PACITAN, BANGSAONLINE.com - Musibah atau bencana memang tidak bisa diprediksi, namun bukan berarti harus diam dan pasrah. Ada tindakan yang sering disebut sebagai mitigasi, adalah pelunakan atau pencegahan terhadap efek bencana agar tidak menimbulkan banyak korban.
Materi dari mitigasi ini adalah tentang pengetahuan dini terhadap bencana itu sendiri dan pengetahuan terhadap lingkungan sekitar. Sehingga akan bisa dilihat tanda-tanda bencana untuk kemudian mengevakuasi diri.
Baca Juga: Info BMKG: Selasa Dini Hari ini, Trenggalek Diguncang Gempa Magnitudo 5,4
Riset terbaru, yang dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menemukan data dan sumber gempa baru di sejumlah wilayah di Indonesia dengan potensi kekuatan lebih besar dari pada perhitungan sebelumnya. Sebagian sumber gempa itu berpotensi menimbulkan dampak pada kota-kota besar di Indonesia, termasuk Jakarta dan Surabaya. Temuan ini mengubah peta gempa Indonesia sekaligus menuntut perubahan standart bangunan dan tata ruang, serta menajemen mitigasi bencana.
"Gempa besar di Indonesia semakin banyak, di luar ekpekstasi ahli, gempa Aceh 2004, Jogjakarta 2006, Padang 2009, dan gempa Samudera Hindia 2012. Dari riset terbaru, (LIPI) menemukan sejumlah sumber gempa baru yang belum masuk peta gempa," kata Ratna Budiono, Sekretaris BPBD Pacitan, mengutip pernyataan Irwan Meilano, ahli gempa dari Institut Tehnologi Bandung, (ITB), Minggu (3/09).
Di pesisir wilayah selatan, khususnya Pacitan, sangat sering terjadi gempa dengan kekuatan antara 3-4 skala richter (SR), dan terakhir sekitar 5 hari lalu meningkat sampai dengan 5,6 SR. Meski begitu, namun lokasi dan jarak gempa ini cukup jauh. Bahkan masyarakat pun tidak merasakan adanya getaran yang timbul. Hal ini sering disebut dengan gempa diam/senyap.
Baca Juga: Istri Kades di Pacitan Ngaku Dijambret dan Kehilangan Uang Rp14 Juta, Ternyata...
Adanya teori 20 20 20 yang muncul dari hasil penelitian oleh pakar geologi dari Brigham Young University, Profesor Ron Harris pada 2016 silam, merupakan acuan bagi masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir selatan khusunya Kabupaten Pacitan untuk selalu waspada dengan uraian jika tejadi gempa selama 20 detik, ada waktu selama 20 menit untuk segera menyelamatkan diri menuju tempat dengan ketinggian di atas 20 meter.
"Gempa itu seperti siklus, cepat atau lambat pasti terjadi. Terkait waktunya kami tidak tahu, tapi secara teori pola kami mengetahuinya, karena ada teorinya. Ketika kita tahu bahwa daerah kita rawan bencana, maka kita jangan panik, bagi yang ada di pesisir pantai pedoman 20 20 20 bisa diterapkan, dan bagi daerah lain yaitu daerah penyangga, pedoman 20 20 20 bisa digunakan sebagai usaha persiapan tempat evakuasi akhir bagi korban. Pentingya pengetahuan dini bencana sekali lagi adalah kunci pemberdayaan masyarakat desa dengan satlinmasnya adalah wujud dari usaha memitigasi diri dari efek bencana. Jadi jika kita siap maka korban bisa diminamilisir," imbuhnya.
Peran serta aktif masyarakat untuk peduli lingkungan juga akan memengaruhi jumlah risiko korban jika bencana muncul. Tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah. Karena jika bencana datang tiba-tiba, pemerintah daerah dengan satuan kerjanya akan menjadi nomor dua. Nomor satu adalah diri sendiri dan masyarakat. BPBD Pacitan dalam usahanya memitigasi bencana membuka diri untuk masyarakat bisa mengakses langsung pengetahuan dan pendampingan masyarakat terkait dengan kebencanaan.
Baca Juga: Haduh! Sapi Milik Warga Pacitan ‘Nyangkut’ di Atap Rumah
"Silakan kami terbuka, masyarakat yang ingin belajar bersama terkait memahami potensi bencana di lingkungannya, kami siap mendampingi," tandas Ratna. (pct1/yun/rev)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News