Oleh: Dr. KH A Musta'in Syafi'ie M.Ag. . .
‘Asaa rabbukum an yarhamakum wa-in ‘udtum ‘udnaa waja’alnaa jahannama lilkaafiriina hashiiraan (8).
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
Cukup jelas pesan ayat studi ini, bahwa Allah SWT pasti menyayangi hamba-Nya yang mau berbuat baik setelah durhaka. "‘Asaa rabbukum an yarhamakum". ‘Asaa, artinya: sangat mungkin, barang kali, bisa jadi. Tapi bagi Tuhan tidak demikian. Tuhan sangat definitif dan sungguhan, jadi apa yang difirmankan pastilah kepastian. Makanya tradisi tafsir menyatakan, bahwa semua kata "‘asaa" yang terkait dengan Diri-Nya, kehendak-Nya bermakna pasti.
Sama dengan kata La‘alla, harus dimaknai kepastian jika Allah yang berfirman. Jika diberi makna seperti apa adanya (kemungkinan), maka mengesankan Allah tidak konsis dengan firman-Nya Sendiri. Itu berarti tuduhan bahwa Allah juga bisa ingkar dan berbohong. Dipakai kata demikian (‘asa, la‘alla) untuk memperhalus bahasa, menyeimbangkan dengan bahasa harian manusia.
Kontek ayat ini kepada Bangsa Israel yang sudah melakukan kejahatan, lalu mendapat azab dan Tuhan-pun mengampuni. Tapi mereka mengulang lagi, lalu Tuhan menyatakan, bahwa Diri-Nya adalah maha penyayang yang pasti memberi rahmat kepada semua umat. Tapi jika mereka kembali melanggar, maka Tuhan akan kembali sesuai iradah-Nya sendiri. " ... wa-in ‘udtum ‘udnaa".
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
Kembali melakukan apa Tuhan itu?. Dilihat dari terusan ayat yang menunjuk neraka jahanan sebagai tikar bagi orang kafir, "waja’alnaa jahannama lilkaafiriina hashiiraan", arahnya adalah ancaman, yaitu kembali menyiksa lebih pedih, tidak hanya di dunia bahkan di akhirat nanti.
Pesan ayat adalah, bagi hamba Allah yang berbuat dosa, maksiat, jahat, maka segeralah bertobat, Tuhan pasti mengampuni dan merahmati. Tapi jangan mengulangi lagi. Siksaannya biasanya akan bertambah pedih. Ya, seperti kita, anak yang mengulangi lagi kesalahan pastilah menambah kita makin geretan. Persoalannya, apa sekelas Tuhan begitu?. Sekali lagi, Tuhan pakai bahasa analog agar mudah difahami.
Nabi Muhammad SAW pernah mengingatkan kita, agar manusia tidak tergigit binatang berbisa dua kali dalam satu lobang. Itu artinya, manusia harus cerdas dan bisa mengambil pelajaran dari peristiwa yang baru saja dia alami. Belajar dari pengalaman adalah ilmu nyata yang bisa dirasakan langsung. Maka kebangetan jika sampai melakukan kesalahan dua kali dalam persoalan yang sama.
Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana
Kekalahan dalam perang Uhud benar-benar menjadi pelajaran berharga bagi para sahabat. Mereka diperintahkan agar tetap menjaga puncak gunung. Tapi mengingkari dan meninggalkan demi memburu harta rampasan perang. Ternyata mata duitan itu sungguh bencana bagi umat islam. Cukup sekali itu saja dan seterusnya mereka tidak mengulangi, sehingga perang-perang berikutnya menang terus.
Jika Tuhan geregetan terhadap hamba-Nya yang mengulang-ulang kesalahan, maka di mana sifat kasih sayang-Nya atau Rahmat-Nya yang tidak terbatas itu?
Pertama, ayat ini khusus bangsa Israel terdahulu, di mana mereka disiksa langsung saat masih di dunia bila mereka melakukan durhaka berat. Bahkan salah satu petobatannya harus bunuh diri, baru Tuhan mau mengampuni (al-Baqarah:54).
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok
Kedua, bagi umat Muhammad SAW, Tuhan memberikan dispensasi lebih dengan tidak menyiksa langsung, melainkan menangguhkan agar kita bertobat. Tobat itu menghapus dosa masa lalu dan selanjutnya, si hamba dicatat sebagai orang baik. Rahmat penangguhan ini tanpa batas, asal masih hidup saja. tetapi karena ajal tak dimengerti kapan menjemput dan sangat misterius, maka dituntut bertobat sesegera mungkin.
Ketiga, bagi kaum sufi, ayat ini adalah ajaran etika, bahwa orang yang mengulang perbuatan maksiat itu dosanya diperberat. Sama halnya dengan mereka yang bertobat, tapi mengulang maksiat lagi. Maka tobatnya dianggap main-main di hadapan Tuhan (istihza'). Pada kondisi demikian, maka terserah Tuhan, mau menerima lagi atau mengabaikan. Mukmin yang baik tentu sangat khawatir kalau Tuhan mengabaikan dirinya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News