MOJOKERTO, BANGSAONLINE.com - Sejarah politik NU yang pernah mendukung Nasakom (Nasionalisme, Agama dan Komunisme) pada era Soekarno sering disalahpahami sehingga menimbulkan stigma politik kurang baik terhadap organisasi keagamaan terbesar di Indonesia itu. Padahal, menurut KH As’ad Said Ali, mantan Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (Waka BIN), NU mendukung Nasakom sebagai platform politik, bukan ideologi.
Baca Juga: Digawangi Perempuan Muda NU, Aliansi Melati Putih se-Jatim Solid Menangkan Khofifah-Emil
“NU konsisten menolak PKI,” kata kata Kiai As’ad Ali dalam acara Pendidikan Kader Penggerak Nahdlatul Ulama (PKPNU) di Institut KH Abdul Chalim Pondok Pesantren Amanatul Ummah Pacet Mojokerto Jawa Timur, Senin (18/11/2019). Acara PKPNU itu diikuti ratusan mahasiswa S1 dan S2 Institut KH Abdul Chalim yang mendapat beasiswa yang sudah lulus tapi belum diwisuda.
Namun fakta sejarah itu tidak dipahami secara baik oleh publik karena ada agitasi politik dari lawan politik NU. “Itu namanya propaganda politik,” kata Kiai As’ad.
Usai menyampaikan presentasi, BANGSAONLINE.com, mewawancarai Kiai As'ad Said Ali lebih detail. Mantan Wakil Ketua Umum PBNU itu secara gamblang menjelaskan tentang backround sejarah politik saat itu. Menurut dia, saat itu di Irian Jaya sedang terjadi peperangan antara Indonesia dengan Belanda. Nah, Belanda didukung Amerika Serikat (AS). Maka Indonesia bekerja sama dengan Uni Sovyet, meski komunis, karena saat itu Uni Sovyet musuh utama AS. Dari Uni Sovyet inilah Indonesia mendapat bantuan senjata. “Tapi politik luar negeri kita kan bebas aktif,” kata Kiai As’ad.
Baca Juga: Rais Aam PBNU Ngunduh Mantu dengan Pemangku Pendidikan Elit dan Tim Ahli Senior di BNPT
Menurut dia, bukan hanya NU yang terpaksa mendukung Nasakom. “Tentara Indonesia pun juga mendukung Nasakom. Yang tanda tangan bantuan senjata dari Uni Sovyet kan (Jenderal) Nasution,” kata Kiai As’ad.
Jadi, menurut Kiai As’ad, dalam politik itu kita memilih mana yang bisa menjadi mitra strategis. “Buktinya, akhirnya Amerika melepas kita merdeka. Jadi NU mendukung Nasakom karena melawan Belanda yang didukung Amerika,” kata Kiai As’ad sembari mengatakan bahwa Amerika pun pada akhirnya takut berhadapan dengan Indonesia karena dibantu peralatan canggih dari Uni Sovyet.
Baca Juga: Khofifah: Muhammadiyah Pilar Kemajuan Bangsa dan Umat
Selain itu, kata Kiai As’ad, jika NU tidak mendukung Nasakom pasti dibubarkan seperti Masyumi oleh Soekarno. Karena itu NU memainkan politik secara fleksibel, namun tetap konsisten menolak komunis. “NU menolak kabinet berkaki empat,” katanya. Kaki empat itu maksudnya, NU, PNI, PKI, dan Masyumi. Itu tercermin dari sikap Kiai Wahab saat dipanggil Presiden Soekarno. “Ketika Mbah Wahab dipanggil Soekarno, Mbah Wahab menolak PKI masuk kabinet,” kata Kiai As’ad.
Memang, PKI tetap masuk kabinet, tapi dalam posisi menteri tidak signifikan. “Masuk menteri tanpa fortolio. Aidit menjabat menteri urusan MPR, kan gak ada apa-apanya,” katanya.
Menurut Kiai As’ad, kontroversi NU masuk Nasakom tidak hanya terjadi di arena publik tapi juga pada internal NU. “Antara Kiai Bisri Syansuri dan Kiai Abdul Wahab kan beda pandangan. Kiai Bisri menentang NU masuk kabinet, sedang Kiai Wahab setuju masuk kabinet. Karena menurut Kiai Wahab, kalau NU tidak masuk kabinet maka kabinet akan dikuasai PKI,” kata Kiai As’ad Ali.
Baca Juga: Kampanye Akbar, Tak Banyak Pidato, Khofifah dan Gus Barra Sibuk Bagi Souvenir & Borong Kue Pengasong
Dalam sejarah kemudian juga tercatat, selain tentara Indonesia, para kiai dan warga NU yang secara gigih menumpas PKI, terutama saat terjadi pemberontakan PKI pada 1948 di Madiun dan pada tahun-tahun sesudahnya.
Acara PKPNU di Institut KH Abdul Chalim Pondok Pesantren Amanatul Ummah itu berlangsung tiga hari dan ditutup pada malam ini, Senin (18/11/2019). Selama acara ini berlangsung Dr KH Asep Saifuddin Chalim, MA, Pengasuh Pondok Pesantren Amanatul Ummah, selalu mendampingi para mahasiswa yang merupakan santrinya. (MMA)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News