PACITAN, BANGSAONLINE.com - Bukan hanya larung sesajen ritual tradisi yang biasa digelar masyarakat Pacitan saat memperingati pergantian tahun Islam. Namun ada satu budaya cukup sakral yang mungkin belum begitu dikenal masyarakat, yaitu Tetaken.
Sebagaiman diketahui, Kabupaten Pacitan terletak 524 Km sebelah timur dari Ibu Kota Jakarta dan 209 Km arah barat daya dari kota Surabaya. Kabupaten yang terkenal dengan Gunung Limo ini mempunyai tradisi yang cukup unik. Karena menganut penanggalan Jawa, yaitu tepat pada 1 Syuro, diadakan beberapa kegiatan untuk memperingati bulan baru Hijriyah.
Baca Juga: Rontek Gugah Sahur Dilarang Selama Ramadhan Tahun ini
Beberapa di antaranya adalah pengajian, melekan, tirakatan, perajahan, larung sesaji dan napak tilas sejarah. Sedangkan di Gunung Limo sendiri, beberapa orang melakukan teteki atau bertapa di bulan itu. Selanjutnya para pertapa tersebut disambut oleh masyarakat dalam bentuk perayaan Tetaken yang diadakan setiap tanggal 15 bulan Syuro.
Salah seorang pemerhati sejarah di Pacitan Ki Ageng (KA) Jolothundo mengatakan, Tetaken berasal dari kata tetekian. Teteki mendapat imbuhan “an” (tetekian) yang berarti pertapa-an. Yaitu bermakna tempat pertapaan. Karena karakter bahasa setempat untuk mempermudah penyebutan, maka kata tetekian berubah pengucapannya menjadi tetaken tanpa mengurangi makna sesungguhnya.
"Tradisi tersebut diadakan untuk mengingat kembali proses datangnya Eyang Tunggul Wulung dan Mbah Brayut ke Gunung Limo dan menetap di lereng Gunung Limo," ujarnya, Selasa (8/5).
Baca Juga: Ribuan Warga Banjiri Halaman Pendopo Saksikan Prosesi Kirab Agung Hari Jadi Pacitan ke-275
Digambarkan dalam ritual ini, sang juru kunci Gunung Limo turun gunung bersama para cantriknya yang sekaligus murid-muridnya. Mereka baru selesai menjalani tapa di puncak gunung dan akan kembali ke tengah masyarakat. Bersamaan turunnya para pertapa dari puncak gunung, iring-iringan warga muncul menyambut para pertapa memasuki area upacara.
"Masyarakat mengenakan pakaian adat Jawa. Barisan paling depan adalah pembawa panji dan pusaka Tunggul Wulung (Panji Tunggul Wulung, Keris Hanacaraka, Tombak Kyai Slamet, dan Kotang Ontokusumo/Jubah Hitam pertapa)," cerita Jolothundo.
Baca Juga: Sepak Bola Brojo Geni Kembali Digelar di Pacitan
Di Pacitan, lanjut dia, terdapat lokasi pendadaran (pelatihan kanuragan dan kebatinan) yang berpusat di Gunung Limo. Pendadaran prajurit kemudian lazim disebut sebagai wisudan Tunggul Wulung (wisuda yang dilakukan oleh Tunggul Wulung). Prajurit Mataram melakukan pendadaran olah kanuragan dan kebatinan kepada pemuda-pemuda di desa-desa dengan tujuan memperkuat pertahanan kerajaan apabila sewaktu-waktu ada peperangan.
Pembekalan yang dilakukan oleh prajurit Mataram di bawah Panji Tunggul Wulung tidak hanya olah fisik saja kepada generasi muda. Melainkan mengajarkan ilmu kasepuhan kepada masyarakat. Memantabkan ajaran Islam secara esketik dikombinasi dengan penanaman prinsip-prinsip pengabdian kepada negara.
"Mendekatkan hubungan kerajaan dengan masyarakat sekaligus mempereratnya. Kegiatan penanaman mental bela negara, olah kaprajuritan, kepatuhan kepada raja dan kerajaan, nilai nilai-nilai moral, spiritual lahir dan batin oleh prajurit Mataram Tunggul Wulung ini di kemudian hari menjadi sebuah tradisi dari generasi ke generasi yang disebut dengan Tetaken," pungkasnya. (yun/rev)
Baca Juga: Seni Rontek Pacitan Bakal Jadi Media Promosi Budaya Nasional
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News