Oleh: M Mas’ud Adnan...
BANGSAONLINE.com - Beberapa media memberitakan langkah beberapa wartawan yang terjun ke dunia politik, baik anggota legislatif maupun eksekutif. Muncul pro-kontra. Sebagian menganggap wartawan itu telah hijrah dari dunia obyektif ke dunia subyektif. Atau dari ranah profetik ke dunia profan-pragmatis. Penilaian ini muncul didasarkan pada asumsi bahwa wartawan adalah profesi putih, sedang politik cenderung buram dan bahkan hitam.
Baca Juga: Undangan Sambung Guyub Dianggap Pilih-pilih Wartawan, Humas Polres Kediri Kota Ngaku Lupa
Memang, kalau kita mengacu kepada berbagai kasus korupsi, tindak asusila dan kecenderungan menghalalkan segala cara serta prilaku politik negatif lain yang selama ini dipraktikkan para politisi, penilaian itu masuk akal.Artinya, munculnya asumsi “hitam-putih” itu memang berasal dari daftar hitam para politisi, meski bukan berarti wartawan tak mengalami kasus hitam selama ini.
Meski demikian asumsi itu tak sepenuhnya benar. Dalam konstruksi sejarah perjuangan Indonesia, wartawan dan politisi itu cenderung satu paket, konprehensif dan tidak dikotomis. Bahkan hampir semua pendiriRepublik Indonesia (RI) ini adalah wartawan yang kemudian terjun ke kancah politik. Bisa kita sebut misalnya Agus Salim, HOS Tjokroaminoto, Bung Tomo, dan masih banyak lagi. Mereka juga sangat religius dan memiliki nalar agama yang sangat tinggi.
Agus Salim, misalnya, mengawali aktivitas perjuangannya sebagai redaktur Harian Neratja yang kemudian naik pangkat menjadi Kepala Redaksi. Karir jurnalistiknya meningkat sampai jadi Pemimpin Redaksi surat kabar Hindia Baroe.Bahkan Agus Salim kemudian mendirikan surat kabar Fadjar Asia sebelum akhirnya terpilih sebagai ketua umum Partai Syarikat Islam.
Baca Juga: Dua Atlet Catur Anggota SIWO Kediri Siap Ikuti PORWANAS XIV
Agus Salim yang nama aslinya Mashudul Haq (pembela kebenaran) banyak memanfaatkan pers sebagai sarana perjuangan. Ia bahkan bisa disebut sebagai wartawan sejati karena berita-berita yang ia tulis menolak berkompromi dengan Belanda, meski harus hidup sengsara secara ekonomi. “Orang tua (Agus Salim) yang sangat pandai ini adalah seorang yang jenius. Ia mampu bicara dan menulis secara sempurna sedikitnya dalam 9 bahasa. Kelemahannya hanya satu: ia hidup melarat,” tulis Prof. Schermerhon dalam Het dagboek van Schermerhon.
Sebagai politisi Agus Salim pernah terpilih sebagai anggota Dewan Rakyat (Volksraad, 1921 - 1924), anggota panitia 9 BPUPKI yang mempersiapkan UUD 1945, Menteri Muda Luar Negeri Kabinet Sjahrir II 1946 dan Kabinet II 1947, pembukaan hubungan diplomatik Indonesia dengan negara-negara Arab. Selain itu, ia juga menjadi Menteri Luar Negeri pada Kabinet Amir Sjarifuddin (1947) dan Menteri Luar Negeri Kabinet Hatta (1948 - 1949).
HOS Tjokroaminoto juga seorang jurnalis dan aktivis politik. Bahkan Tjokroaminoto adalah tokoh pers sekaligus guru politik yang melahirkan tokoh nasional seperti Soekarno, Semaoen, Alimin, Muso dan Kartosuwiryo. Bahkan Tan Malaka pernah berguru kepada Tjokroaminoto yang saat itu tinggal di Jalan Peneleh Surabaya itu.Tjokroaminoto memang kebanggaan arek Suroboyo mengingat ia banyak melahirkan para pejuang dan tokoh nasional dari gang peneleh.
Baca Juga: Dewan Pers Siap Cabut Izin Media Jika Oknum Wartawan Terbukti Lakukan Intimidasi Hingga Pemerasan
Jiwa kewartawanan Tjokroaminoto bisa dibaca lewat pesannya kepada murid-murid politiknya.
"Jika kalian ingin menjadi pemimpin besar, menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator," kata Tjokroaminoto.
Soekarno, salah satu murid yang kemudian diambil menantu, terkesima dengan gaya perjuangan Tjokroaminoto. Soekarno bahkan selalu berlatih dan mengidentikan diri sebagai Tjokroaminoto yang kemudian sukses sebagai penulis dan orator ulung.
Baca Juga: Hari Pers Nasional 2024, Pj Bupati Jombang Raih Penghargaan Creative Regional Head dari PWI Jatim
Tjokroaminoto juga dikenal sebagai pejuang bangsa Indonesia yang banyak menggunakan surat kabar sebagai media perjuangan. Tjokroaminoto bahkan identik dengan surat kabarOetoesan Hindia. Karena ia selain memimpin surat kabar Oetoesan Hindia juga tulisan-tulisannya tentang kebangsaan dituangkan dalam surat kabar tersebut.
Awalnya penerbitan Oetoesan Hindia disokong badan usaha bernama Setija Oesaha yang didirikan Hasan Ali Soerati, pedagang Arab. Tjokroaminoto bisa mengendalikan total Oetoesan Hindia ketika membeli saham Setija Oesaha secara penuh pada 1913. Kemudian bersama Agus Salim dan Kartosoewirjo, Tjokroaminoto juga menerbitkan Fadjar Asia. Lewat surat-surat kabar itu, Tjokroaminoto cukup piawai mengelola penerbitan pers. Selain menulis di dua surat kabar tersebut, Tjokroaminoto juga produktif menulis di surat kabar Bintang Soerabaja.
Begitu juga Bung Tomo. Semua kita paham bahwa si Bung Arek Suroboyo itu adalah wartawan yang menggelorakan pekik Allahu Akbar lewat radio. Kita juga bisa melihat bahwa semua pejuang kemerdekaan piawai menulis dan berpidato. Antara lain: KHA Wahid Hasyim, Sjahrir, Hatta, dan tokoh kemerdekaan lain. Mereka berjuang lewat tulisan dan diplomasi untuk mencapai kemerdekaan RI.
Baca Juga: Malam Puncak Hari Pers Nasional, Pj Gubernur Jatim Terima Prapanca Award 2024
Alhasil, para the founding fathers kita adalah para wartawan. Paling tidak, hampir semua pejuang kemerdekaan RI memanfaatkan jasa pers sebagai sarana perjuangan. Karena itu saya berani mengatakan bahwa negeri ini dibangun dari keringat para wartawan.
M Mas’ud Adnan, direktur HARIAN BANGSA dan alumnus Pesantren Tebuireng dan pascasarjana Unair (mmasudadnan@yahoo.com)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News