Jakarta(bangsaonline)Munculnya gerakan seimpatisan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS, Negara Islam di Irak dan Syria) di Indonesia yang secara brutal membunuh dan membumihanguskan masjid, gereja, dan makam para nabi dan wali di Irak dan Syria, mengingatkan publik kepada gerakan Imam Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.
Dia memberontak , tak mau mengakui pemerintahan Republik
Indonesia yang dipimpin Soekarno
mulai tanggal 7 Agustus 1949. Tepat 65 tahun lalu.
Sejatinya, Kartosoewirjo pernah jadi sahabat karib Soekarno
. Dulu Soekarno
, Muso dan Kartosoewirjo sama-sama ngekos di rumah Tjokroaminoto di Surabaya.
Walau sering saling ejek, Soekarno
cocok berdiskusi dengan Kartosoewirdjo.
Tapi tiga sekawan itu akhirnya memilih ideologi dan jalan yang berbeda. Musso
memimpin pemberontakan PKI Madiun melawan Soekarno
. Sementara Kartosoewirdjo berideologi kanan, berseberangan dengan Soekarno
yang nasionalis.
Dikutip dari buku karya Holk H Dengel, Darul Islam NII dan Kartosoewirjo,
inilah alasan sang Imam tega membunuh Soekarno
.
"Di Indonesia ada RI dan NII. Dengan begitu ada dua presiden. Maka dari
itu, Soekarno
harus dibunuh," kata Kartosoewirdjo saat memberikan perintah pada anak
buahnya.
Seperti terungkap dalam surat tuntutan sidang Kartosoewirjo, upaya pembunuhan
terhadap Bung Karno salah satunya terjadi Juni 1961, di daerah Galunggung. Saat
itu Kartosoewirdjo memerintahkan kepada Mardjuk seorang bawahannya untuk
membunuh Bung Karno.
Perintah sama diberikan kepada Agus Abdullah disertai 11 peluru. Tetapi Agus
Abdullah tidak melaksanakan perintah itu.
Oleh Mardjuk, perintah pembunuhan dilaporkan kepada Taruna dan Budi, dua
sekretaris pribadi Kartosoewirjo. Kepada Mardjuk diberikan gigi Kartosoewirjo
sebagai sejenis surat kuasa.
Pada April 1962 Mardjuk memerintahkan kepada Sanusi, Abudin, Djaja, Napdi, dan
Kamil untuk membunuh Presiden Soekarno
. Pada 14 Mei 1962, pada Hari raya Idul Adha, Sanusi menembakkan pistolnya ke
arah Presiden Soekarno
selagi salat di halaman Istana.
Pengawal Polisi Presiden Mangil Martowidjojo mengisahkan peristiwa Senin pagi
itu. Saat itu, Mangil mengaku sengaja tidak ikut salat. Dia duduk enam langkah
di depan Bung Karno.
Dia bersama Inspektur Polisi Soedio duduk menghadap umat. Sementara tiga anak
buah Amoen Soedarjat, Abdul Karim dan Soesilo, pakai pakaian sipil duduk di
sekeliling Bung Karno. Peristiwa itu cepat sekali.
"Sewaktu umat sedang dalam posisi rukuk, terdengar teriakan keras,
seseorang menyerukan takbir. Dari sudut mata saya, nampak dengan sekelebatan,
tangan kanan seseorang mengacungkan pistol. Saya langsung lari ke depan,
meloncat untuk bisa melindungi Bapak," kisah Mangil.
Refleks, semua pengawal berlarian menubruk Soekarno
. Amoen melindungi Soekarno
dengan tubuhnya.
Dor! Sebutir peluru menembus dadanya. Amoen terjatuh berlumuran darah.
Dor! Pistol menyalak lagi. Kali ini mengenai menyerempet kepala Susilo. Tapi
tanpa menghiraukan luka-lukanya, Susilo menerjang penembak gelap itu. Dua
anggota DKP membantu Susilo menyergap penembak yang belakangan diketahui
bernama Bachrum.
Soekarno bisa diselamatkan, walau dua pengawal presiden dilarikan ke RS.
Dalam sidang, Sanusi Firkat alias Usfik, Kamil alias Harun, Djajapermana alias
Hidajat, Napdi alias Hamdan, Abudin alias Hambali dan Mardjuk bin Ahmad dihukum
mati.
Kartosoewirjo ditangkap tentara Siliwangi saat bersembunyi dalam gubuk di
Gunung Rakutak, Jawa Barat tanggal 4 Juni 1962.
Pengadilan memvonis mati Kartosoewirjo. Soekarno
menolak grasi mantan sahabat yang sudah mencoba berkali-kali membunuhnya.
Imam besar ini menerima takdirnya di depan regu tembak tentara bulan September
tahun yang sama.
Baca Juga: Kunjungi Situs Ndalem Pojok, Risma Teteskan Air Mata
Lalu dimana Kartosoewirjo dieksekusi? Kolonel Purnawirawan
Sani Lupias Abdurrahman memastikan pelaksanaan hukuman mati terhadap pemimpin
Darul Islam/Tentara Islam Indonesia Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di Pulau
Nyamuk, Kepulauan Seribu, Jakarta Utara.
"Ini berdasarkan cerita teman-teman saya sesama perwira di Komando daerah
Militer III Siliwangi," kata Sani saat dihubungi melalui telepon kantornya
di Bandung, Kamis (13/9). Dia mengaku terkejut rahasia lama ini akhirnya
terbongkar juga.
Dia berani bersumpah Pulau Nyamuk tempat peristirahatan terakhir Kartosoewirjo.
"Kalau bohong saya berdosa."
Sani mengaku angkatan pertama pasukan PETA (Pembela Tanah
Air) bersama Sarwo Edhie Wibowo, Umar Wirahadikusumah, Ahmad Yani, dan Amir
Machmud. Namun dia mentok di pangkat kolonel selama 17 tahun. Dia juga terlibat
dalam operasi menangkap Kartosoewirjo, Tan Malaka, dan Kahar Muzakkar. Dia
mengaku dilahirkan di Bandung, Jawa Barat, pada 1922.
Dia mengaku pensiun pada 1978 dengan jabatan terakhir Asisten Logistik Akademi
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia di Magelang, Jawa Tengah. Pengakuan Sani
ini sekaligus memperkuat temuan dokumen Arsip Nasional Republik Indonesia
(ANRI). Berikut penuturannya:
Apa benar Kartosewirjo dieksekusi di Pulau
Nyamuk?
Betul di Pulau Nyamuk.
Kenapa dipilih Pulau Nyamuk?
Risalah Bung Karno tidak boleh ada yang tahu di mana kuburnya, takut bakal
dipuja para pengikutnya.
Kapan pelaksanaan hukuman mati itu?
Saya tidak tahu persis, biasanya pagi-pagi.
Apakah benar dokter yang memeriksa Kartono
Mohamad?
Bukan, saya bisa pastikan bukan dia. (sebuah sumber memberi tahu dokter yang
memeriksa kondisi Kartosoewirjo menjelang dan selepas eksekusi adalah dokter
Gerard Paat dari Kodamar Tanjung Priok).
Siapa menangkap Kartosoewirjo?
Batalion 238 Kodam Siliwangi, Komandan peletonnya Sanip.
Apakah kuburnya masih ada?
Tidak, karena semua pemberontak tidak boleh ada bekasnya.
Jadi memang tidak diberi nama di batu nisan?
Tidak ada.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News