Sumamburat: Kerudung Nopo Sarung

Sumamburat: Kerudung Nopo Sarung Suparto Wijoyo

Kiai berpuluh tahu digiring menghindari “kandang” urusan pemerintahan. Cukuplah kiai itu berkiprah di mushollah-langgar-surau dan masjid, itupun dengan “pendampingan” demi “ketertiban umum”. Dewan masjid musti diisi oleh pejabat-pejabat “cucuk lampah” agar semua ada dalam “bincangan kelom pencapir yang nyinyirnya senada”. Kenapa “petinggi super RT” harus melirik jabatan “dewan langgar nasional”? Terhadap hal ini jangan keburu curigai sebab mereka sejatinya ingin menghirup segarnya wangi kiai. Orang mau sobho masjid kok diviralkan selaksa “dewan mushollah” ini untuk mengantisipasi pilpres 2019. Ojok curiga kepada kelana imaji “tilik kiai”.

Ah… ojo nggumunan lan ojok kaguman atas kasunyatan hari-hari ini bilamana kiai menjadi lambang kekuasaan. Walau untuk merebut jabatan di kursi yang menunjukkan tahta terhebat harus diberi “sajadah perkiaian” guna meraih rekomendasi partai. Kekuasaan itu memang mempesona dan kiai tidaklah haram turut terlibat menentukan siapa jago yang digadang-gadang menang demi kokohnya agama, bukan yang menista-nista iman. Di lingkup inilah aroma kiai tidak hanya di karpet musholla yang lusuh. Wangi kiai harus disemerbakkan ke seantero ruang pilkada dengan risiko nyaringnya teriakan para “hulubalang kuasa” produk fase sejarah yang pernah mengajarkan “ulama jangan berpolitik”.

Bagaimana kiai tidak boleh mengajari berpolitik, bukankah menentukan wudhu dan tayamum saja memasuki wilayah birokrasi karena menyangkut bersesucinya kepala daerah. Memang terkadang saya sendiri tercengang dengan kemantapan ucap seseorang yang sudah tamat semua jenjang pendidikan yang berujar kencang: tidak ada tradisi negara dalam Islam atau Islam tidak mengajarkan tata cara bernegara. Kawan saya yang tinggal di pinggiran kota ini membuat saya bersenyum dengan bisiknya: Cak, iku wong pinter opo wong keblinger”. Islam tidak “merawikan tradisi bernegara”, iku ngomong opo kora-kora. Kata pembaca setia Sumamburat asal Bojonegoro ndeso.

Lho … pada saat Kanjeng Nabi Muhammad saw di Madinah dengan Piagam Madinah (622) sambil berkirim surat ke raja-raja sekitar, itu statusnya sebagai Nabi apa sebagai Kepala Negara? Dan Madinah saat sugengnya Kanjeng Nabi saw itu, dipresideni sopo yo? Sewaktu khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq (632-634), Umar Ibnul-Khaththab (634-643), Utsman Bin Affan (644-656), termasuk Ali Bin Abi Thalib (656-661), apa sejatinya beliau itu hanya “takmir masjid Nabawi” dan ada “presidennya sendiri” selain beliau ya?

Ah … omongan ahistoris tidak usah dibincang panjangkan kata teman ini, anggap saja hanya ingin dianggap paling nasionalis di negeri ini “orang tega jadi rayap agamanya”. Amboi, mau menjadi nasionalis tidak perlu “menggerhanai agama” dengan ujaran “Islam tak pernah mentradisikan hidup bernegara”? Nyuwun sewu njih, kiai … panjenengan harus terpanggil mengawal jalannya pilkada, dan terimalah semua paslon yang kini rajin silaturahmi meski sudah terang di pendulum mana kiai berposisi: kerudung nopo sarung?

*Penulis adalah Kolomnis, Akademisi Fakultas Hukum, dan Koordinator Magister Sains Hukum & Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO