TIDAKLAH berlebihan jika pujian disematkan terhadap Masjid Agung Sunan Ampel (MASA) Surabaya dalam perjuangannya mendirikan sebuah lembaga pendidikan. Berbagai penolakan serta janji-janji yang tidak kunjung nyata mewarnai proses berdirinya lembaga pendidikan yang berada di lingkungan Masjid Agung Sunan Ampel Surabaya ini.
Sejak orde baru berkuasa hingga datangnya masa reformasi yang disebut-sebut sebagai era kebebasan dari belenggu orde baru pun masih belum bisa menemukan titik terang terkait pendirian sekolah di Masjid Ampel ini.
Baca Juga: UHT Surabaya Wisuda Pertama Program Diploma 4 dan Strata 3
“Setelah puluhan tahun LPBA MASA eksis dan berhasil mencetak para alumni yang sukses dalam berbagai bidang, terutama bidang pengajaran bahasa arab dan dakwah serta dorongan dari para ulama, umara dan para pecinta Sunan Ampel maka pada tahun 2017 resmi berdiri Sekolah Tinggi Bahasa Arab dan Dakwah Masjid Agung Sunan Ampel (Stibada MASA) Surabaya,” terang Taufik Rahman, Pengurus Stibada MASA.
Stibada MASA baru saja diresmikan oleh Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin, bersamaan dengan Haul Sunan Ampel ke- 568, Sabtu (13/5) lalu. Pendaftaran untuk menjadi mahasiswa Stibada MASA sudah dibuka mulai awal Mei hingga akhir Juli 2017.
“Hingga saat ini, sudah ada sembilan calon mahasisiwa yang sudah mendaftar. Untuk pemberian gelar sama seperti sekolah tinggi yang lain, mahasiswa-mahasiswi yang lulus Stibada MASA ini juga berhak menyandang gelar sarjana strata 1 (S1),” tutur pria yang juga mengurusi LPBA MASA ini.
Baca Juga: 2.211 Calon Mahasiswa ITS Lolos Jalur SNBT 2024, Masih Tersedia Seleksi Mandiri Kemitraan dan Umum
Berdirinya lembaga pendidikan bahasa arab Masjid Agung Sunan Ampel (MASA) tidak terlepas dari perjuangan Almaghfurlah KH Nawawi Muhammad, Ta’mir Masjid Ampel tahun 1970. Ulama yang akrab disapa Kiai Nawawi itu memiliki cita-cita salah satunya adalah mengembangkan model perjuangan Sunan Ampel bukan dalam bentuk pendidikan informal.
“Selama ini memang pendidikan yang dilakukan di lingkungan Masjid Ampel Denta berupa pengajian-pengajian yang digelar di serambi masjid hingga sekarang. Model pendidikan pesantren yang tidak tertata dengan baik,” ungkapnya.
Ia menuturkan, Kiai Nawawi menginginkan berdirinya semacam institusi atau perguruan tinggi di mana lembaga pendidikan ini benar-benar bisa mengadopsi sebagian dari perjuangan Sunan Ampel. Yakni berupa dalam bentuk dakwah yang terorganisir secara baik melalui dunia pendidikan. Bentuk dakwah Sunan Ampel sebenarnya, bagaimana dakwahnya itu bisa membawa rahmat.
Baca Juga: Pembinaan dan Pengelolaan Potensi Maritim di Wilayah Pesisir pada Masyarakat Nelayan Gisik Cemandi
Kiai Nawawi lalu berfikir bagaimana caranya berdakwah melalui budaya, salah satunya melalui bahasa. Ia lalu memilih bahasa arab karena menurutnya bahasa arab sebagai salah satu alat yang sangat penting untuk memahami sumber-sumber Islam yang sebenarnya. Rintisan untuk mendirikan perguruan tinggi itu dimulai sejak tahun 1983, bersamaan dengan berdirinya LPBA MASA.
“Salah satu tujuan didirikannya pendidikan formal dibawah naungan Masjid Agung Sunan Ampel itu yakni sebagai wujud melestarikan tradisi dan mengembangkan inovasi pendidikan di lingkungan Masjid Agung Sunan Ampel (MASA) Surabaya,” jelasnya.
Menginjak tahun 2014 lalu, ada sinyalemen dari teman-teman yang membantu untuk memperjuangkan ke pusat. Pada tahun 2016 akhirnya turun surat izin operasionalnya.
Baca Juga: ITS Raih Enam Gelar Juara di Kontes Robot Indonesia 2024
“Awalnya diberi nama Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) MASA. Berhubung nama sekolah tinggi berlabel tarbiyah ini sudah banyak, digantilah menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Bahasa Arab dan Dakwah (Stibada) MASA hinga sekarang,” pungkasnya. (ian/lan/bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News