Oleh: Dr. KH A Musta'in Syafi'ie M.Ag. . .
‘Asaa rabbukum an yarhamakum wa-in ‘udtum ‘udnaa waja’alnaa jahannama lilkaafiriina hashiiraan (8).
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
Menjadi viral saat ada rombongan umrah menyanyikan lagu Ya Lal Wathan, termasuk yang membacakan Teks Pancasila. Pemerintah Arab Saudi menyesalkan tragedi bodoh itu, begitu pula semua umat Islam yang berpikiran waras.
Persoalannya bukan pada ada dan tidaknya dalil sharih yang melarang hal tersebut, tapi lebih pada kepantasan dan tata etik di dalam al-masjid al-Haram tersebut. Al-mas'a (tempat sa'i, antara bukit Shafa dan bukit Marwah) boleh jadi anda yakini sebagai bukan termasuk di dalam masjid, tapi di luaran. Meski begitu, mas'a adalah lingkungan al-Haram, bagian dari bagian al-haram yang ditunjuk Tuhan sebagai lokasi ibadah sa'iy. Maka tak beda kehormatannya dengan al-masjid.
Dalam al-masy'ar al-haram seseorang diperintahkan untuk berdzikir sebanyak dan sekhusyu' mungkin. Bukan dengan nyanyian primordialistik Nahdliyah atau ikrar dasar negara tertentu. Larangan ada jahitan dalam pakaian ihram sesungguhnya isyarat pemurnian ibadah haji atau umrah bersih dari atribut-atribut budaya, apalagi simbol-simbol politik. Umrah dan haji diharap benar-benar miniatur akhirat.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
Masjid-Nya juga dinamai al-Haram yang artinya sangat terhormat atau haram, menunjukkan bahwa hukumnya haram menodai kehormatan masjid itu. Al-Haram harus diperlakukan sesuai kehormatan dan kesuciannya, murni ibadah tidak yang lain. Apakah Nyanyian Ya Lal Watan itu sama dengan istighfar atau dzikir? Apakah Teks Pancasila itu sama dengan bertasbih?
Sebodoh-bodoh orang sepanjang perjalanan ibadah di tanah suci, baru kali ini ada orang Indonesia yang menampakkan ketololannya di pentas dunia. Mereka tidak memikirkan akibat dari apa yang mereka lakukan di era digital ini. Tanpa maksud merendahkan - lho kok ketepatan - yang melakukan nyanyian di mas'a tersebut orang nahdliyin, orang NU. Sungguh mencoreng nama baik NU dan umat Islam Indonesia di pentas dunia. Afa Allah 'amma salaf. Yang sudah ya sudah, kita petik sebagai pelajaran, yakni:
Pertama, apa yang dilakukan oleh sebagian wong NU dengan nyanyi Ya Lal Wathon di Mas'a tersebut sangat mungkin hasil dari serapan pemikiran mereka yang berlangsung sekian lama terhadap bablasnya sebagian pemikiran dan sikap kiai NU, tokoh, ilmuwan yang sok kontekstual, sok nusantara, sok rahmatan lil alamin, sok toleran. Hiingga kesan serba boleh mewarnai pemikiran.
Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana
Namanya awam, mereka menelan mentah-mentah dan mengembangkan dengan gayanya sendiri -meniru panutannya- tanpa pertimbangan ilmu dan tata etik. Mereka merasa bahwa berkreasi dan menyelipkan hal baru itu bebas-bebas saja asal tidak nabrak syari'ah dan tidak pula mengarah ke dosa atau kekafiran nyata.
Kedua, nyatanya ada kiai atau ustadz sekelas pemandu jamaah umrah yang ngeminter dan belum faham betul kehormatan al-masjid al-haram, kehormatan ibadah sa'iy, antara bukit Shafa dan Marwah. Oknum zalim ini menganggap al-mas'a sebagai tempat biasa yang bebas menyuarakan apa saja yang diingini.
Ketiga, kemungkinan pelantun itu tidak mengerti maknanya mars NU Ya Lal Wathon. Lalu menganggap mars tersebut adalah setara dengan dzikir, istighfar atau tasbih. pokok-e coro arab, ada iman-iman-nya, beres. Dan orang itu dikiaikan atau diustadzkan di kalangan warga NU dengan bukti dipercaya memimpin rombongan, tanpa teguran dari jamaah lain. Ini PR yang perlu kita cari jalan baiknya.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok
Ketiga, mungkin ini peringatan Allah SWT bagi kiai, gus dan ustadz yang terlalu memburu keuntungan duniawi di balik bisnis travel umrah. Ternyata ada kebablasan demi memuaskan jamaah atau meng-elit-kan pamor travel. Kita berbenah diri dan lebih memurnikan sisi ibadahnya.
Keempat, sesuai pesan ayat kaji ini, agar jangan mengulang kesalahan yang sama, karena Tuhan bisa lebih marah. "wa in 'udtum, 'udna..". Maka ke depan jangan sampai ada ketua rombongan jamaah haji yang membuat sensasi dengan membaris jamaah ketika wukuf di Arafah, lalu menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Dosa besar sih tidak, tapi kok tolol buanget.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News