Sumamburat: Berimlek Mengingat Gus Dur

Sumamburat: Berimlek Mengingat Gus Dur Suparto Wijoyo.

Oleh: Suparto Wijoyo*

GUS DUR dan imlek itu tiada terpisahkan. Bukan karena imlek itu mendahului Gus Dur atau sebaliknya, melainkan Gus Dur, KH Abdurahman Wahid memperkenankan merayakannya. Perkenan dari seorang sosok yang telah lama menjadi pengayom setiap jiwa warga negara itu untuk selanjutnya menduduki jabatan selaksa penguasa puncak dalam tahtah kepresidenan, bertekad melahirkan kebijakan untuk menyempurnakan kebhinekaan.

Muncullah kemudian perayaan imlek yang niscaya amat berarti bagi warga Tionghoa. Inilah kata hati yang sekarang sedang menemukan momentumnya. Perayaan tahun baru China yang bertepatan dengan suasana pemilu 2019 yang kian menggelombang. Luncur ucap happy new year yang meriahnya Selasa, 5 Februari 2019, sungguh menggetarkan sukma. Ada damai dan sekaligus cinta yang menggelembungkan riak kehangatan yang menggoda.

Semua pihak terutama para kandidat apapun level jabatan yang diperebutkan, menyerukan untuk selalu berbuat yang maslahat bagi kepentingan masyarakat. Seruan untuk memaknai secara substansial Peringatan Tahun Baru Imlek 2570 Kongzili. Hal ini perlu dilakukan sebagai bentuk pengejawantahan tugas publik yang diemban setiap inovidu dalam menjalankan peran fungsional untuk menjamin kenyamanan sesama, sanak saudara, tetangga, dan handai taulan. Saya pun dengan bangga melalui kolom ini, mengucapkan Selamat Tahun Baru Imlek 2570, Gong Xi Fa Cai.

Sewaktu ucapan ini saya lontarkan, sejatinya saya sedang menikmati hari bahagia dengan ragam kolega. Saya merasakan sentuhan dan nuansa yang menyenangkan dalam kalkulasi paseduluran tanpa batas di antara warga. Tugas-tugas kemanusiaan yang saya emban di wilayah nusantara menyimpulkan adanya rangkaian mencermata isu-isu lingkungan yang menghentak di sana sini. Semua problem harus dapat dipungkasi dan harapan ternyata dapat dirajut dalam balutan hukum yang elegan dengan basis utamanya: cinta sesama.

Sengketa lingkungan (environmental dispute) yang menyeruak di banyak titik Indonesia dapat dikemas dalam penyelesaian yang saling menyapa. Banjir, longsor dan di Surabaya sendiri menciptakan “genangan kolektifnya” tetap harus membuncahkan semangat duduk lesehan bareng untuk menuntaskan yang perlu dientas dengan kasih sayang (rahman rahim) sejurus perayaan imlek.

Apa yang terjadi pada dasarnya adalah bentuk kemaslahatan untuk saling bertegur sapa. Warga menerima kenyataan banjir dan longsor sambil mengiyakan pemenuhan cita warga secara terukur. Tugas saya menjadi terasa ringan dengan catatan utama berdiri adil di antara mereka yang hendak protes-protes kepada kekuasaan yang dipandang tidak tanggap bencana. Namun dalam situasi pemilu ini tiadalah menggoreng untuk sesuatu yang “menodai” kenyamanan dalam damai imlek yang telah diperkenankan Gus Dur.

Jangan usreg tentang politik yang sesungguhnya dapat dirembug bersama. Merangkul dan menyuarahan kehendak untuk selalu mau berbagi itulah yang harus diteladani. Saat Imlek dengan damai sebaiknya dilakukan setiap waktu. Damai mestinya menjadi jiwa keseharian yang terus perlu dipupuk untuk memberikan apa yang menjadi hak sesama.

Hukum lingkungan secara tematik harus pula mengajarkan kemaslahatan bagi manusia. Dengan hukum manusia selayaknya samakin kokoh dalam bersahabat untuk jalinan humanisme yang tidak bertepi. Apabila hukum membuat manusia saling mencurigai dan berprasangka dengan implikasi terbesar berupa permusuhan, maka hukum tidak lebih dari sampah peradaban. Hukum yang tidak menjalin kasih sayang antara sesama anak manusia adalah hukum yang tidak bermakna.

Hukum tidak dibangun atas nama hukum sebab hukum bukanlah produk dari hukum dalam takaran asalinya. Hukum adalah produk kemanusiaan yang tanpa manusia tidak ada hukum. Manusia dapat hidup tanpa hukum dalam artian yang memahami hukum seperti sekarang yang ditakar berupa jahitan aturan yang dibalut dengan nama undang-undang.

Manusia menyadari dalam perkembangan sejarahnya bahwa hidup perlu ditata dan untuk menatanya manusia membutuhkan hukum. Dengan demikian hukum adalah sekadar alat untuk menata manusia dan manusia boleh menggantinya apabila hukum hadir justru tidak mensejahterakannya.

Hukum yang tidak membahagiakan manusia jelaslah sebagai hukum yang kehilangan dirinya sendiri. Hukum yang tidak berkeberpihakan pada penebaran kasih sayang manusia adalah hukum yang tidak berguna. Janganlah atas nama hukum kita amputasi cinta kasih sesama manusia Indonesia yang lagi berbelah pilihan politiknya. Imlek tidak perlu dibenturkan dengan merajut historisnya yang lahir dari rekaan. Semua diterima saja sebagai pesan bahwa ada pembaruan saat peringati Imlek. Kita selalu menebarkan kasih sayang kepada sesama setiap saat. Maka hari-hari kita adalah hari-hari penuh kasih dan syarat makna bagi kecintaan bagi sesama.

Marilah berhukum dengan cinta dan Imlek menorehkan pesan: kita selalu terlahir baru dalam setiap saatnya. Selamat berimlek dan doa untuk almarhum Gus Dur. Alfatiha.

*Dr H Suparto Wijoyo: Esais, Pengajar Hukum Lingkungan Fakultas Hukum, Koordinator Magister Sains Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga, Sekretaris Badan Pertimbangan Fakultas Hukum Universitas Airlangga serta Ketua Pusat Kajian Mitra Otonomi Daerah Fakultas Hukum Universitas Airlangga.

Sumber: Suparto Wijoyo

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO