Oleh: M Mas’ud Adnan
Tahun 2016. Para dzuriyah Bani Hasyim Asy’ari berkumpul. Di kediaman Gus Kikin. Di Surabaya. Antara lain: Gus Sholah, Gus Umar Wahid dan tentu Gus Kikin sendiri. Meski Gus Kikin – nama lengkapknya KH Abdul Hakim – bertindak sebagai sohibul bait, tapi yang punya gawe Gus Sholah. KH Salahuddin Wahid.
Baca Juga: Pesantren di Lereng Gunung, 624 Santrinya Lolos PTN dan di 11 Perguruan Tinggi AS, Eropa dan Timteng
Tampak juga para kiai. Para pengasuh pesantren di Jawa Timur. Yang saya ingat KH Mahfud Saubari. Pacet Mojokerto. Kiai yang punya empat istri, tapi hidup rukun dalam satu pekarangan.
Alumni Teburieng juga banyak hadir. Terutama yang sudah jadi kiai. Yang punya pesantren. Antara lain dari Madura.
Usai makan, para tokoh dan kiai itu duduk di kursi. Di ruang belakang kediaman Gus Kikin. Para dzuriyah duduk dekat Gus Sholah. Lalu para kiai. Saya duduk agak jauh. Tahu diri. Saya bukan dzuriyah. Juga bukan kiai.
Baca Juga: Polemik Nasab Tak Penting dan Tak Ada Manfaatnya, Gus Fahmi: Pesantren Tebuireng Tak Terlibat
Gus Sholah mimpin langsung pertemuan itu. Cucu Hadratussyaikh KHM Hasyim Asy’ari itu bercerita. Tentang Yayasan Peduli Pesantren (YPP). YPP didirikan Hary Tanoesoedibyo. Biasa dipanggil Hary Tanoe. Ketua Umum Partai Perindo.
YPP mengkalim menyiapkan dana Rp 500 M. Untuk pesantren. Saat itu Hary Tanoe gencar sosialisasi Perindo. Nah, nama Gus Sholah tercantum. Sebagai Ketua Dewan Pengawas YPP. Selain Gus Sholah, KH Said Aqil Siroj juga tertulis sebagai Ketua Pembina YPP. Sedang Hary Tanoe ketua umum YPP.
Gus Sholah mengaku dilema. Banyak komentar negatif. Maka Gus Sholah mengundang keluarga (dzurriyah), kiai dan alumni Tebuireng. Minta pendapat.
Baca Juga: Terima Dubes Jepang untuk Indonesia, Pj Gubernur Jatim Bahas Pengembangan Kerja Sama
Pertemuan dimulai. “Tapi sebelum yang lain, saya minta pendapat Dik Mas’ud dulu,” kata Gus Sholah. Tentu saja saya kaget. Gelagapan. “Bagaimana pendapat yang berkembang di masyarakat,” tambah Gus Sholah.
Saya menduga. Saya diminta pendapat pertama karena saya praktisi media. Jujur, saya grogi. Apalagi di hadapan para dzurriyah. Yang saya ta’dzimi. Juga para kiai. Yang rata-rata sepuh.
Memang selintas hati bangga. Karena Gus Sholah percaya kepada saya: santrinya. Saya merasa mendapat kehormatan. Tapi kecanggungan saya tak bisa saya tutupi.
Baca Juga: Silaturahmi ke Keluarga Pendiri NU, Mundjidah-Sumrambah Minta Restu
Dengan penuh tawaddlu. Saya pun bicara. “Ngapunten Gus. Sebenarnya saya tak pantas. Bahkan saya grogi berpendapat pertama. Tapi karena jenengan mempersilakan, maka bagi saya ini sama dengan perintah,” kata saya. Suara parau.
Pertama, kata saya, apapun yang akan diputuskan jenengan Gus, saya akan patuh. “Saya akan sami’na wa’atha’na. Artinya, jika jenengan nanti memutuskan tetap menjadi pengurus (YPP) saya akan mendukung. Begitu juga jika jenengan keluar dari yayasan itu, saya juga akan mendukung. Pokoknya, apapun yang jenengan putuskan, saya sam’an watha’atan,” kata saya.
Kedua, kata saya, soal suara di masyarakat. “Suara di masyarakat memang terjadi pro-kontra. Terutama di media sosial. Bahkan sudah ada suara yang agak negatif. Melihat suara-suara itu saya berpendapat jenengan lebih baik keluar saja dari yayasan itu,” kata saya.
Baca Juga: Ziarah ke Makam Pendiri NU, Khofifah: Gus Dur dan Gus Sholah itu Guru Saya, Beliau Sosok Istimewa
Saya plong. Gus Sholah mempersilakan para kiai. Ternyata pendapat para kiai sama. Bahkan pendapat saya seolah menjadi pembuka bagi para kiai. “Ya, saya kira seperti yang disampaikan Dik Mas’ud, saya berpendapat sebaiknya Gus Sholah keluar dari yayasan itu,” kata Kiai Mahfud Saubari.
Saya menunggu pendapat para dzuriyah. Terutama Gus Umar Wahid. Ternyata sama. Juga merefer ke pendapat saya. Yang menarik, Gus Umar kemudian bercerita tentang tradisi rapat keluarga Bani Hasyim. Keluarga Tebuireng.
Menurut beliau, dalam rapat keluarga Bani Hasyim itu sudah biasa berbeda pendapat. Bahkan perbedaaan pendapat itu kadang sangat keras. Keras sekali. Tapi Gus Sholah, kata Gus Umar, tetap kalem. Selalu santun. “Saudara saya yang satu ini terlalu baik. Tak pernah punya prasangka. Saking terlalu baiknya kadang tak merasa kalau dimanfaatkan orang,” kata Gus Umar Wahid.
Baca Juga: Spirit Tebuireng, LPNU Jatim Tingkatkan Pendampingan Ekonomi Nahdliyin
Gus Sholah menutup pertemuan. Usai doa, saya mengontak teman-teman wartawan. Konprensi pers. Di Hotel dekat Delta Plasa. Surabaya. Di hadapan para wartawan Gus Sholah menyatakan menolak bergabung di YPP. Alasannya, selain YPP kental nuansa politik, juga banyak protes. “Bahkan ada yang bernada kasar,” tutur Gus Sholah kepada para wartawan, Jumat (9/12/2016).
Namun saya masih ingat kata-kata Gus Sholah. Kenapa nama beliau sampai tercantum di YPP. “Karena para tokoh dan orang Islam yang kaya tak ada yang peduli pada pesantren. Lalu ada yayasan yang peduli kepada pesantren,” kata putra KH Abdul Wahid Hasyim itu.
Menurut Gus Sholah, dana ratusan miliar itu – seandainya Hari Tanoe benar-benar menggelontor. Bukan untuk Pesantren Tebuireng. Tapi untuk pesantren kecil-kecil . Yang masih butuh bantuan dana. Untuk membangun infrastruktur.
Baca Juga: Persiapan Konferwil NU Jatim Capai 100 Persen, Pembukaan Siap Digelar Malam ini
Pada 2017. Gus Sholah bersama sejumlah tokoh nasional. Melaunching: Yayasan Peran Penguatan Pesantren Indonesia (P3I). Diantaranya Marzuki Ali. Mantan ketua DPR RI.
Gus Sholah memang selalu galau. Tentang nasib pensatren-pesantren kecil. Kepada saya, Gus Sholah sering membahas nasib pesantren-pesantren kecil. Yang masih butuh uluran tangan.
Semoga kegalauan Gus Sholah menginspirasi. Atau menggelitik hati. Para tokoh atau orang Islam yang kaya. Untuk peduli pesantren. Wallahu’alam bisshawab.
Baca Juga: Ponpes Tebuireng Siap Gelar Konferwil NU XVIII
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News