Gus Solah: Ada yang Ingin Perkecil Peranan Islam dalam Sejarah Indonesia

Gus Solah: Ada yang Ingin Perkecil Peranan Islam dalam Sejarah Indonesia Gus Solah, Prof Kacung Marijan dan Prof Ahmad Mansyur Suryanegara, saat foto bersama Rektor Unusa Prof. Dr. Ir Achmad Jazidie, MEng (tiga dari kanan), Direktur HARIAN BANGSA HM Mas'ud Adnan (dua dari kanan), CEO Suara Muslim Radio Network Irwitono Suwito (tiga dari kiri) serta Dewan Redaksi Suara Muslim Fajar Arifianto (paling kiri). Foto: YUDI ARIANTO/BANGSAONLINE

SURABAYA, BANGSAONLINE.com - Masih dalam nuansa Hari Pahlawan, Radio Suara Muslim yang didukung oleh HARIAN BANGSA berikut BANGSAONLINE, menggelar 'Oase Bangsa', Rabu (15/1). Acara tersebut bertempat di Kampus B Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa) Jalan Raya Jemur Sari No. 57. 

Diskusi bulanan yang mengusung tema 'Resolusi Jihad dan Spirit Kepahlawanan' itu menghadirkan tiga tokoh penting, yakni Dr (HC) Ir KH Salahuddin Wahid (Gus Solah), Prof Ahmad Mansyur Suryanegara serta Prof Kacung Marijan, PhD.

Baca Juga: Jelang Hari Santri Nasional 2023, Unusa Jadi Tuan Rumah Kegiatan ini

Mengingat sewaktu duduk di bangku SMP dan SMA, Gus Solah mengaku tidak pernah mendapatkan pelajaran sejarah terkait Resolusi Jihad itu. Menurutnya, hal tersebut terjadi karena pada waktu itu umat Islam sendiri tidak mau menonjolkan perannya. Kedua, Sejarawan dari kalangan Islam itu sedikit.

Ditambahkan, Gus Dur (Abdurrahman Wahid) pernah mengatakan, memang ada tokoh-tokoh dari luar Islam ingin memperkecil peranan umat Islam sehingga tidak muncul dalam buku sejarah. 

"Tetapi, kebenaran sampai kapanpun akan tetap menjadi kebenaran. Setelah sekian puluh tahun muncullah Resolusi Jihad sebagai peristiwa yang diakui," tutur Pengasuh Ponpes Tebuireng itu.

Baca Juga: Baksos Kesehatan Mata Semarakkan 1 Abad NU, Gubernur Khofifah: Jadi Sinar Kehidupan Bagi Masyarakat

Sementara itu, Guru Besar Sejarah Universitas Pajajaran Bandung Prof Ahmad Mansyur menjelaskan bahwa pasca perang kemerdekaan, para kiai dan santri kembali ke pesantren. Sehingga para pejabat bekas pegawai Belanda banyak menduduki posisi sebagai pejabat pemerintah. 

"Segala yang dihasilkan santri dan ulama lalu disingkirkan. NU dan Muhammadiyah belum siap masuk dalam departemen tenaga kerja," urainya.

Maka menurutnya, diperlukan buku-buku sejarah yang mengungkap ketidak benaran itu. Ia lalu membandingkan buku-buku sejarah yang ada di sekolah yang tebalnya hanya beberapa halaman saja. Sedangkan buku-buku sejarah terkait negara lain bisa sampai ratusan halaman. 

Baca Juga: Bupati Gus Yani dan Rektor Unusa Teken Kerja Sama Optimalkan Tri Dharma Perguruan Tinggi

"Yang menggelar latihan-latihan militer itu awalnya adalah NU dan Muhammadiyah," ungkap Penulis buku best seller Api Sejarah jilid I dan II itu.

Dalam kesempatannya, Prof Kacung Marijan menandaskan bahwa masa lalu, masa kini dan masa depan adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Ia mengatakan, memaknai semangat Resolusi Jihad yang dikumandangkan oleh Kiai Hasyim Asy'ari pada 22 Oktober 1945 itu adalah dengan berjihad untuk mewujudkan Indonesia yang adil dan makmur. 

"Caranya dengan anak-anak kita belajar yang rajin, bangun silaturahim diantara para pedagang atau pengusaha dan sebagainya," tutur Wakil Rektor I Unusa tersebut.

Baca Juga: LPBINU-LKNU Sidoarjo Kuatkan Ketangguhan Warga Desa Hadapi Covid-19

Prof Kacung juga menegaskan bahwa dikotomi (pembagian atas dua kelompok yang saling bertentangan, red) atas Kebangsaan dan Keislaman sudah tidak jamannya lagi. Mencintai bangsa adalah sebagian dari iman, membutuhkan sinergi antara pemikiran dan perilaku. 

"Maka dibutuhkan seorang ulama sekaligus sejarawan, ulama sekaligus dokter. Mudah-mudahan ini sintesis untuk Indonesia ke depan," pungkasnya. (ian/rev) 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO