program tax amnesty cukup berhasil, dari program itu pemerintah punya kemampuan finansial yang cukup menanggulangi permasalahan-permasalahan dan perkuat daya beli masyarakat dan juga untuk mempetinggi daya beli masyarakat, dan itu tentunya bisa menyesuaiakan," kata Agus. (Kompas.com/Viva.co.id/Tribunnews.com)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News